Terlebih Kayla memang anti playboy. Hal itu hanya mengingatkan Kayla pada ayahnya. Ayah-Kayla dengan mudah meninggalkan Kayla dan keluarganya demi perempuan lain. Sejak kecil, Kayla sering melihat ibunya menangis ketika menemukan foto perempuan lain di ponsel ayahnya.
Kebiasaan ayahnya yang sering berganti-ganti pasangan itulah yang membuat Kayla curiga jika kanker serviks yang diderita ibunya, adalah penyakit HPV yang dibawa pulang oleh ayahnya. Ditambah judgement social yang malah membuat orang menduga jika Rosma-ibunya Kayla yang kerap bergonta-ganti pasangan. Itu menyakiti hati Kayla. Kayla kenal betul siapa ibunya.
***
Di sebuah restoran di Hotel Swiss Bell, Gerald melihat Rangga dengan raut wajah jijik. Terlebih mereka baru saja makan malam. Dan ekspresi wajah Rangga itu membuatnya mual.
"Dari tadi gue ngeliatin lu senyum-senyum sendiri, seperti orang gila baru. Jijik tau, gak?!" kesal Gerald. Gerald adalah manager sekaligus sahabat dekat Rangga.
"Tadi pagi, dia bawain gue sup daging rempah. Dan dia bisa kepikiran untuk ngasih gue vitamin setelah mabuk semalam. Kayaknya bener deh, dia suka sama gue," ungkap Rangga teringat dengan Kayla semalam. Senyuman masih merekah di bibir Rangga mengingat kejadian antara dirinya dan Kayla.
Gerald menghela napas panjang. "Lu juga ngomong gitu setelah menghabiskan malam bersama Alicia. Dua hari kemudian lu bilang kalau, Alicia itu gila dan harus dijauhi. Paling juga, 2 hari lagi lu bakal mengatakan hal yang sama," remeh Gerald.
"Ger, yang ini tuh beda. Kebanyakan perempuan yang gue temui itu selalu mengharapkan return in favor. Jadi mereka merasa sudah memuaskan gue, dan mereka tidak mau gue lepas sebelum gue memberikan sesuatu sebagai gantinya."
"Bukankah itu wajar?"
"Lu kayaknya nggak paham deh maksud gue, Ger."
"Gue paham. Lu nyari cewek yang bisa nerima lu apa adanya tanpa peduli dengan latar belakang keluarga lu. Gitu, kan?" Suara Gerald terdengar malas.
"Yes! Tepat sekali."
"Ga, yang namanya cewek, kalau habis melakukannya atas dasar suka sama suka, itu pasti akan menuntut lebih setelahnya. Karena dia merasa nyaman sama lo."
"Benar. Tapi, Ger. Apa yang mereka tuntut itu bukan diri gue. Hanya uang gue aja. Mereka nyamannya sama uang gue. Bukan nyaman sama gue. Kemudian mereka mencari tahu tentang gue. Eh, begitu tahu siapa gue, mereka semakin nggak mau melepaskan ATM gue. Padahal gue nggak sekaya itu."
"Ya benar. Lu kan memang miskin. Hutang lu saja segunung," sindir Gerald.
Rangga melirik kesal ke arah Gerald, tapi ia tetap melanjutkan kalimatnya. "Gue nggak masalah sebenarnya mengeluarkan uang berapa pun untuk orang yang mencintai gue." Rangga melemahkan intonasi bicaranya. "Tapi, gue nggak bisa memberikan banyak dari apa yang gue punya, untuk orang yang bahkan tidak peduli dengan gue. Untuk orang yang peduli hanya dengan harta gue. Seolah, gue ini sapi perah untuk mereka."
Gerald menghela napas panjang lalu meneguk bir dihadapannya untuk menyembunyikan raut wajah kasihan yang mulai tampak diwajahnya, setelah mendengar kalimat Rangga. Memang benar apa yang dikatakan Rangga. Sebagai manager sekaligus teman dekat Rangga, Gerald tahu betul bagaimana Rangga diperlakukan oleh orang tuanya. Sejak kecil ia menjadi sapi perah orang tuanya.
Wajah Rangga yang rupawannya mampu menghipnotis para agen pencari bakat. Gaya Rangga yang malu-malu menggemaskan tapi juga pandai berakting mempermudah Rangga dalam mencari peran. Awalnya Rangga mengira dirinya hanya akan menjadi bintang iklan atau sekedar model di majalah anak-anak. Dan Rangga menyukai hal itu. Tapi, popularitasnya yang naik drastis membuat segalanya terjadi diluar ekspektasinya.
Rangga sering dipaksa ibunya—Carlota—untuk masuk ke dalam sinetron kejar tayang yang melelahkan untuk anak seusianya. Penonton tidak ada yang tahu apa yang terjadi di balik penayangan sinetron yang bercerita tentang anak konglomerat berusia 9 tahun yang diperankan oleh Rangga itu.
Tidak ada yang tahu. Saksi tak bersua hanyalah rotan yang sering digunakan Carlota untuk membuat ruam merah di punggung Rangga. Ruam merah yang selalu tertutup kaos-kaos mahal.
Dan Gerald adalah saksi hidup peristiwa itu. Gerald masih mengingat ketika ibunya—yang bekerja sebagai pengasuh Rangga—memeluk Rangga. Meredam tangisan Rangga pasca pecutan-pecutan yang dilayangkan Carlota ke punggung anaknya.
Carlota biasanya langsung datang ke lokasi syuting ketika mendengar kabar anaknya merajuk. Ia mengajak Rangga ke sebuah kamar atau ke dalam mobilnya agar tidak diketahui kru yang lain. Memarahi Rangga yang tengah rewel tidak mau syuting, kemudian meninggalkan Rangga lagi dengan alasan pekerjaan. Ia hanya datang untuk mengancam, agar Rangga menyelesaikan sinetron itu dengan baik. Dan tidak mau tahu proses penuh peluh di dalam sinetron itu.
Pantas saja, Rangga tumbuh menjadi manusia yang haus akan kasih sayang. Namun, itu juga menjadi bumerang. Dirinya jadi mudah dipermainkan oleh kelembutan pura-pura dari seorang wanita. Dan tugas Gerald adalah menjaga Rangga dari hal-hal itu. Bukan hanya karena uang semata, tapi karena solidaritas pada teman sedari kecil yang tumbuh beriringan bersamanya itu.
"Menurut lu, seberapa berharga keperawanan bagi perempuan?" tanya Rangga menyadarkan Gerald dari lamunan masa lalu.
"Hah?!" Gerald merasa tidak mengerti. "Kayla masih perawan?
"Bukan. Gue hanya penasaran saja," kilah Rangga. Ia tidak ingin membahas tentang apa yang sebenarnya ia rasakan pada malam panas semalam.
"Oh, gue kirain. Sangat berharganya tentunya. Jangan bilang lu sedang mengincar keperawanan, bedebah!? Siapa lagi yang menjadi sasaran lu saat ini?"
"Jika seorang wanita memberikan keperawanannya secara Cuma-Cuma, itu artinya wanita itu jatuh hati dengan laki-laki yang dikencaninya kan?"
"Bisa jadi." Gerald memicingkan matanya heran ke arah Rangga. "Sebenarnya siapa yang sedang kamu bicarakan, hah?"
"Tidak ada," kilah Rangga.
"Apa ini ada hubungannya dengan Kayla. Jadi, karena Kayla masih perawan, maka lu mengatakan jika Kayla berbeda?" tanya Gerald kembali pada pembahasan tentang Kayla.
"Gue tidak sedang membicarakan Kayla. Gue hanya penasaran dengan stigma keperawanan. Tiba-tiba gue kepikiran untuk ngasih ide naskah tentang stigma keperawanan ke bos besar," alasan Rangga.
"Random banget sih pembahasan lu," kesal Gerald. "Dari tadi gue bahas, apa yang berbeda dengan Kayla?"
"Oh, soal itu. Karena aku melihat gaya hidupnya yang tidak semewah dan se-glamour artis-artis yang lain," jawab Rangga.
"Dia selalu mendapat peran figuran. Mana mungkin dia punya uang untuk bermewah-mewah?"
"Berarti dia masih berusaha menjaga harga dirinya. Bukan rahasia lagi, banyak artis muda yang perannya ecek-ecek tapi gayanya mewah dan glamour. Dan ternyata dia simpanan pejabat." Rangga terdiam sejenak. menatap kosong ke arah gelasnya.
"Gue sudah memperhatikan Kayla sejak beberapa bulan yang lalu. Ia wanita yang memilih untuk melakukan peran-peran konyol dengan honor sedikit dari pada menjual dirinya pada orang kaya. Gue juga sering melihatnya disindir oleh aktris lain. Tapi ia tidak peduli. Dari situ gue tahu ia gadis yang tangguh. Sepertinya apa yang gue cari semuanya ada pada Kayla. Gue butuh gadis yang tangguh seperti itu," lanjut Rangga.
Gerald memicingkan matanya ke arah Rangga. "Hmmm begitu. Baiklah. Kayla si Gadis Tangguh. Pertanyaanku cuma satu, jika menurutmu Kayla adalah gadis yang mandiri dan tangguh, lantas apa yang bisa membuat dia menerima pria playboy yang sulit berkomitmen sepertimu? Sedangkan, wanita mandiri itu sangat konsisten, terutama dalam urusan komitmen."
"Eh?" Rangga terperangah mendengar kalimat Gerald. "Iya juga ya."
"Intinya, wanita itu hanya butuh komitmen dan kepastian. Jadi sadarlah!"
"Kenapa sih lu, selalu sentimen sama gue?"
"Karena nalar lu udah mulai rusak. Udahlah, gue mau balik ke kamar." Gerald beranjak dari kursinya dan mengulurkan tangannya pada Rangga.
"Apa?"
"Kunci kamar lu?"
"Lah kenapa lu nggak tidur di kamar lu sendiri?"
"Besok kita harus ke lokasi syuting jam 5 pagi. Dan gue nggak mau bersusah payah membangunkan babi tidur melalui telepon. Tapi, si babi juga tidak kunjung bangun."
"Sialan lu," umpat Rangga kesal. Ia kemudian mengambil kartu dari saku kemejanya dan memberikan kartu buka kunci pada Gerald.
Dengan cepat Gerald menyambar kartu itu. "Kembali ke kamar sebelum pukul 10 malam. Paham?"
"Ya, ya. Udah sana," usir Rangga.
Rangga memesan segelas bir lagi setelah Gerald berlalu. Pikirannya kembali kepada kejadian semalam. Semalam dirinya hanya berpura-pura mabuk di hadapan Kayla. Ia memang sudah sejak lama menjadikan Kayla sebagai target kencannya. Tapi, kenyataan semalam benar-benar membuatnya tercengang.
Rangga yakin sekali, ia membutuhkan banyak usaha untuk bisa masuk menerobos ke dalam ruangan milik Kayla. Dan matanya tidak mungkin salah lihat, jika ada bercak darah diantara nikmat. Kayla mungkin tidak merasakannya, karena ia tengah mabuk. Apa yang membuat Rangga semakin penasaran, kenapa Kayla memberikan selaput berharga itu padanya.
Senyum seringai melengkung di bibir Rangga. "Kayla. Dia pasti benar-benar mencintaiku, tapi ia malu untuk mengatakannya. Ya, aku yang harus mendekatinya lebih dulu. Baiklah. Tidak masalah. Itu memang keahlianku. Dan aku tidak pernah gagal menahklukkan hati wanita. Yups!"
***