Seluruh karyawan berhamburan keluar meninggalkan gedung. Begitu pula dengan Vina dan Bagas. Mereka adalah orang terakhir yang keluar gedung kantor. Sebab mereka terlalu lama didalam ditambah dengan musibah jatuhnya lampu pada lantai dua.
"Alhamdulillah." Ucap seluruh karyawan, ketika melihat Bagas menggendong Vina berhasil keluar dari dalam gedung.
"Kenapa bu Vina, mas Bagas?" Susul Laila menghampiri mereka. "Maaf, tadi saya meninggalkan kalian. Karena saya begitu panik, takut gedung ini roboh seketika." Imbuhnya.
"Tidak apa-apa, Laila."jawab Vina yang masih berada dalam gendongan Bagas.
"Bu Vina terkena pecahan kaca lampu mbak, telapak kakinya berdarah. Saya harus segera mengantarnya ke klinik terdekat." jawab Bagas dengan nafas yang terengah-engah akibat berlari sambil menggendong Vina yang lumayan berat.
"Kenapa dengan Vina!? Biarkan saya saja yang mengantar ke klinik." Saut seseorang tiba-tiba datang ditengah mereka.
Pria tersebut ialah, seorang supervisor yang selama ini mencoba untuk meluluhkan hati Vina namun tak juga berhasil.
Namanya Ridwan. Sejak Vina mulai masuk dalam perusahaan tersebut dan ia mengetahui bahwa Vina adalah anak pemilik perusahaan, semenjak itulah Ridwan mencoba mendekati hati Vina.
"Tidak perlu pak, biarkan saja Bagas yang mengantar saya. Sepertinya telapak tangannya juga terkena pecahan kaca. Yuk gas, antar saya ke klinik!"
Penolakan yang diberikan oleh wanita diincarnya membuat Ridwan gagal ketika hendak menjadi pahlawan kesiangan bagi Vina.
"Sok pahlawan! Sialan, lagi-lagi Vina menolak bantuanku. Bisa-bisanya bocah ingusan itu berusaha mengambil posisiku untuk merebut hati Vina." Gumam Ridwan seakan geram dengan kedua telapak tangannya mengepal memendam amarahnya.
****
Setelah dirasa guncangan gempa berhenti dan kondisi aman, Vina meminta seluruh karyawab untuk masuk kembali kedalam kantor dan mengajak Bagas untuk menemaninya ke klinik.
Akan tetapi hampir semua mata karyawan terpusat pada Vina yang berjalan menuju parkiran dengan Bagas. "Baru jadi OB aja, udah bisa jadi andalan bu bos." Bisik salah satu karyawan pada kerabatnya.
Dan mereka menertawakan Ridwan yang mendapat penolakan dari Vina. Namun Ridwan memang tidak pernah malu berkali-kali meskipun mendapat penolakan didepan anak buahnya.
"Apa kalian lihat-lihat!" Bentak Ridwan kepada karyawan yang lain. seolah menahan malu.
.
.
.
Saat Vina dan Bagas dipertengahan menuju tempat parkir, tiba-tiba Vina berbalik badan kembali berjalan menghampiri Ridwan, dengan bantuan Bagas. "Pak Ridwan, tunggu sebentar." Saut Vina membuat Ridwan kembali senyum, seakan ia mengira bahwa Vina membutuhkannya"
"Emm, iya ada apa mbak Vina? Eh, sorry maksud saya ibu Vina." Jawab Ridwan swmbari menyisirkan kelima jari pada jambul katulistiwanya.
"Berhubung gempa sudah berhenti, tolong cek keadaan bangunan kantor apakah ada yang rusak atau tidak. Jika sudah, laporkan hasilnya pada saya, apa saja yang perlu di benahi." Seru Vina memerintah
Hati Ridwan seperti merasakan kecewa kedua kalinya. Ia sudah sangat berharap saat Vina kembali menghampirinya, bahwa Vina akan memintanya untuk menemaninya ke klinik. "Ah rupanya, diminta cek bangunan gedung! Ku kira antar Vina ke klinik. Yah, gagal lagi deh bisa berduaan dengan wanita ini." Ucap Ridwan dalam hatinya.
Sementara OB Bagas yang sedari tadi berdiri dibelakang Vina sembari menjadi tempat berpegangan untuknya berdiri, ia hanya tersenyum mengumpat. Melihat supervisor yang dikenalnya belagu itu menelan kecewa setelah apa yang diharapkannya tidak terjadi.
Dan Ridwan pun menangkap senyum ledekan tersebut. "Awas kamu!" Ancam Ridwan dengan kedua bola matanya terbelalak kearah Bagas.
Lalu Bagas pun tertunduk dengan umpatan tertawanya.
***
Bagas dan Vina akhirnya telah tiba di klinik terdekat. Namun diluar dugaan mereka, klinik tersebut ramai pengunjung setelah adanya gempa yang mengguncang kota mereka.
Banyak masyarakat yang berdatangan untuk menyembuhkan luka mereka yang disebabkan oleh kejatuhan benda ataupun jatuh tersungkur saat mereka berusaha menyelamatkan diri dari gempa yang terjadi.
"Ramai sekali gas. Saya malas untuk mengantri sebanyak itu. Sudahlah, sebaiknya lukanya diobatin dirumah saya saja." Saut Vina yang menginginkan pergi dan meminta pulang
"Jangan bu, nanggung banget kita sudah sampai disini malah pulang. Lihat tuh, dibelakang kita saja sudah ramai pengunjung." Kata Bagas melarang Vina serta menunjukkan antrian yanh begitu panjang setelah mereka.
"Tapi, aku paling malas kalau nunggu. Menunggu itu sangat membuat aku jenuh gas!"
Tib-tiba Bagas dengan beraninya mendorong tubuh bosnya tersebut hingga sampai terduduk diatas kursi tunggu. "Bu Vina duduk saja disini. Penantian bu Vina dalam mengantri tidak akan membuat bu Vina jenuh. Saya akan menemani ibu disini."
Vina dibuat bingung oleh tingkah karyawan barunya itu. Apa yang ia lakukan dapat membuat Vina seolah dapat terhibur dan tertawa denga tingkah konyol namun tetap terlihat keren dimata Vina.
Sehingga penantiannya dalam menunggu masuk ke ruang dokter tidak terasa lama.
"Kamu ada-ada saja. Sudah-sudah aku tidak kuat menahan tawa mendengar kisah masa kecilmu itu. Pasti ibu bapak kamu juga sering ketawa melihat tingkah konyol anaknya." Ucap Vina menahan tawa dengan menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangannya.
Mendengar kata bapak dan ibu keluar dari mulut Vina, seolah Bagas menyadari dan teringat akan sesuatu hal. Tawanya tiba-tiba surut begitu saja dan berubah menjadi diam menunduk.
"Gas, kamu gak papa, kan? Kenapa diam? Ada yang salah dari ucapan saya?" Tanya Vina bingung dengan sikap Bagas yang tiba-tiba diam termenung.
"Saya teringat oleh almarhum ayah saya yang telah meninggalkan saya dan ibu saya." Jawab Bagas dengan lemah
"Ayah kamu sudah tiada? Maaf sebelumnya bukan maksud aku."
Bagas mengangguk. Dan Vina merasa tidak enak telah membuat pria yang sudah membuatnya tertawa itu malah bersedih.
"Maaf ya gas sekali lagi. Ah, aku jadi tidak enak membuat kamu bersedih. Kalau boleh tahu, kenapa ayah kamu ninggalin kamu dan keluarga kamu?" Tanya Vina, penasaran akan kisah hidup seorang OB tampan didepannya
"Jadi ayah saya ninggalin ibu dan saya demi menikahi seorang janda beranak satu. Semenjak itulah, hidup kami kesulitan dan ibu saya jatuh sakit." Jawabnya. Bagas kembali terbuka luka lama. Sesak dalam dada seolah membuat bulir air mata tidak terasa menetes membasahi pipinya.
"Wah tega sekali ayah kamu. Kalau aku yang jadi ibu kamu, mungkin aku sudah mencabik-cabik si janda itu! Tidak tahu malu ya dia, ngerebut suami oran." Saut Vina menjadi geram setelah mendengar singkat cerita kisah masa lalu Bagas.
Bagas pun menyeka air mata dipipinya. Sebagai seorang pria, ia sangat malu menangis dihadapan wanita. "Andaikan kamu tahu Vina, wanita yang kamu cabik-cabik itu adalah ibu kamu. Ibu kamu yang merebut ayahku dari ibuku." Gumam Bagas melirik tajam kearah Vina
"Vina nur febrian." Saut seseorang dari arah dalam klinik memanggil nama Vina.
Sontak Bagas pun membantu Vina berjalan untuk masuk kedalam klinik tersebut sampai pada ruangan dokter.
"Terimakasih gas."
"Sama-sama bu. Kalau begitu saya tunggu diluar saja."
Saat Bagas hendak keluar, Vina menarik pergelangan tangannya. "Eh apa tidak sebaiknya tangan kamu yang luka diobati sekalian? Takutnya malah infeksi nanti." Perhatian Vina ke Bagas seolah membuat Bagas hampir lalai akan niat awalnya.
"Tidak bu, nanti saja setelah bu Vina di obati lukanya. Permisi saya tunggu diluar."
Bagas akhirnta keluar dari ruangan dan menunggunya di kursi tunggu.
Dug ... Dug ... Dug
Beberapa kali dhantamkannya kepalan tangan Bagas pada sebuah dinding didekatnya. "Bagas, Bagas!! Ingat kamu itu baik sama Vina supaya dia percaya kalau kamu adalah pria baik dan lugu. Dengan begitu, kamu bisa masuk ke dalam hidupnya dan mendapatkan keadilan itu sesuai dengan pesan abangmu! Eh, baru dapat perhatian saja kamu sudah baper gas, gas. Ingat kamu itu dendam pada keluarga dia!" Gerutu dalam hati Bagas yang seolah terus mengingatkan akan dirinya sendiri untuk tetap fokua pada tujuan awalnya.
Tlilit ... Tlilit.
Tidak lama kemudian Bagas meneruma pesan dari abangnya. "Eh dia panjang umur." Bagas mulai membuka pesan tersebut.
Dibacanya pesan itu melalui aplikasi hijau pada ponselnya. Pesan singlat itu sama halnya dengan apa yang telah dikatakan hati Bagas.
Sebuah pesan pengingat dari kakak Bagas untuk cari muka atau perhatian pada Vina supaya dapat masuk lebib dalam ke keluaraga Vina. "Main dengan rapi gas, meskipun kamu OB, kelak kamu akan menjadi bos sekaligus pemilik perusahaan itu. Jangan sampai kamu jatuh cinta pada wanita itu. Kalau bisa, mainkan hatinya. Supaya merasaka. Sakit juga seperti yang dirasakan oleh ibu!" Kata kakak Bagas melalui tulisan pesannya.
"Benar apa kata abang. Demi ibu aku akan lakukan itu!!"
Pluk...
Tiba-tiba ada yang memukul ringan pundaknya. "Apa yang akan kamu lakukan demi ibu kamu, gas?" Suara Vina sontak mengagetkan Bagas yang sedang melamun menatap lorong klinik. Walaupun lorong klinik tersebut ramai, akan tetapi Bagas berdiri dengan tatapan kosong.
Sontak karena kaget dengan adanya Vina, Bagas pun gerogi menjawab pertanyaan Vina. "Ehm, tidak bu. Hanya pengingat diri saja. Saya akan bekerja keras demi ibu saya dirumah."
"Duh, apakah tadi Vina ikut membaca pesan dari abang ya? Bagaimana kalau Vina ternyata suda ada dibelakangku sejak tadi?" Cemasny dalam hati.
Namun Bagas berusaha tetap tenang supaya Vina tidak menaruh curiga padanya.
"Bu Vina sudah diperiksa dokter? Bagaimana dengan kaki bu Vina?" Tanya Bagas seolah mengalihkan pembicaraan.
"Oh iya, kaki saya alhamdulillah baik-baik saja. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Lukanya pun juga hanya dijahit sedikit saja." Jawan vina memperlihatkan kakinya yang diperban.
Karena telapak kaki Vina kesulitan untuk berjalan, ia membutuhkan alat bantu untuk dirinya berjalan.
"Bagas, boleh minta tolong sekai lagi?" Ucap Vina
"Tentu bu, apa yang bisa saya bantu." Bagaspun ikut duduk disamping Vina.
"Maaf ya, jika aku merepotkan kamu terus. Aku membutuhkan alat bantu untik jalan satu saja. Kamu bisa kan belikan aku dk apotek depan klinik ini? Oh ya, tapi bagaimana dengan luka di telapak tanganmu? Lebih baik kamh masuk kedalam dulu. Setelah itu barulah membelikanku tongkat elbow!" Perintah Vina.
"Baik bu. Saya masuk dulu."
Walaupun Vina terkenal cuek dan dingin dengan seorang pria yang suka menggodanya ataupun ingin memikat hatinya, namun ia masih perduli dengan karyawan bawahannya. Bagaimanapun juga Bagas adalah salah satu aset perusahaannya yang harus di jaga.
Vina melakukan semua ini bagian dari kepedulian perusahaan dengan karyawannya. Apalagi Bagas selama ini telah baik padanya.