Tugas Bagas belum selesai hanya mengantar Vina berobat. Ia masih harus membelikan tongkat elbow sebagai alat bantu Vina berjalan.
Setelah melakukan penanganan pada luka yang tergores pecahan kaca lampu pada saat gempa, Bagas segera berlari ke apotek yang terletak di sebrang klinik guna membelikan tongkat tersebut.
Sementara Vina penuh dengan kesabaran menunggu Bagas masih ditempat yang sama didepan ruang dokter umum.
Sembari menunggu Bagas, kedua matanya terpusat pada seorang anak laki-laki yang sedang menuntun ibunya yang sudah renta masuk kedalam ruang pemeriksaan dokter. Merema mengingatkan Vina pada Bagas dan terngiang oleh ucapan Bagas yang sempat didengarnya tadi.
"Nasib Bagas mungkin sama dengan aku. Bekerja untuk ibu. Kasihan banget hidup dia. Dan kenapa seharian ini aku merasa lebih dekat dengan OB Bagas ketimbang karyawanku yang lain? Atau mungkin kita lebih awal ketemu dan akhirnya menjadi akrab?" Gumam Vina, bingung, namhn sempat tersenyum tipis kala mengingat pertemuan mereka pada saat mobil Vina mengalami pecah ban.
Disela lamunannya, Vina mendapatkan telepon masuk dari pak Ridwan.
"Ya pak Ridwan. Bagaimana, dengan keadaan kantor? Apakah sudah bapak cek semuanya, apa saja yang memerlukan perbaikan?"
"Ada beberapa ruang yang perlu diperbaiki. Dan hiasan-hiasan seperti lampu banyak berjatuhan. lalu Bu Vina, bagaimana keadaannya?" Saut Ridwan disela peecakapan seriua mereka, ia masih sempat menaruh perhatian pada Vina.
"Jika memang ada yang perlu direnovasi, cari saja tukang untuk memperbaikinya. Pokoknya bapak atur semua gimana baiknya. Saya minta tolong dan maaf ya pak, jadi harus menambah tugas bapak. Seharusnya hal seperti ini adalah tugas orang humas. Ya saya baik pak. Dan sekarang sedang menunggu Bagas menebus obat sekaligus membelikan alat bantu untuk saya berjalan." Jawab Vina
"Ah, tidak masalah bu. Demi bu Vina saya rela direpotkan." Celetukannya membuat Vina ilfeel. "Apa perlu saya temani ibu Vina di klinik?" Imbuhnya
Vina semakin dibuat tidak nyaman dengan Ridwan jika sudah tidak membahas masalah pekerjaan. "Em, tidak perlu pak Ridwan. Terimakasih banyak. Sudah ada Bagas yang menemani saya. Maaf sekali lagi saya merepotkan bapak."jawab Vina
Untuk membuat cepat berakhir perbincangan mereka, Vina beralasan ada hal lain yang akan di selesaikan secepatnya.
"Huft, dasar nih cowok satu ganjen banget! Gatau apa kalau aku gak suka dengan cara dia. Tidak ada alasan juga aku mengeluarkan dia dari kantor. Kinerja dia selalu bagus." Gerutu Vina mendengus kesal.
"Siapa bu, yang ingin dikeluarkan dari kantor? Saya ya?" Saut Bagas mengagetkan Vina
"Oh, bukan gas. Karyawan lain. Mana mungkin aku memecat kamu, sementara kamu saja baru masuk kantor saya. Ah sudahlah tidak penting membahas masalah itu."
Bagas mengangguk. Dan ia menyerahkan tongkat jalan yang dubutuhkan oleh Vina. "Terimaksih ya gas." Senyum tipis kearah Bagas
"Iya bu, sama-sama." Membalas senyuman itu
Mereka akhirnya meninggalkan klinik. Berjalan beriringan sambil bercanda hingga sampai pada tempat parkir dimana mobil Vina terparkir.
Tidak hanya sampai disitu, Vina ingin Bagas mengantarkan dirinya pulang. Sebab luka itu ada pada telapak kaki kanan Vina sehingga membyat dirinya kesusahan untuk menginjak gas ataupun rem mobil.
"Kamu antar saya pulang ya. Sangat riskan jika saya harus nyetir mobil sendiri dengan rasa sakit yang ada pada kaki."pinta Vina
"Tapi bu, apa tidak sebaiknya saya kembali ke kantor. Sangat tifak enak dengan karyawan lain jika saya pergi dengan ibu namun tidak kembali ke kantor." Jawab Bagas
"Memangnya kamu tega membiarkan saya menyetir mobil sendiri? Giamana kalau tiba-tiba merasakan sakit ? Dan ada hal yang tidak saya inginkan terjadi." Ujar Vina seolab bersikekek meminta karyawan OB nya itu untuk mengantar dirinya.
Sejenak Bagas berfikir, mencerna ocehan bosnya itu yang dinilai Bagas dibalik sikap dinginnya, ternyata Vina wanita yang cerewet. "Ah bawel banget ni cewek. Kalau bukan karena balas dendam, ogah banget dah disuruh-suruh begini. Sabar Bagas, roda kehidupan berputar, sekarang boleh dirimu yang dibawah, namun ada saatnya juga berada di atas." Gumamnya dalam hati
"Okelah bu, saya antar pulang."
Semula wajah Vina tertekuk kesal, kini berubah menjadi ceria kembali.
****
Mereka sudah berada dalam satu mobil menyusuri jalan menuju kerumah Vina. Setelah adanya gempa, Vina sengaja mempulangkan karyawannya lebih awal dari jam biasanya. Jadi tidak ada salahnya, saat ini sedang berada di luar jam kantor
Sepanjang jalan menuju jalan rumah Vina, dalam mobil tampak sekali hening tidak ada perbincangan diantara mereka.
Sementara Vina muncul rasa penasaran dengan kehidupan Bagas. Vina menggunakan kesempatan mereka yang sedang satu mobil untuk mengulik kepribadian karyawan barunya itu. "Apa yang membuat Bagas seperti tadi? Wajahnya sangat geram. Layaknya menyimpan kekesalan dihatinya." Gumam Vina dalam hati sembari melirik kearah Bagas yang sedang fokus.
Untuk menjawab penasarannya, Vina memberanikan diri membuka pertanyaan pada Bagas.
"Gas, kenapa kamu mau jadi OB? Padahal nih ya, kalau kamu mau, kamu bisa jadi model, atau marketing dikantor. Sebab postur tubuh kamu, face maupun gaya bahasa kamu itu sayang sekali jika hanya untuk bekerja sebagai OB." Celetuk Vina sontak membuyarkan konsentrasi Bagas dalam menatap jalan raya.
Uhuk ... Uhuk ... Uhuk.
Sontak Bagas pun kaget dengan pertanyaan Vina.
Pluk ... Pluk ... Pluk.
Dengan sengaja Vina menepuk punggung Bagas yang sedang tersendak.
"Eh, maaf. Minum dulu nih. Ada yang salah dengan pertanyaanku, ya?" Menyerahkan sebotol air mineral dan sekaligus mwmbukakannya.
Glek ... Glek.
Meneguk air untuk menenangkan dirinya.
"Tidak ada yang salah bu. Kalau soal pekerjaan,ah apalah daya jika saya hanya lulusan SMP bu." Jawab Bagas merendah.
"Jangan merasa minder atau berkecil hati dengan rendahnya pendidikan. Sekarang banyak lo, anak lulusan SMA dapat mengalahkan anak kuliahan. Semua itu tergantung pribadi masing-masing. Jika kamu mau mengasah kemampuan yang ada pada dirimu, maka kamu akan mampu lebih melakukan dari orang yang pendidikannya lebih tinggi dari kamu." Jawab vina memberikan pandangan luas pada Bagas mengenai dunia pendidikan dna pekerjaan.
"Wanita ini sebanrnya baik walaupun dia seorang bos dan terkenal dengan sifatnya yang dingin. Dibalik itu ada sifat positifnya. Tapi aku tidak boleh terlena akan kebaikannya." Gumam Bagas dalam hati sembari memutar stang mobil berbelok masuk kehalaman rumah Vina.
Sesampainya di rumah Vina, ia meminta Bagas untuk turun dan masuk kedalam rumah. Karena Vina berniat mengajaknya makan bersama.
"Eh ngapain diam saja di situ? ayo kita masuk kedalam. Ada mami aku didalam." Saut Vina menarik tangan Bagas yang sedari tadi hanya berdiri didekat pilar rumah Vina.
Hati Bagas serasa campur aduk. Didalam batinnya serasa ingin marah, menangis. Dirinya merasa belum siap ketika akan bertemu dengan mami Vina yaitu seorang janda yang pernah merebut ayahnya dari pelukan sang ibunda. Namun disisi lain Bagas harus tetap bersikap biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa dan merasa belum kenal.
"Gas, ayo kita masuk kedalam." Paksa Vina pada Bagas.
"I...iya bu." Jawab Bagas dengan gerogi.
Dengan helaan nafas panjang, Bagas menenangkan diri sembari menyiapkan mental serta hati, saat bertemu dengan ibunda Vina didalam.
Selangkah demi selangkah namun pasti, Bagas mulai masuk pada teras rumah Vina.
Rumah yang didominan dengan warna cat putih tulang, berhiaskan lampu bohlam yang sangat besar, perlahan kaki Bagas mulai menginjakkan lantai marmer yang menandakan dai sudah berada di ruang tamu rumah tersebut.
Sampai di dalam ruang tamu yang dipenuhi dengn foto keluarga serta hiasan dinding lainnya, perlahan Bagas menghempasman tubuhnya pada sofa empuk yang dilapisi kain sofa yang berkualitas. "Duh, lelah sekali hari ini." Mengusap piluh keringat yang mulai sedikit berkurang akibat terkena dinginnya AC di rumah Vina.
Seketika mata Bagas terbelalak oleh foto berukuran 30r yang terpajang di dinding. Foto tersebut adalah foto seorang lelaki yang mengenakan jas biru tua. Dengan gayanya yang elegan membuat pria di foto tersebut tampak keren dipandang.