Chereads / Pencari Keadilan / Chapter 16 - Terpaksa

Chapter 16 - Terpaksa

"Ayo pak, lebih cepat lagi! Supaya kita cepat sampai dirumah sakit." Seru Vina pada sopir kantornya itu.

"Baik bu."

Bruuummm.....

Dengan menambah kecepatan dari biasanya, sopir kantor Vina menuruti perintah bosnya. Mobil matic milik Vina itu melaju dengan cepat menyusuri jalan raya sepanjang kota Surabaya.

Akhirnya sampailah mereka dirumah sakit dimana ibu Vina dibawa oleh Bagas kerumah sakit tersebut. Dengan sekali dorongan keras pada pintu mobilnya, langsung Vina melangkah keluar dan berlari menuju ruang informasi.

Diruang informasi tersebut, ia menanyakan dimana sang ibu dirawat. "Permisi, saya boleh tau dimama ibu Atika dirawat? Beliau korban tabrak lari. Kesini dengan seorang pemuda pria." Tanya Vina sembari memberkan informasi sedikit mengenai ibunya.

"Oh iya, ibu Atika kurang lebih dua jam lalu dibawa kesini. Dan beliau masih berada diruang UGD." Jelas patugas

Vina langsung berlari keruang UGD. Tepat diruang UGD, Vina bertemu dengan Bagas yang sedang menunggu sembari duduk didepan ruangan.

"Bagas."

Seketika Bagas yang sedang berdiri dipojok dinding, menoleh kearah suara tersebut.

"Eh bu Vina. Maaf bu, jika saya tidak memberi kabar ibu. Sebab baru saja saya mengurus segala hal yang dibutuhkan oleh ibu Atika. Keterangan suster yang terakhir saya terima, bahwa maminya bu Vina membutuhkan banyak darah setah kehilangan banyak darah."jelas Bagas.

Seketika Vina syok. Mulutnya terbuka menganga diserta kedua matanya membeliak. Ia tidak menyangka hal seperti ini terjadi pada ibunda tercinta. "Bagaimana bisa sih semua ini terjadi gas? Sebenarnya apa yang membuat ibu saya sampai ketabrak?"

"Saya tidak jelas betul kejadiannya seperti apa. Namun pada saat setelah saya menyebrang jalan raya lepas kembali dari toko roti, saya mendengar suara teriakan orang banyak meminta tolong. Saya pun ikut panik apa yang terjadi. Akhirnya saya berlari dan menerobos kerumunan orang-orang itu. Eh ternyata ibu Atika menjadi korban tabrak lari." Sekilas penjelasan yang dapat disampaikan oleh Bagas.

Terlihat Vina sangat kebingungan dan cemas. Tidak tahu lagi dimana dan kepada siapa ia harus mengungkapkan rasa sedih yang dipendamnya. Sangat gengsi bagi Vina jika sampai menitihkan air mata didepan Bagas.

Yang dapat wanita itu lakukan, ia hanya mondar mandir cemas didepan ruang UGD sembari menunggu dokter keluar serta berharap besar jika para media keluar dengan membawa kabar baik mengenai maminya.

"Duh bete banget kalau harus disini terus. Tapi kalau aku pergi begitu saja, yang ada malah Vina tidak menganggap aku berempati padanya." Gumam Bagas dengan dagu menopang diatas tangannya. "Pusing juga lihat wanita itu mondar-mandir kayak setrikaan." Imbuh pria berpakaian OB itu mendengus kesal.

Tetapi baginya, momen seperti ini dapat ia manfaatkan untuk menarik hati Vina.

"Bu, ibu Vina tenang ya. Saya yakin bu Atika baik-baik aja. Lebih baik ibu duduk dan doakan ibu Atika. Itu akan lebih baik ketimbamg ibu mondar-mandir begitu. Kita doa bersama, dan serahkan semuanya sama Allah."celetuk Bagas memberi masukan pada Vina

"Aku gak bisa tenang gas, harta berhargaku cuman mamiku. Dialah satu-satunya yang aku punya." Jawab Vina yang baru saja menitihkan air mata saat Bagas mengnampirinya. Sebab sedari ia mendapatkan kabar mengenai musibah yang menimpa ibunya, ia sudah menahan bendungan air mata itu.

Namun memang sedinginnya sikap yang dimiliki oleh seorang wanita, ia juga dapat sedih, dan menangis disaat orang tercinta dalam hidupnya dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Kalau mau menangis, menangis saja bu. Tidak perlu malu atau gengsi. Dengan menangis mungkin dapat mengurangi rasa sesak didalam dada ibu dan lebih sedikit lega." Ucap Bagas.

Tidak disangka oleh Bagas, ucapannya membuat wanita sebagai CEO itu meletakkan kepalanya diatas pundak Bagas. Disaat-saat seperti ini, memang Vina membutuhkan dukungan, semangat dari orang sekitar. Namun tiada sanak saudara yang ia punya kecuali mami Atika.

"Tuh kan benar, wanita ini memang membutuhkan pundak sebagai tempatnya bersandar. Jaim sih, sok bersikap dingin menolak lelaki yang ada. Setiap orang membutuhkan pendamping mbak. Sampai kapan kamu bisa bertaham dengan kesendirianmu!?" Gumam Bagas dalam hati dengan kedua bola mata melirik ke arah Vina.

Perlahan dituntunnya Vina untuk duduk terlebih dahulu, diberinya minum supaya lebih tenang dan relax. "Lebih baik kita doakan sama-sama bu Atika. Doa yanh tulus untuk seorang ibu dari anaknya, pasti Tuhan dengarkan."

"Benar apa katamu gas. Tidak ada daya dan upaya yang aku dapat lakukan saat ini kecuali memanjatkan doa dan menyerahkan semuanya pada sang pemilik hidup." Jawab Vina yang mulai sedikit tenang. Lalu ia mengangkat kedua telapak tangannya, mengadah keatas, seraya memanjatkan doa yang tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Diiringi oleh menetesnya air mata, Vina terdiam memanjatkan doa dalam hati. Memohon pada Tuhan untuk menyelamatkan wanita tercinta dalam hidupnya.

Begitu pula dengan Bagas, mereka sama-sama berdiam sejenak bersikap seperti sedang berdoa mengikuti Vina. Namun diamnya tidak memankatkan doa, tetapi ia memikirkan langkaj selanjutnya yang akan ia lakukan. "Aku juga punya ibu dimana selalu ku panjatkan doa baginya, agar kesedihannya yang lalu terbayarkan."

"Amin." Ucap Vina pada akhir doanya.

"Alhamdulillah gas, saran dark kami sedikit mampu menenangkan diriku. Aku yakin mamiku baik-baik saja. Tuhan akan menjaganya." Ujar Vina menoreh senyum didepan Bagas.

Tidak lama kemudian perawat kaluar dari dalam ruang UGD untuk mencari keluarga ibu Atika.

"Ya sus, saya anaknua. Bagaimana dengan mami saya?"

"Ibu anda belum sadar. Saat ink pasien membutuhkan banyak darah karena banyak pula kehilangan darah. Kebetulan, stok darah di rumah sakit kami juga habis tidak dapat memenuhi kebutuhan darah untuk ibu Atika." Jelas suster.

"Duh gimana nih, golongan darahku beda sama mami. Golongan darahku lebih cocok dengan almarhum ayahku." Gerutu Vina kebingungan sebab tiada saudara lagi yang dapat dihubunginya.

"Kalau boleh saya tau, apa golongan darah bu Atika?" Saut Bagas yang tidak sengaja mendengar percakapan antara suster dengan Vina.

"Golongan darah bu Atika B+ pak." Jawab perawat itu dengan data pasien yang ada ditangannya.

Seketika langsung Bagas menyodorkan tangannga. "Ambil darah saya saja sus. Kebetulan golongan darahnya sama dengan saya."

"Gas, kamu serius mau mendonorkan darahmu untuk mamiku?"

Bagas mengangguk. "Iya bu, Bagas juga punya ibu dirumah. Jadi, Bagas tau betul bagaimana perasaan bu Vina saat orang tua dalam masa seperti ini." Jawab Bagas seakan tak ada keraguan untuk mendonorkan darahnya kepada mami Atika.

Bagas bersedia mendonorkan darahnya pada mami Atika. Dengan begitu, perawat segera membawa Bagas untuk melakukan prosedur kesehatan sebelum dilakukan pendonoran darah.

Demi serangkaian rencana untuk dapat masuk dalam kehidupan Vina, Bagas rela menantang dirinya sendiri untuk donor darah. Padahal dari ia kecil, Bagas sangat takut dengan jarum suntik yang dianggapnya sangat mengerikan jika mengenai kilitnya.

Sembari memejamkan mata dalam-dalam, bersama itu pula, perawat sedang melakukan tindakan donor darah. "Demi apa aku sampai seperti ini? Bertemu dengan jarum suntik dan yang lain. Sebuah adrenalin yang sangat aku takuti sejak dulu. Namun kini sedang aku alami. Dan sebentar lagi, darahku akan mengalir pada wanita brengsek itu!" Bagas seakan tidak rela melakukannya namun mengingat lagi tentang sebuah keadilan yang harus ia dapatkan "No problem gas, tenang ... tenang."