Pukul 6 pagi. Setibanya di lokasi syuting Rangga langsung disambut dengan make up artist dan tim wardrobe. Kali ini ia syuting di rumah mewah yang memang menjadi salah satu properti milik production house. Matanya melirik berkeliling ke sekitaran lokasi syuting.
"Cari siapa sih, Mas Rangga?" tanya make up artis bernama Joni itu dengan gaya kemayu, sambil menyapukan bedak ke wajah Rangga.
"Ah enggak. Gue laper, belum sarapan udah diseret ke sini," kilah Rangga.
Tiba-tiba seseorang mengulurkan sekotak bubur ayam pada Rangga. "Nih sarapan dulu biar nggak mati."
Rangga menghela napas panjang. "Hhhh, mimpi apa gue bisa punya manager yang kayak gini," ujar Rangga sebal, tapi ia juga menerima bubur ayam yang diberikan oleh Gerald.
Gerald mengibaskan tangannya pada Joni. Menyuruhnya pergi setelah ia selesai dengan pekerjaannya.
"Sambil lu makan, gue bacain jadwal lu hari ini. Adegan memasak sarapan pagi, adegan bermesraan dengan Alicia di taman belakang dan adegan bertengkar. Serta adegan lamaran nanti siang. Harus selesai dengan baik sebelum jam 3 sore. Karena lu masih ada jadwal pemotretan untuk sampul majalah. Dan malam hari, ada undangan ke anniversary salah satu channel televisi. Jadi jangan banyak bercanda saat syuting. Karena besok adeganmu sebagai Pak Tonny, pindah ke puncak untuk adegan bulan madu. Paham?" jelas Gerald meskipun Rangga tampak tidak antusias mendengarkan kalimatnya. Rangga bahkan belum membuka bubur ayam pemberian Gerald.
"Aku benci hidupku." Rangga menghela napas panjang mendengar penjelasan Gerald. Ia sangat bosan dengan rutinitasnya.
"Dengar! Kontrak lu dengan sinetron ini hingga 800 episode. Dan masih ada 300 episode lagi yang belum terselesaikan. Setelah kontrak selesai, kontrak untuk sinetron selanjutnya sudah menanti jadi jangan mengulur-ngulur waktu."
"Aku benci hidupku," ulang Rangga. Wajah semakin lemas.
"Woy! Lu tahu kan alasan utama lu harus menghasilkan uang sebanyak-banyaknya? Dan penderitaan lu berakhir jika saja lu bisa mengalah dan ..."
"Aku cinta hidupku!" seru Rangga memotong kalimat Gerald, ketika dari balik kaca, manik matanya menangkap sosok Kayla turun dari taksi.
Gerald mendesah napas panjang. "Hhhh, si figuran itu lagi."
"Extras," ralat Rangga. "Jangan sebut dia figuran. Tapi, extras talent."
Dengan spontan Rangga mendatangi Kayla. Meninggalkan Gerald yang terperangah melihat sikap tidak biasa dari artisnya itu.
"Si Figuran itu. Pasti menggunakan dukun pelet untuk menarik perhatian Rangga. Ck!" tuduh Gerald bermonolog penuh curiga.
"Hai," sapa Rangga. Balutan senyum merekah di wajahnya.
"Oh, hai." Kayla tampak tidak tertarik.
"Sarapan? Aku membelikanmu bubur ayam," kata Rangga memberikan bubur pemberian Gerald pada Kayla.
"Aku sudah makan. Untukmu saja," tolak Kayla dengan halus. Kayla kemudian duduk di salah satu meja rias. Mulai memoles wajahnya dengan make up yang ia bawa. Karena adegan untuknya adalah adegan lamaran, dan Kayla berperan sebagai salah satu tamu undangan. Meskipun adegannya masih nanti siang, dia tidak boleh terlambat. Tidak ada toleransi bagi pemain extras.
Rangga mengernyitkan dahi. Ia menarik sebuah kursi dan menggesernya ke samping Kayla.
"Aku tidak percaya kamu sudah makan. Ayolah, anggap ini pengganti sup rempah kemarin."
"Aku tidak berharap kamu menggantinya. Kamu makan saja. Lagi pula apa yang terjadi kemarin ya biarlah tetap tinggal di hari kemarin. Aku tidak pernah menganggapnya."
Rangga menatap heran ke arah Kayla. Kayla benar-benar berlagak seperti tidak pernah terjadi apapun di antara mereka.
"Kayla?"
"Ya?"
"Kamu tidak merasa kehilangan sesuatu setelah malam itu?"
"Kehilangan apa?"
"Sesuatu berharga yang hanya sekali menjadi milikmu. Dan bisa hilang ketika ... ya ... kamu tahu lah maksudku."
Kayla menghentikan gerakannya. Jelas sekali ia paham apa yang sedang dibicarakan oleh Rangga. Tapi ia berusaha tidak mempedulikannya.
"Apa karena kamu tidak merasakannya? Makanya kamu tidak menganggapnya jika sesuatu itu sudah hilang?"
Kayla menengok Rangga sambil memicingkan matanya. "Oh, jadi kamu berbohong? Malam itu, kamu hanya pura-pura mabuk?"
"Bu-bukan begitu maksudku." Rangga mulai tampak kelagapan.
"Lalu?"
"Mungkin aku salah melihat. Mungkin saja memang sprei di hotel itu kurang bersih, hingga aku menemukan bercak merah," kilah Rangga. Hampir saja ia ketahuan jika ia berpura-pura mabuk. Namun, dalam hatinya, ia yakin sekali jika Kayla memang masih perawan sebelum malam itu.
"Berarti kamu harus mengajukan komplain dengan pihak management hotel," kata Kayla.
"Ya, mungkin." Rangga terdiam untuk sesaat. "Kayla, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Tanya saja. Kenapa harus meminta ijin hanya untuk mengajukan pertanyaan?"
"Apa kamu sudah pernah kencan dengan pria lain sebelumnya?"
Kayla memutar manik matanya dan menengok sebal ke arah Rangga. "Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan? Apa hubungannya dengan pengalaman berkencanku? Jangan-jangan, kamu menganggap apa yang terjadi malam itu adalah kencan."
Rangga mengangguk cepat. Kayla menghela napas panjang.
"Kencan itu dimulai dari dua orang yang saling menyukai. Apa kamu menyukaiku? Jelas tidak. Aku bukan seleramu. Kamu pasti lebih menyukai gadis-gadis cantik yang dari strata sosial yang sama denganmu. Dan apakah aku menyukaimu? Jelas tidak. Aku menyukai pria dewasa yang bisa berkomitmen dan bertanggung jawab. Jadi, rasanya sangat lucu jika kita menganggap apa yang terjadi malam itu sebagai kencan. Kita bahkan tidak pernah membicarakan perasaan dari hati ke hati, benar kan?!" jelas Kayla melempar tanya dan menjawabnya sendiri dengan perspektifnya.
Rangga terdiam untuk sesaat. "Benar juga."
"Nah, makanya. Lupakan saja yang terjadi malam itu."
"Aku longgar Sabtu minggu depan," celetuk Rangga.
"Lalu?"
"Kita bisa menghabiskan malam berdua di hotel yang sama."
"Wah."
"Sebotol wine, bunga dan cahaya temaram dari lilin-lilin kecil. Berbincang tentang perasaanmu dan perasaanku. Lalu kita bisa mengulangi kejadian di malam itu secara sadar. Seperti layaknya orang pacaran. Bagaimana? Menarik bukan?"
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
Kayla menghela napas panjang. "Aku tidak terbiasa menjalin cinta satu malam. Impianku adalah menjalin hubungan dengan pria yang dewasa, bertanggung jawab dan bisa berkomitmen. Sedangkan dirimu adalah pria petualang dan hidup berdasarkan azas kebebasan. Aku rasa kita tidak cocok. Jadi, anggap saja apa yang terjadi malam itu hanyalah 'kebetulan'."
Rangga terdiam. Ia menatap Kayla yang kembali sibu mengoleskan lipstik berwarna pink nude ke bibirnya.
Pria Dewasa? batin Rangga berpikir. Ia masih belum sadar jika ia baru saja ditolak oleh Kayla.