"Akhh! Sakit!"
Rintihku saat gigi tajam pria itu menusuk bagian belakang leherku. Aku merasakan bagaimana dia menarik paksa darah dari nadiku. Setelah selesai dengan kegiatannya, tubuhku melemas begitu saja. Aku menatap wajah tampan itu dan dia menyeringai.
"Darahmu luar biasa! Aku tak tahan lagi mencicipi pemiliknya!"
Dan setelah itu dia naik ke atas tubuhku dan menidihku. Demi apapun, aku sama sekali tak berdaya kala dia mulai menanggalkan semua benang yang melekat di tubuhku. Pria itu menyeringai karena melihat mangsanya tak berdaya.
"Aileen! Kau sangat indah!" bisiknya. Suara itu mengingatkan aku bagaimana semua ini bisa terjadi…
.
.
.
Aku sedang berjalan melewati jalan biasa yang selalu kulewati setiap pulang dari kantor. Hari sudah malam, tapi aku sudah sangat biasa dengan situasi di sini. Gelap dan sepi. Menakutkan memang, tapi tidak mungkin pula aku menginap di ruang kerjaku, bukan? Sialnya, aku hanya gadis sebatang kara karena kematian kedua orang tuaku yang tiba –tiba. Di kota ini, terkenal dengan rumor kalau ada makhluk penghisap darah yang mengerikan. Tapi setelah lima tahun kematian orang tuaku, aku sendiri tak pernah membuktikan rumor itu. Sebenarnya …aku tidak percaya!
Ku melanjutkan langkahku untuk masuk ke bangunan apartemenku. Aku yakin, tetanggaku pasti sudah pada tertidur dan aku langsung masuk. Tapi sebelum masuk, aku merasa ada yang aneh. Seakan, ada yang mengikutiku. Maka, dengan cepat aku menoleh dan tak ada siapa pun di sekitar sini. Sepi dan sunyi! Aku menghela napasku dan langsung masuk ke dalam apartemen untuk beristirahat. Ah, besok harus bekerja lagi seperti biasa.
***
Kantor
"Aileen! Hari ini kau lembur lagi ya? Suamiku mau ajak dinner buat anniv," kata Hanna padaku. Ia memberikan segepok map dengan santainya lalu melenggang begitu saja.
'Dia bahkan tak memedulikan aku mau atau tidak. Dasar sial!' makiku dalam hati. Ini juga lah nasib belum menikah dan selalu dimanfaatkan teman sepantaran yang sudah menikah. Umurku sudah dual puluh tujuh, tapi belum menikah. Lucu bukan? Orang lain mengataiku tak laku karena selalu mengenakan kacamata tebal dan pakaian super duper tertutup. Simplenya, mereka menyebutku sebagai cupu.
Setelah kematian orang tuaku, yang terpikir olehku hanya untuk bertahan hidup saja. Bekerja dan bekerja tanpa memedulikan penampilan. Para pria sudah ilfeel duluan dengan gayaku. Tapi aku juga tak peduli. Toh juga, tidak menikah aku tidak mati. Aku menghela napasku sambil melirik arloji di tangan kananku. Jam enam sore dan aku harus lembur lagi. Maka aku pun merenggangkan otot –ototku untuk bersiap kerja.
'Aileen Claresta! Kau pasti bisa!' batinku menyemangati diri.
Aku kembali membuka PC dan mengerjakan semua laporan yang dititipkan Hanna. Awalnya semua biasa saja. Tapi aku merasa semakin yakin, kalau ada orang lain di ruangan ini. Pasti! Maka, aku pun berdiri dan memerhatikan keadaan sekitar yang gelap dan kosong. Aku menghela napasku sekali lagi untuk menenangkan diri.
"Aileen!" panggil sebuah suara dan aku menoleh.
"Ba –bapak? Bapak belum pulang?" tanyaku kepada sosok pria yang tinggi, putih dan super tampan ini. Dia adalah presdir Perusahaan ini. Ah, aku mengakui segala kelebihannya, sekaligus sadar diri kalau aku sangat tidak pantas dengannya.
"Belum. Kamu lembur?" tanyanya dengan nada super lembut.
"Ya, begitu lah Pak." Aku menjawab kikuk sambil menundukkan kepalaku.
"Kalau begitu, mau saya temani? Kasihan kamu sering kali lembur sendirian," katanya dengan penuh perhatian. Wajahku memerah ya Tuhan! Apa- apaan ini? Bosku selalu memerhatikan aku lembur. Bisa gila aku!
"Bapak tak perlu repot," sungkanku.
"Selesaikan saja pekerjaanmu, Aileen. Saya akan menemanimu di sini," ujarnya dan dia mengambil kursi dan duduk di sebelahku.
Aku tak mungkin mengusirnya dari kantor miliknya, bukan? Jadi biarkan saja! Tidak ruginya ada teman. Maka, dengan sigap ke sepeluh jariku melakukan pekerjaannya. Dan setelah satu jam lebih pekerjaanku selesai. Aku pun mematikan PC tanda aku sudah mau kembali. Saat aku berbalik, aku masih mendapati pria itu duduk tenang sambil sedikit …menyeringai? Tunggu? Apa mataku tak salah?
"Aileen, kamu mau pulang kan? Sekalian saya antarkan?" Dia menawarkan diri lagi. Awalnya aku sungkan, tapi semakin lama, perhatiannya jadi aneh.
"Ja –jangan repot, Pak!" kataku dengan sangat tak enak. Dia tersenyum lagi dan menggeleng kecil.
"Kasihan seorang perawan pulang jam segini. Ayolah!" balasnya dengan nada sedikit memaksa sambil menarik tanganku. Tubuhku sedemikian kaku dan mengikuti saja ke mana dia membawaku. Dia mengambil mobilnya dan kami masuk ke dalam. Aku terus saja was- was sambil memerhatikan baik – baik jalan menuju ke rumahku. Dan memang, dia membawaku ke apartemen. Dengan sigap, aku membuka seltbelt dan keluar dari mobilnya.
"Terima kasih, Pak!" Aku tak lupa berterima kasih. Aku langsung naik tangga menuju ke apartemenku dan membuka kunci pintu walau tanganku gemetar. Bulu kudukku merinding dan merasa ada seseorang di belakangku. Maka aku berbalik dan-
"Kyaa!" teriakku tapi dia langsung membekap mulutku. Bosku – David Atkinson langsung mengisyaratkan untuk diam.
"Aku berpikir untuk bertamu saja, Aileen." Dia berujar lalu melepas bekapannya. Sebisa mungkin, aku menetralkan pernapasanku.
"Si –silakan masuk, Pak!" gugupku dan dia tersenyum penuh arti. Maka, aku langsung membuka pintu dan menghidupkan lampu. Dia duduk dengan santainya di sofa dan segera aku menyiapkan teh sebagai bentuk keramah -tamahanku kepada Pak Dave.
Aku sangat gugup sampai seluruh tubuhku gemetaran. Saat aku akan memberi teh ini ke meja tamu, rasanya sangat sulit sampai …
'PRANG!'
"Ma –maafkan saya, Pak!" Aku langsung reflex mengutip pecahan gelas itu. Saking gugupnya, aku sampai terkena beling dan, "Awhh!!" Aku merintih karena darahku mengalir begitu saja. Tiba –tiba, tanganku ditarik dan itu oleh Pak Dave. Pria itu menjulurkan lidahnya dan menatap jariku yang berdarah dengan tatapan lapar. Aku masih diam, sampai memerhatikan matanya berubah menjadi semerah darah dan dia menghisap darahku. Aku terlalu syok sampai tak bisa berkata apa –apa. Dan tak lama-
'BRUKK!'
"Kenapa kau memancingku Aileen?" bisiknya semakin membuat bulu kudukku merinding. Dia sudah menahanku hingga tak bergerak, lalu mendekatkan kepalanya ke belakang leherku.
"Akhh! Sakit!!" Aku merintih kesakitan. Rasanya ditusuk oleh sesuatu yang tajamnya luar biasa dan menarik paksa darahku keluar seperti jarum suntik. AKu merasa terus dihisap sampai akhirnya dia puas dan menyudahi kegiatan anehnya itu. Tangan kanannya meraih wajahku dan mendaratakn bibirnya di sudut bibirku sembari berbisik…
"Darahmu luar biasa! Aku tak tahan lagi mencicipi pemiliknya!"
Mataku membelalak. Kucoba mendorong dia tapi pria itu sangat kuat dan sepertinya perlawanan ini sama sekali tak ada artinya. Dengan sadis, dia mengoyak kemeja kerjaku hingga kancingnya berserakan. Dia menahan tubuhku sekuat –kuatnya sambil mengendus seluruh tubuhku.
"Jangan!" ujarku lemah tapi sepertinya dia tak peduli. Pria itu membuka pengait bra ku dan akhirnya dia melihat apa yang selama ini selalu aku tutupi.
"Indah sekali! Aku tak pernah membayangkan ternyata bentuknya seperti ini di balik pakaian tebalmu itu," katanya sambil menjilat bibirnya penuh napsu. Tunggu? Apa itu tadi? Membayangkan diriku? Dasar pria gila tidak normal!
"Aileen! Kau sangat indah!" bisiknya lagi.
"Pergi dariku!" Aku mendorong kepala pria itu mencoba mencicipi dadaku. Tapi dia mendorongku lebih keras lagi hingga terantuk di sofa. Ia menikmati puncak dadaku sesuka hatinya dan aku … hanya bisa mendesah menikmati segala kegilaan ini. Aku merasakan tangannya turun dan menarik underwearku dengan cepat.
"Kau munafik!" bisiknya lagi sambil menjilat daun telingaku. Oh! Aku gila dan sekarang seakan tak ada kesempatan lagi untuk lari. Dan aku merasakan sesuatu yang besar menembus milikku dengan sangat kuat dan beringas. Aku sebisa mungkin menutup mulutku dan tak mengeluarkan suara.
'Bos brengsek!' makiku dalam hati.