"Apa!? Maminya bos Vina? Kok bisa? Bukannya bu Atika selalu pakai sopir tiap kali ingin ke kantor?" Pekik Laila lantas syok mendengar kabar dari satpam.
Pak Jajang mengangguk. "Iya bu. Entah, saya juga tidak tau persis bagaimana kejadiannya. Tiba-tiba saja ada orang teriak minta tolong dan berbondong-bondong menuju suara itu."
Sontak Laila pun panik. Ia bingung bagaimana caranya untuk memberitahukan kabar mengejutkan kepada bosnya. Sementara bosnya itu sedang ada rapat dengan devisi lain. "Aduh pak, saya bingung bagaimana cara menyampaikan hal ini pada bu Vina. Saya jadi gak tega. Kalau saya kasih tahu nanti, yang ada saya salah karen terlambat menyampaikan kabar penting ini. Tapi, kalau saya sampaikan sekarang, nanti saya menyalahi aturan." Seketika wajah Laila menjadi pucat. Sebagai sekretaris sekaligus asisten dikantor Vina, ia mengemban tugas yang cukup sulit disaat kondisi seperti ini.
"Saya juga merasa kasihan dengan bu Vina. Betapa syok dirnya nanti saat mendengar kabar ibunya menjadi korban tabrak lari. Walaupun saya tidak mengenal persis bagaimana karakter bu Vina, tapi yang namanya seorang anak pasti akan sangat sedih mendengar kabar seperti ini. Apalah daya saya yang hanya sebagai satpam hanya bisa berdoa supaya ibunya bu Vina baik-baik saja." Jawab satpam tersebut.
Saat satpam itu pergi meninggalkan ruang meeting, sontak Laila pun semakin dibuat tidak karun. "Tarik nafas, hembuskan." Begitulah berulang kali yang dilakukan Laila untuk menenangkan diri. "Ayo la, berfikir tenang, jangan gegabah supaya kamu tidak dapat semprot dari bu Vina." Gumamnya.
Kemudian, Laila duduk sejenak sambil berfikir jernih. Setelah mendengar kabar itu, Laila pun seakan lemas mendengarnya sebab ia tidak ada nyali untuk menyampaikan pada bosnya. Laila mengenal akrab seorang Vina yang begitu sayangnya ia dengan seorang ibu.
Sesekali ia menatap kantong belanja yang berisikan roti serta air mineral ditangannya itu. Seakan mengumpulkan nyawa dan keberanian menyampaikan berita ini pada Vina. "Ya, aku harus sampaikan ini segera. Bagaimanapun ibu itu lebih penting dari apapun." Gumam Laila mulai mengangkat tubuhnya, beranjak berdiri dan akan masuk kedalam ruangan meeting.
Tok... Tok ... Tok.
"Bismillah." Kata Laila dalam hati saat mulai memegang gagang pintu dan menekannya kebawah.
Saat Laila masuk, seluruh karwayan yang ada didalam ruangan menoleh padanya.
"La, kok lama banget diluarnya?"
"Iya bu, OB Bagas baru saja memberikan titipan ini pada saya. Sebab ada hala yang harus ia selesaikan terlebih dahulu." Jawab Laila sembari menata satu persatu makanan serta minum didepan para karyawan.
"Ada masalah? Masalah apa memangnya?" Tanya Vina seakan merasakan ada hal yang mengganjal.
Saat itu juga perasaan Vina mulai resah, bingung, takut bercampur aduk jaduk satu. Dengan penuh keberanian, Laila membisikan sesuatu hal ditelinga Vina.
Setelah mendapat bisikan dari sekretarisnya itu, Vina dan Laila beranjak keluar ruangan meeting. "Mohon maaf bapak, ibu. Saya dan sekretaris saya permisi keluar ruangan dulu. Tidak lama, kami akan kembali."
Mereka keluar ruangan. "Apa yang akan kamu bicarakan dengan saya la? Sepertinya serius sampai harus bicara empat mata seperti ini "
"Maaf bu sebelumnya." Tiba-tiba Laila meletakkan kedua tangannya diatas pundak bosnya. Perlaham dituntunnya Vina untuk duduk pada bangku panjang supaya ia tenang saat menerima kabar yang akan di sampaikan oleh wanita mungil itu. "Ibu duduk dulu, supaya lebih relax ngobrolnya."
"Ada apa sih la? Ngomong saja dong. Kita sudah tidak ada waktu. Kasihan karyawan didalam nunggu terlalu lama." Saut Vina yang mulai tidak sabar dan dibuat penasaran dengan maksud sekertarisnya.
"Oke sabar bu, ini maslahnya berkaitan dengan jajan yang diantar oleh Bagas tadi dengan maminya bu bos." Jawab Laila bernada gemeteran ketika akan menyampaikannya.
"Maksudnya? Apa hubungannya makanan tadi, Bagas dan mami saya? Aduh la, jangan berbelit dong, langsung to the poin saja!" Vina mulai kesal dengan Laila yang terlalu berbelit dengan hal yang ia maksud.
Lalu Laila menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. "Sebelumya maaf bu kalau saya berbohong. Sebetulnya yang mengantar makanan tadi bukanlah Bagas, namun pak satpam."
Vina tersenyum tipis sedikit menertawakan apa yang disampaikan oleh Laila. "Aduh la, jadi kamu mengajak saya kelauar ruangan, bicara empat mata seriua begini cuman menyampaikan hal ini? Bagi saya gak masalah siapapun yang mengantarkan makanan itu. Yang terpenting rapat saya berjalan lancar." Jawab Vina sontak langsung beranjak berdiri dari tempat duduknya
"Eh bu sebentar, jangan pergi dulu. Ada satu lagu yang akan saya sampaikan." Dengan wajah yang terlihat tegang, Laila berupaya mencegah Vina agar tidak pergi.
Vina mendengua panjang, ia merasa bahwa sekertarianya mempermainkan dirinya. Apa lagi sih la? Hey? Kamu kenapa sih aneh sekali? Lihat dong ini jam berapa, karyawan saya didalam sudah menunggu. Kamu gak bisa memainkan jam saya denfan hal yang tidak penting begini!" Vina langsung menaikan satu kali lebih tinggi nada bicaranya.
"Mami bu bos dibawa Bagas kerumah sakit, karena menjadi korban tabrak lari." Celetuk Laila ditengah omelan Vina. Sontak ocehan Vina langsung berhenti.
Seketika kedua kakinya langsung lemas sehingga tidak kuat menopang tubuhnya. "Eh, bu Vina." Laila langsung memegang erat tubuh Vina dan menuntunnya untuk duduk tenang terlebih dahulu.
"Mami, ditabrak orang? Kok bisa? Siapa pelakunya?" Tanya Vina mulai mengalir bulir air matanya.
"Saya juga tidak tau persis bu. Hanya itu kabar yang saya terima. Tadi satpam depan yang mengantar pesanan saya. Karena Bagas sendiri tidak dapat mengantarnya. Sebab kata pak satpam itu, Bagas menolong ibu-ibu yang menjadi korban tabrak lari. Dan ternyata itu mami Atika. Untuk siapa pelakunya, saya kurang tau bu. Sekali lagi saya minta maaf jika waktu untuk menyampaikan hal ini kurang tepat." Jelas lirih Laila.
Perasaan Laila sedikit lega karena perasaan yang menekan batinnya telah disampaikan kepada yang berhak. Akan tetapi respon Vina justru diluar dugaan Laila.
Bosnya itu hanya lemas dan menangis. Tidak ada respon yang menangis histeris hingga syok berlebihan saat menerima pesan tentang ibunya. Vina tampak tenang, beberapa kali mengatur nafas serta emosinya.
Vina langsung merogoh sakunya, mengambil ponselnya. Berulang kali Vina berusaha menghubungi Bagas. Untung saja Vina sempat mengambil nomor ponsel Bagas saat pengumpulan berkas karyawan.
Namun sayang, beberapa kali Vina coba menghubungi Bagas, tidak ada jawaban ataupun respon darinya.
Laila melihat dibalik raut wajahnya yang tenang, namun ia sangat tau dilubuk hatinya ia menghawatirkan keadaan sang ibu. "Bu Vina, baik-baik saja kan? Sebaiknya ibu minum dulu. Lalu apa yang akan ibu lakukan saat ini? Apakah ibu tetap akan meneruskan rapat atau langsung menuju ke rumah sakit?"
"Tidak mungkin saya meneruskan rapat la. Yang ada fikiran saya jalan-jalan memikirkan mami saya. Saya harus segera ke rumah sakit. Tolong kamu bereskan yang didalam. Saya akan ke rumah sakit dengan sopur kantor saja." Jawab Vina seraya beranjak dari tempat duduknya.
Namun sebelum pergi meninggalkan kantor, ia masuk kembali keruang meeting untuk berpamitan kepada anak buahnya yang lain. "Maaf semua, saya tidak bisa melanjutkan rapat ini. Mungkin akan di rescaduale oleh sekretaris saya." Sambil menjijing tasnya, Vina langsung pergi meminggalkan ruangan.