Aku terbangun di pagi hari seperti biasanya. Aku memerhatikan jam besar yang terletak di kamar yang menunjukkan pukul lima pagi. Seperti biasanya, aku langsung bersiap untuk pergi ke kantor. Tapi aku agak bingung. Kuperhatikan sekitar, tapi sosok itu tidak ada di sini. Sosok Davin yang seharusnya berada di sini. Bukan berarti aku ingin dia terbangun bersama denganku di atas ranjang yang sama. Hanya saja, agak aneh rasanya kalau pemilik rumah tidak ada di sini.
"Kamu mencariku?" tanya sebuah suara yang sangat mengejutkan diriku. Aku mengalihkan perhatianku dan yang benar saja! Dia muncul tiba –tiba dengan seenak hatinya tepat di hadapanku. Dia menarik senyumannya lalu duduk di sebelah ranjang, tepatnya di sebelahku.
"Aku bukan manusia yang butuh tidur. Tapi, ini sudah waktunya bangun dan aku datang ke sini untuk memastikan keadaan wanitaku," katanya membuatku tertegun. Pria itu tidak diam dan langsung mendekati diriku dengan seenak hatinya. Tapi dengan gerakan cepat, aku menahannya supaya tak semakin berbuat seenak hatinya.
"Maaf, aku harus bersiap sekarang juga!" Aku langsung turun dan berlari ke kamar mandi. Aku sama sekali tak peduli dengan reaksinya saat ini. Tapi hari ini sudah dimulai. Kehidupanku yang jelas takkan sama lagi dengan sebelumnya.
Langsung saja, aku membersihkan diri dan keluar dengan bathrobe. Aku bersyukur dalam hati karena dia tidak ada di sini dan melihatku dengan pakaian begini. Aku yakin, dia pasti akan melakukan hal –hal aneh yang menuruti birahi gilanya itu. Dan untung saja, dia tidak melakukan apa pun saat aku tidur tadi malam. Semalam, aku sendirian di mansion ini dan untung saja ada makan malam yang bisa aku santap.
"Kita akan pergi ke kantor bersama!" katanya saat aku baru saja selesai dengan pakaian kerjaku. Kebetulan atau memang sudah dia persiapkan, di sini juga ada baju kerja dan banyak pakaian wanita seukuranku.
"Tapi, Pak? Bagaimana tanggapan karyawan lainnya?" tanyaku merasa tak enak. Aku jelas tidak mau mendapat cap sebagai perempuan penggoda bos dengan penampilanku yang biasa saja ini.
"Apa masalah mereka?" tanyanya dengan sangat santai dan hanya kubalas dengan dengusan kesal. Dia tidak akan mengerti bahkan kurasa tidak peduli. Dia bisa melakukan apa saja yang dia mau kan? Lagipula, dia bukan manusia.
"Terserah anda!" balasku pasrah saja.
Langsung saja, dia meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku ikut masuk ke dalam mobilnya. Mobil yang sama dengan aku naiki dua hari yang lalu. Aku masih ingat, betapa malam itu adalah yang terakhir kali aku menyebut diriku sebagai seorang perawan, karena pada faktanya, saat ini aku sudah dikendalikan oleh vampir ini. Aku tak punya kekuatan untuk melawan dan menurut saja lebih baik untuk saat ini.
Pernah ada rumor kalau banyak karyawan di kantor menghilang begitu saja tanpa jejak. Ku yakin, semua ini pasti ada hubungannya dengan David yang haus darah ini. Maka dari itu, aku memilih menurut, karena aku masih mau hidup! Tanpa terasa, sampailah kami ke kantor. Seperti biasa, aku langsung duduk di menja kerjaku. Tidak ada yang spesial, kecuali para karyawan yang menatapku dengan heran. Jelas heran karena aku datang bersama atasan mereka.
Tapi aku santai saja dan memilih diam. Mereka tak paham, betapa peliknya situasi yang aku alami saat ini. Aku melakukan pekerjaanku seperti biasanya sambil mengabaikan sekitar. Tanpa terasa, jam istriahat tiba. Seorang rekan kerjaku, Hanna langsung datang dan duduk di sebelahku.
"Aileen! Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat! Kau dan Pak David? Kalian satu mobil? Wah! Wah! Apa aku melewatkan sesuatu?" tanya Hanna membuatku kesal dalam hati.
'Sial! Kalau dipikir semua ini adalah karenamu! Kau menyuruh aku lembur dan hasilnya aku tinggal di ruangan ini bersama dengan vampir brengsei itu!' makiku dalam hati kepada Hanna yang seenak jidatnya main tanya saja. Jujur sih, aku sama sekali tak mau memberi jawaban apa –apa kepada Hanna.
"Aileen! Kamu dipanggil Pak Dave!" kata Roy membuat yang lainnya terkejut.
Bukan kalian saja! Aku juga terkejut. Tapi, aku langsung saja berdiri dan melangkah menuju ke ruangan Pak Dave walau mata yang lain terus saja mengawasiku. Aku tahu dengan benar, di sini banyak gadis yang menggemari pria itu. Tapi memang, Pak David sama sekali tak pernah terlibat skandal sedikit pun. Luar bisa sekali, bukan? Sayangnya, di sini tidak ada yang tahu kalau pria itu adalah makhluk buas yang akan sangat kalian takuti. Aku berani taruhan, para gadis di sini akan segera berubah pikiran kalau aku buka suara.
Sayangnya, bukan pilihan yang aman kalau aku buka mulut dan membeberkan fakta itu. Dia bisa membunuh diriku kapan saja. Sampai aku tahu segala kebenarannya, maka barulah aku mencari celah untuk bertindak. Kini, aku membuka kenop pintu ruangan Pak Dave. Aku melihat dia sudah duduk dengan santai menunggu diriku.
"Aku sudah menunggumu sayang!" katanya.
'CEKLEK!'
Pintu tertutup sendiri sehingga aku membelalakkan mata. Pak Dave mulai terang –terangan menunjukkan kekuatan magisnya terhadapku. Aku langsung menarik napas dalam –dalam lalu berjalan mendekat kepadanya. Pria itu dengan santainya langsung mengisyaratkan supaya aku duduk di sebelahnya, di tempat kosong di sofa yang dia duduki. Aku menurut. Tapi tak lama, dia menarikku hingga aku duduk di pangkuannya.
"Pak! Ini sangat tidak nyaman!" keluhku, tapi dia membalasnya dengan seringaian seperti biasa. Demi apa pun, dia malah semakin menyebalkan dan malah menarikku semakin merapat dengannya.
"Aileen! Aku tidak tahan lagi!" katanya sontak membuat mataku terbelalak. Aku langsung menjauh tapi tidak bisa. Dia sengaja membuatku tertahan di sini hingga kuyakin dia bisa mendengar debaran jantungku.
"Bisa –bisanya anda berpikir untuk melampiaskannya di sini!" protesku. Aku tahu, dia bernapsu karena merasakan sesuatu yang menonjol di balik celananya. Aku tak mau membicarakannya, tapi itu sangat mengganggu pikiranku.
"Tidak ada siapa pun yang akan ke sini. Lagipula, aku sudah mengunci pintu," balasnya dengan santai sambil mendekat ke arah leherku lalu menghirupnya seakan ada aroma yang sangat menarik buatnya.
"Ada CCTV!" Aku beralasan lagi karena tak ingin melakukan sesuatu yang mungkin saja aku akan sesali nantinya. Walau memang, aku sudah bukan seorang virgin lagi.
"Aku bisa mematikannya otomatis bahkan tanpa menyentuhnya, Sayang! Sebentar saja ya?" pintanya lagi. Dia terlalu memaksa bahkan sampai kurasakan tangannya masuk ke dalam rokku. Sialan! Sejak kapan tangannya menyelinap di situ.
"Jangan!" tolakku tapi kelihatannya dia sama sekali tak peduli. Elusannya begitu tembut membuat seluruh tubuhku begitu merinding dan semakin membuat aku tak berdaya. Dengan santainya, dia mengecup leherku sehingga membuat aku semakin terbawa dengan suasana dan alur yang diciptakan pria yang kini berkuasa atas tubuhku. Rasanya panas, walau ini adalah pertengahan musim gugur. Sebentar lagi musim salju dan suhu rata –rata bahkan tak sampai lima belas derajat. Tapi situasi ini membuat semuanya begitu panas dan penuh gairah.
"Eumhh!" lenguhku kala dia mencoba menciumku. Bodohnya aku hanya menerima dan terkesan menikmati segalanya.
'Ukhh!'
Aku merasa tubuhku didorong dengan agak kasar sampai aku terbaring di sofa ini. Pria itu kini tepat berada di atasku dan menyeringai dengan begitu sexy. Aku gila! Ya, aku yakin kalau kadar kewarasanku sudah menghilang, karena aku jatuh dalam pesona vampir sial ini. Perlahan, aku melihat tangannya membuka satu persatu kancing bajuku dan menarik bra-ku ke bawah untuk melihat sesuatu yang ditutupinya. Aku menoleh sambil menutup mataku karena tak mau melihat kelanjutannya karena aku tak sanggup mendeskripsikan apa yang dilakukan si brengsek itu.
'KRUYUKK~~'
Suara perutku membuat dia terdiam. Mataku terbuka dan melihat dia yang memerhatikan dengan tatapan terkejut. Ini kesempatanku dan langsung aja aku dorong dira menjauh dari tubuhku dan merapikan pakaianku.
"Ini memang sudah jamnya makan siang kan? Jangan lupa kalau saya adalah manusia dan butuh makan!" ujarku sembari mengancingkan kemejaku. Bisa kuperhatikan wajahnya yang begitu kesal karena tak jadi melampiaskan napsunya dan itu membuat aku sebisa mungkin menahan tawa.
"Aku akan menemanimu makan siang!" katanya sambil menarik tanganku. Aku menurut saja, karena memang benar! Dia sama sekali tak mau melepasku sedikit pun.