Tidak terasa dari semalam Bagas memikirkan upaya untuk bisa masuk kedalam hidup Vina ditengah saingat derajat yang membuatnya merasa insecure sampai dia tertidur di teras rumahnya.
"Woy, gas bangun! Ternyata dari semalam kamu tidur disini?" Teriak Askara yang melihat adiknya tidur di kursi panjang terbuat dari bambu diteras rumahnya.
"Emmmm." Jawab Bagaa hanya bergumam.
"Kebiasaan kalau dibangunin susah banget nih anak. Kerja gak lo, jam segini masih merem aja." Bang Askara masih berupaya membangunkan Bagas yang tetap tidur meringkuh berselimut sarung
"Iya bang." Jawab Bagas singkat tanpa mengubah posisi tidurnya.
"Eh gas. Ada cewek cantik datang tuh. Siapa tuh? Itu bos lo ya?" Ujar Askara menepuk-nepuk pantat tepos sang adik.
Mendengar jika bosnya datang, Bagas sontak terbangun, kedua matanya seakan membeliak terang. "Mana bang? Si Vina?"
"Hahaha." Askara merasa puas san berhasil dengan cara membohongi adiknya.
"Ah, gilirian denger adq cewek aja langsung melek matanya! Yuk bangun!"
Sebagai abang yang baik, Askara tidak ingin Bagas terlambat untuk sampai ke kantor karena waktu terus berjalan maju. "Mandi sana! Karyawan baru harus terlihat disiplin. Ingat, misi lo apa kerja diperusahaan itu!" Ujar Askara lalu meninggalkan Bagas diteras.
"Dasar bang Kara, suka banget jailin orang tidur. Duh, mata masih sepet, ngantuk pula." Gerutu Bagas beranjak menuju ke kamar mandi dengan jalan sedikit sempoyongan, namun tidak lupa menarik handuk dan disampirkan diatas pundaknya.
Selesai mandi, Bagas bergegas merapikan diri memakai seragam kerja dengan perpaduan sepatu hitam layaknya aturan yang sudah ditetapkan oleh perusahaan.
Tidak lupa Bagas berpamitan dengan sang ibu saat hendak ke kantor. Ia menghampiri ibunya yang sedang sarapan pagi dengan seorang pengasuh yang sudah dipercaya oleh keluarganya sejak dulu.
Sebagai anak yang berbakti, Bagas menundukkan tubuhnya dan meraih tangan keriput yang pernah menimang dirinya disaat masih kecil. "Ibu, Bagas izin berangkat kerja ya. Doakan Bagas supaya berhasil membawa kebahagiaan itu untuk ibu." Ujar Bagas diakhiri dengan mencium punggung telapak tangannya.
Wanita yang hanya dapat duduk diatas kursi roda belasan tahun itu mengangguk dan tersemyum untuk memberikan respon kepada anaknya.
Sampainya di kantor, saat Bagas turun dari sebuah angkutan umum, dia melihat Vina sedang berbincang dengan supervisor sekaligus seseorang yang diberi tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan kantor yang rusak akibat gempa.
Kali ini, tidak banyak karyawan yang masuk sebab keadaan ruangan yang belum memungkinkan untuk digunakan. Maka dari itu, Vina memberikan jadwal shif kepada karyawannya. Tetapi lain dengan cleaning service yang diminta supaya tetap masuk sesuai jadwal awal untuk membantu proses pembersihan lingkungan kantor.
Saat Bagas akan masuk kedalam kantor, saat itu pula Vina mengakhiri perbincangan dengan rekan kerjanya.
"Permisi pak, bu. Selamat pagi." Sapa Bagas disaat berpapasan dengan karyawan yang jabatannya lebih tinggi darinya.
"Pagi juga." Saut Vina singkat.
Bagas dan Vina bersikap seolah biasa saja setelah ada kejadian kemarin saat dirumah Vina. Vina pun tetap berjalan lurus kearah lift untuk masuk kedalam ruangannya.
"Tumben bu Vina terlihat jutek sama aku. Tidak seperti biasanya yang selalu membalas semyum saat aku menyapanya. Apakah dia marah sama aku? Karena sudah meninggalkan rumahnya begitu saja?" Gumam Bagas sepanjang langkahnya menuju ruangan OB.
Bruukk....
Tidak sengaja, karena jalannya yang melamun, Bagas menabrak salah satu kerabatnya yang sedang membawa pel dan ember kosong untuk memulai melakukan pekerjaannya.
"Aduh gas. Kalau jalan jangan melamun dong. Untung saja embernya kosong. coba kalau ada isinya, bisa tumpah berceceran." Ujar kerabat Bagas sesama Ob baru.
"Eh maaf aku gak sengaja." Jawab Bagas menepis-nepis seragam kerjanya guna memastikan tidak ada kotoran menempel dibaju kerjanya.
"Ngelamunin apa sih kamu? Hayo, pasti melamun cewek ya ?" Celetuk wanita OB didepdannya.
"Ah tidak, cewek siapa? Jomblo akut nih. Cewek tetangga, yang ada kena timpuk." Jawab meringis dengan banyolannya.
"Ah udahlah bercanda mulu, kapan kita kerjanya. Yuk kerja, jangan makan gaji buta!" Imbuhnya.
Bagas mulai melakukan tugasnya sebagai OB. OB diperusahan Vina memang dibagi tugas tiap lantai. Kebetulan, Bagas mendapatkan wewenang untuk membereskan segala ruangan-ruangan yang ada pada lantai tiga. Dimana dilantai tersebut, juga terdapat ruang CEO.
Ruangan Vina terletak pada pojok dekat dengan lift. Setelah keluar dari lift, Bagas langsung menuju orang pertama pada perusahaan itu.
Tok ... Tok ... Tok
"Permisi bu."
Tidak ada sautan dari Vina.
Tok ... Tok ... Tok.
Bagas mencoba mengetuk untuk kedua kalinya. "Permisi bu Vina."
Namun juga tidak ada jawaban sehingga membuat Bagas ragu untuk masuk kedalam ruangan. Didepan ruangan tersebut ia merasa bimbang apakah bosnya ada didalam atau tidak. Bagas sendiripun tidak ingin salah beretika memasuki ruangan bos.
"Masuk saja mas kalau mau membersihkan ruangan si bos. Ruangannta sedang kosong. Karena bos Vina sedang meeting diruang meeting" ujar Laila, sekretaris Vina yang kebetulan melintas didepan ruangan CEO.
"Oh begitu ya mbak. Yasudah kalau begitu saya masuk ya keruang bu Vina untuk membersihkan ruangannya." Jawab Bagas mulai meletakkan tangannya diatas gagang pintu.
"Oke, baik. Kalau begitu saya permisi mau keruang rapat. Selamat bekerja mas Bagas."
Ceklek....
Dibukanya ruangan CEO tersebut. Ruangan yang sangat bersih, dingin serta wangi sehingga membuat nyaman bagi setiap orang memasuki ruangan khusus bos itu.
Ditutupnya kembali pintu tersebut berjala mundur menggunakan punggungnya.
Saat memasuki ruangan tersebut, seketika isi fikiran Bagas mengenai masa lalu itu teringat kembali. Ruangan yang tidak banyak berubah tata letaknya itu ditelusuri satu persatu olehnya.
Berakhir Bagas menjatuhkan beban tubuhnya pada satu kursi yang masih sama bentuk dan warnanya dengan belasan tahun lalu. Hanya saja, kursi yang selalu digunakan seorang pemilik perusahaan itu, hanya berubah letak posisi saja.
"Ruangan ini menurutku adalah ruangan hina. Karena ayah kepergok berselingkuh disini, di kursi inilah ayah duduk memangku perempuan janda itu. Tanpa rasa bersalah, perempuan itu tersenyum penuh kemenangan saat ayah melawan anak-anaknya atas perlakuannya sendiri." Gumam Bagas tersenyum kecut sembari memainkan kursi tersebut dengan berputar-putar.
Menatap tiap celah sudut ruangan dingin itu, hingga kedua bola matana behenti pada sebuah nakas yang terletak dekat sofa tamu. Sembari jarinya menunjuk tegas pada nakas putih tersebut, ia beranjak penuh semangat menuju nakas minimalis dari kayu itu. Dirinya sangat berharap didalam nakas tersebut akan menemukan sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan milik ayah kandungnya.
Satu persatu kotak nakas ditarik terbuka. Namun tiada hal satu pun yang ia temukan tentang surat kepemilikan yang ia cari. "kemana surat itu? Dimana Vina menyimpannya?" Ujar Bagas bertolak pinggang sembari memandangi satu persatu tempat penyimpanan berkas.
Saat ini adalah waktu yang tepat untuk dirinya mencari surat tersebut sampai dapat. "Mumpung Vina belum selesai meeting, aku akan mencarinta satu persatu didalam laci. Siapa tau hari ini aku sudah mendapatkan surat itu dan tidak perlu susah-susah lagi menikahi wanita itu."
Timbul rasa dalam diri Bagas untuk menggeledah setiap tempat penyimpanan diruang tersebut. Dengan perasaan was-was, Bagas memulai ulahnya menggeledah yanh dimulai dari nakas putih yang sempat ia buka tadi lalu melanjutkannya ke nakas berikutnya. Hingga Bagas sampai pada sebuah brankas besar dan kecil didepannya. Ia mulai muncul rasa penasaran apa yang ada didalam brankas tersebut.
"Mungkin isi brankas ini adalah surat penting perusahaan termasuk surat kepemilikan." Gumam Bagas mulai berjongkok memikirkan cara membuka brankas tersebut. Karena seumur hidupnya baru kali ini ia berhadapan dengan brankas besar.
Menggunakan matanya yang jeli, Bagas menelusuri tiap celah brankas tersebut. Ia mencari celah lubang kunci maupun password untuk membukanya.
"Bagas, sedang ngapain kamu?" Terdengar suara wanita yang masuk dan mengagetkan Bagas.