Tidak terasa proses pendonoran darah telah selesai.
"Gas, bagaimana? Lancar? Apakah darah kamu cocok dengan golongan darah mamiku?" Tanya yang sedari tadi tengah menunggu dan panik.
Tetapi Bagas hanya tersenyum saja. Seolah semuanya berjalan dengan lancar. "Tenang bu, lancar. Dan alhamdulillah darah saya cocok dengan golongan darah mami bu Vina." Jawabnya
"Syukurlah. Thank's banget ya gas. Entah lah kalau gak ada kamu, nyawa mamiku bisa terselamatkan atau tidak. Untung saja ada kamu yang segera membawanya kerumah sakit dan sudi mendonorkan darah kamj untuk mami aku." Puji Vina yang tanpa ia sadari tangannya menggenggam erat kedua tangan Bagas.
"Sama-sama bu. Jangan berlebihan, saya hanya menjalankan kodrat manusia yang diharuskan untuk saling tolong menolong."
.
.
.
"Ehem ... Ehem."
Terdengar suara Laila memecahkan kebersamaan antara CEO dengan OB. Seketika mereka langsung melepaskan genggamannya masing-masing dan dibuat salah tingkah atas kepergoknya saling genggam tangan itu.
"Eh la, kok kamu kesini? Ada apa?"
"Maaf bu, dari tadi saya sudah berusaha menghubungi bu Vina. Namun tidak kunjung ada jawaban. Maka dari itu, saya langsung saja kesini seusai dengan informasi satpam bahwa bu Atika dibawa ke rumah sakit ini."jelas sekertarisnya.
"Ada perlu apa, sampai kamu bela-belain mencari saya disini?"
"Ini bu, ada berkas yang harus ibu tanda tangani." Ujar Laila dengan beberapa map didekapnya.
Setelah menyelesaikan berkas yang harus ditanda tangani, Vina meminta Laila untuk memberi tumpangan pada Bagas supaya ia kembali ke kantor dan menyelesaikan tugasnya.
Dengan senantiasa Laila mengizinkan Bagas menumpang pada mobilnya. "Dengan senang hati bu, Bagas dapat nebeng ke mobil saya. Lalu bagaimana dengan bu Vina?"
"Biarkan saya disini menunggu mami saya. Ya, mau bagaimana lagi, sebab tidak ada sanak saudara." Jawab Vina
Akhirnya OB serta sekretarisnya berpamitan kembali ke kantor.
"Bagas, terimakasih ya." Celetuk Vina sembari menoreh senyum pada pria yang telah berjasa bagi orang tuanya.
Senyum itu dibalas oleh Bagas. "Iya, sama-sama bu." Jawabnya sembari menganggukan kepala.
Sikap mereka seolah membuat Laila merasakan ada sesuatu hal yang terjadi diantara mereka. "Apa iya bu Vina dengan Bagas...." Terkanya. "Ah tidak mungkin, saya tau betul kriteria bu Vina." Batin Vina sambil melirik kearah mereka.
Laila dan Bagas satu mobil untuk kembali ke kantor. Sebagai seorang pria, Bagas mengambil alih untuk menjadi sopir. "Biar saya saja mbak yang bawa mobil."
"Oke." Jawab Laila memberikan kunci mobilnya.
Disaat dalam perjalanan, Laila timbul sebuah keinginan untuknya mempertanyakan apa yang terpendam dibenaknya. Sedari tadi, sekertaris Vina itu sesekali melirik ke arah Bagas yang sedang fokus memperhatikan jalanan. Tetapi saat Laila melirik untuk kesekian kali, lirikanny itu tertangkap oleh Bagas.
"Ada apa mbak melirik saya terus dari tadi? Awas lo mbak, kalau sampai naksir, saya tidak tanggung jawab." Celetuk Bagas begitu percaya diri sambil membenarkan kerah pakaiannya.
"ihh, kepedean sekali anak baru inj ya! eh gas ngomong-ngomong, kalau tidak keberatan, bolehkah aku bertanya ?" Tanya Laila memberanikan diri mencari jawaban apa yang ada dalam benaknya.
"Iya mbak, silahkan. Apa yang mau mbak tanyakan kepada saya?"
"Apakah kamu menyimpan rasa dengan bos?"
Uhuk ... Uhuk ...uhuk.
Tanpa sengaja, pertanyaan Laila membuat Bagas tersendak. Tetapi ia berusaha menjawab dengan santai seolah tidak ada hal yang disembunyikan.
"Astaga mbak, pertanyaannya sungguh membuatku syok. Sangat tidak mungkin aku suka dengan bos. Saya sadar diri mbak, saya itu siapa." Jawab Bagas sangat berbeda dengan apa yang ada di fikiran serta hatinya.
Laila pun mengangguk, ternyata apa yang ia fikir tidak sesuai dengan kenyataan. "Ya baguslah kalau begitu. Gak mungkinlah kamu selera bu bos. Soalnya nih, bu bos dikejar sama pak supervisor aja gak mau, apalagi pengusaha se level dengannya tetap gak mau. Entahlah pria seperti apa yang diinginkan bu bos." Celetuk sekertaris Vina tanpa ia sadar telah memandang rendah Bagas yang hanya sebagai OB.
"Kalau kamu tau sebenarnya, kamu gak akan bicara seperti itu kepadaku." Sengit Bagas dalam hati sembari saling mengaitkan antara gigi atas dan bawahnya. "Aku yang seharusnya menjadi pemilik perusahaan itu. Sebab akulah anak kandung dari pak Aditama." Imbuhnya
"Tidak ada nyali untukku suka dengan bu Vina. Sudah berhasil keterima bekerja dan mendapatkan bos sebaik bu Vina saja, aku sudah bersyukur sekali." Jawab Bagas pada Laila.
.
.
.
Setiba mereka di kantor, Laila sengaja berhenti didepan lobi sementara Bagas mencari tempat parkir untuk mobil Laila. Setelah selesai menparkirkan mobil dan hendak masuk ke kantor dengan melalui jalur pintu lain, sebab pintu utama sedang dalam renovasi, Bagas di hampiri oleh seseorang pria berkemeja dan berjas rapi.
Pria tersebut menanyakan ruang kerja Vina dan mencari keberadaannya. Namun Bagas tak langsung menjawab pertanyaan pria itu. Terlebih dahulu Bagas mengamati setiap jengkal penampilan pria didepannya itu.
"Halo, mas. Apakah anda tau dimana bos anda sekarang." Setelah menanyakan hal yang sama untuk kedua kalinya, Bagas langsung menjawab. Bagas hanya mengatakan bahwa Vina sedang tidak ada ditempat. Ia sengaja tidak mengatakan Vina sedang mengurus orang tuanya yang sedang sakit.
"Lebih baik aku tidak kasih tau pria ini. Sepertinya salah satu pria yang suka dengan bu Vina." Gumam Bagas tifak ingin saingannya ini bertemu dengan Vina.
"Kalau begitu, anda tau dimana Vina?"
Dengan mengatupkan kedua telapak tangannya, Bagas mengatakan ia sama sekali tidak mengetahui keberadaan Vina. Sebab dirinya hanyalah seorang OB yang tidak tahu menahu masalah atasannya. "maaf sekali lagi, saya tidak mengetahui keberadaan ibu Vina."
Merasa tidak mendapatkan jawaban seperti yang diharapkan, akhirnya pria itu pergi meninggalkan Bagas dengan buket bunga yang ada ditangannya.
"Wah benar apa kata mbak Laila, pesaing mendapatkan Vina memang berat. Kelas kakap semua." Ujar Bagas menghela nafas.
Bagas melanjutkan pekerjaanya kembali yang sempat ketunda karena mendapat perintah dari sekretaris Vina. Kembali ia mengunjungi lantai tiga.
Mengetahui Vina sedang tidak ada di kantor, OB Bagas berniatan untuk melakukan kembali aksi yang tertunda karena ketahuan. Namun sialnya, saat Bagas hendak membuka pintu ruang pimpinan, pintu tersebut tak terbuka.
Jeglek ... Jeglek ... Jeglek.
"Duh, pakai di kunci segala. Padahal kesempatan bagus." Gerutu Bagas kesal mencoba membuka namun tak juga berhasil
Ulahnya kembali diketahui oleh Laila yang kebetulan memang ruangannya berdekatan dengan ruang pimpinan. "Memang pintu CEO sengaja di kunci jika bu Vina sedanh tidak ada dikantor. Itu sudah menjadi aturan darinya." Celetuk Laila.
"Untuk apa kamu berusaha membuk pintu itu?" Cerca Laila.
"Saya ingin mengambil pel yang kebetulan tertinggal didalam. Karena tadi diminta untuk membeli camilan, saking terburunya, pel saya tertinggal di ruanh sini." Jawab Bagas beralasan.
Ucapan sekretaris Vina itu seolah mencurigai Bagas yang hendak melakukan sesuatu hal di ruang pimpinan. Sebab fikirnya, Bagas selalu tertarik dengan ruangan itu ketimbang ruangan lain.
"Oh, mau ambil pel? Ambil saja nanti saat bu Vina sudah kembali ke kantor ya." jawab Laila sambil memberikan senyum menyeringai berlalu pergi.
"Bakal susah kalau begini caranya. Wanita sekertaris itu bisa jadi penghalangku. Bertambah lagi tugasku untuk membuat dua wanita percaya." Dalam hati Bagas menggerutu kesal.