Chereads / Pencari Keadilan / Chapter 11 - Menahan Gejolak Amarah

Chapter 11 - Menahan Gejolak Amarah

Menyerengit saat menatap tajam kearah foto pria berjas biru itu. Terpancar rindu namun benci dari sorot mata Bagas.

"Kenapa ayah lakukan itu kepada aku, abang dan ibu? Apa salah kami seakan kami yang menanggung susahnya hidup selepas ayah tinggal. Jika hanya karena ibu sudah tidak dapat melayani ayah seperti wanita janda itu, setidaknya ayah meninggalkan sedikit kekayaan ayah untuk aku,abang serta ibu." tidak terasa bulir air mata menetes pada kedua mata Bagas.

Rasa rindu Bagas oleh sosok kasih sayang seorang ayah masih dirasakan hingga detik ini saat ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah janda perebut ayahnya. Akan tetapi, rasa rindu itu terdominasi oleh rasa benci saat ingatan Bagas kembali mengingat pada saat itu di ruang kerja ayahnya.

Bagas mulai beranjak dari tempat duduknya. Perlahan ia melangkahlan kaki menghampiri foto tersebut.

"Mungkin ayah atau ibu tidak pernah mengajarkan pada kami untuk balas dendam ataupun memebeci seseoramg hingga mengakar dihati. Maafkan anakmu yah, Bagas harus mendapatkan keadilan ini. Supaya luka di hati ibu terbayar lunas." Ucap geram Bagas mengepalkan tangannya seakan perlahan ingin menghantam sebuah foto pernikahan ayahnya dengan janda itu.

"Bagas, ngapain kamu didepan foto ayahku?"

Saat Bagas ingin mengarahkan kepalan tangan untuk menghantam foto itu, ia dikagetkan oleh suara Vina yang menghampiri dirinya. Seketika kepalan tangannya kembali meregang dan turun perlahan dibalik tubuhnya.

"Eh bu Vina, buat kaget saya saja." Tersenyum meringis. "Ini loh bu, saya sedang melihat-lihat foto keluarga ibu. Ayahnya ganteng dan ibunya cantik. Maaf jika saya lancang." Imbuh Bagas kembali duduk pada posisi semula.

"Itu ayah sambung saya. Kalau ayah kandung saya sudah tiada. Tapi entah kenapa fotonya tidak diperbolehkan oleh mami terpajang diruang ini." Jawab Vina

"Yang itu, mami bu Vina?" Menunjuk keaerah foto wanita berkebaya dengan sanggul yang membuat mami Vina terlihat layaknya wanita Jawa yang sangat cantik.

Vina mengangguk. "Iya, itu mamiku. Mami kelahiran Solo. Sebenarnya ayah kandungku yang memang asli Surabaya."

Bagaspun mengangguk faham dengan jawaban Vina.

Dipandangnya foto tersebut oleh Bagas. Sekarang ia pun faham kenapa ayahnya dulu sampai tertarik oleh wanita tersebut. Memang tidak dipungkiri dari kacamata seorang lelaki, bahwa wanita berdarah Solo itu cantik dipandang walaupun hanya melalui foto saja. Ia dapat membayangkan bagaimana saat itu ayah Bagas kesemsem saat memandangnya secara langsung.

.

.

.

"Siapa yang datang sayang?"

Tiba-tiba terdengar suara wanita paruhbaya dengan suaranya yang lembut.

Seketika Bagas dan Vina pun menoleh pada suara itu berasal. Suara yang berasal dari balik tirai pembatas ruang tengah dan ruang tamu itu adalah ibu kandung Vina.

"Eh mami."sapa Vina

"Siapa pria ini?" Tanya wanita yang mengenakan alat pembantu jalan itu.

"Ini karyawan di kantor mi. Kenalkan dia Bagas. Bagas, ini mami aku." Ujar Vina memperkenalkan mereka.

Tidak disangka, didepannya saat ini terdapat wanita yang menghancurkan hati ibunya.

Saat wanita bernama Atika wijaya kusuma itu menghempaskan tubuhnya disamping sang anak, Bagas terkesiap melihat seorang wanita yang dikenali sebagai seseorang yang telah merenggut kebahagiaan keluarganya itu. Rasa marah, benci serta kekesalannya mencuat begitu saja.

Namun, sebisa mungkin Bagas harus menahan segala amarah yang seakan ingin berontak keluar dari dalam hatinya demi sebuah misi yang akan menjadi balasan terindah sekaligus menyakitkan baginya.

Disaat gejolak amarah itu membara, seakan tergambar raut wajah ibunya sebagai penguat rasa yang melebur menjadi satu dalam diri Bagas.

Bagas menghela nafas begitu panjang untuk menenangkan dirinya. Sedikit terjeda perkenalan diantar mereka, tetapi Bagas langsung meraih tangan wanita yang harus dihormatinya itu. Sebab bagaimanapun usia ibu Atika jauh lebih tua dari dirinya, sekaligus sebagai rasa hormat seorang karyawan bawahan dengan pemilik perusahaan.

"Perkenalkan, saya Bagas bu." Ujar Bagas bersalaman dengan ibu Atika.

"Atika, maminya Vina." Jawab Atika membalas dengan senyum ramahnya.

"Oh ya mi,Bagas ini sebelum menjadi OB di perusahaan kita, dia sering tolongin Vina lo. Ada dua kali dia tolongin Vina. Yang pertama saat Vina mengalami pecah ban ditengah jalan dam kebetulan montir langganan tidak bisa datang. Kebetulan ada Bagas lewat, akhirnya dia yang mengganti ban ban mobil Vina. Dan yang kedua, Bagas rela fighting dengan dua perampok yang sempat merampas dompet Vina. Mami tau sendiri kan, bagaimanan pentingnya dompet buat Vina? Dari dulu apapun itu, ada pada dompet aku. Dan yang terakhir tadi saat terjadi gempa. Bagas yang menemani Vina turun dari lantai tiga sampai ke lobi." Jelas Vina sekilas memperkenalkan pertemuannya dengan Bagas.

Bu Atika tersenyum kagum oleh Bagas. "Terimakasih telah menolong anak saya ya, nak Bagas."

Bagas mengangguk. "Iya bu, sama-sama."

"Oh ya, kalau boleh tau, dimana rumah kamu?" Tanya Atika

"Di jalan Argo Manis nomor 20 tante. Sekitar 10 kilometer dari kantor." Jawab Bagas dengan sikap sopan.

Bu Atika mencerca Bagas dengan beberapa pertanyaan sebagai awal dari perkenalan mereka, sekaligus ingin mendapatkan informasi mengenai karyawan baru anaknya itu layaknya sedang melakukan interview namun lebih ke privasi dan santai. Tidak ada hal yang perlu di curigai oleh Atika saat awal pertemuannya dengan Bagas. Ia tidak tahu bahwa pria rambut klimis didepannya itu adalah anak kandung dari almarhum suaminya yang ke dua.

.

.

.

"Ibu, non Vina, makanannya susah ready." Laporan seorang asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Vina.

"Oh, oke bi. Terimakasih ya." Jawab Vina. "Yuk Bagas, kita makan bersama dulu."

"Terimakasih bu, saya kembali ke kantor saja untuk mangambil tas saya yang tertinggal disana."

"Ah sudahlah, jangan menolak. Anggap saja ini rasa terimakasih kami karena kamu sudah sering menolong saya tadi dan kemarin-kemarin." Paksa Vina.

"Iya Bagas, rezeki tidak baik jika ditolak. Ayo kita makan di meja makan bersama." Imbuh Atika mendukung niat baik anaknya

Karena mendapat paksaan sekaligus dalam menjaga misi supaya mulus, akhirnya Bagas menerima tawaran makan bersama dengan keluarga Vina.

"Yasudah kalai begitu, saya mau." Jawab Bagas beranjak berdiri bersama mereka.

Bagas pun mulai membantu Atika berjalan meskipun ia sudah menggunakan alat bantu sebagai jalan. "Terimaksih Bagas, sudah membantu ibu saya. Seharusnya itu adalah kewajiban saya sebagai anak. Berhubung kaki saya juga sedang sakit, jadi merepotkan kamu seharian ini."

Bagas tersenyum meringis dihadapan Vina "gak repot bu, santai saja. Ibu juga sudah baik dengan saya." Jawabnya

Dibantunya oleh Bagas wanita seumuran oleh ibunya itu untuk duduk kursi makan. "Kalau bukan karena misi pembalasan itu, ogah banget ngelakuin kayak gini, apalagi menyentuh wanita najis ini. Idih, gak banget!" Gumam Bagas dengan hatinya yang bergejolak kesal mamun tetap harus tetap tenang.

Mereka mulai makan bersama. Dengan menu-menu cukup mewah yang jarang sekali dimakan oleh Bagas dan keluarganya semenjak ia jatuh miskin.

Meskipun masakan mewah dan enak, selera makan Bagas seakan tiada untuk menyantap makanan tersebut. Sebab adanya bu Atika didepannya. Penghianatan, perselingkuhan silam membuat selera makan Bagas lenyap walaupun perut sudah keroncongan membunyikan sinyal laparnya.

"Bagas, kenapa? Makanannya tidak enak? Atau kamu ingin makanan yang lain? Biar saya minta ke bibi buatkan untuk kamu. Jangan sungkan-sungkan jika mau apa bilang saja." Atikah menangkap tatapan mata Bagas saat menatap kearahnya.

Sontak Bagaspun langsung mengedipkan kedua matanya serta menurunkan pandangannya. "Tidak bu, terimaksih ini sudah cukup kok. Iya ini saya makan."

Semakin lama Bagas berada ditengah keluarga mereka untuk pertama kalinya, diri Bagas seakan terbakar api yang membara. Ia merasa panas dari gejolak emosinya, amarah yang sedari tadi menekan dirinya. Ingin rasanya Bagas meluapkan segala sakit hati, kesal amarah saat itu juga.

"sabar Bagas, bermainlah dengan rapi." gumamnya dalam hati.

Saking panasnya gejolak api yang membakar dirinya itu, seketika lelaki yang menjabat sebagai OB itu beranjak dari kursinya.

"Bu Vina, Bu atika. Maaf saya harus pergi sekarang. Permisi." Bagas akhirnya hengkang dari rumah Vina.