Chereads / Pencari Keadilan / Chapter 8 - Bumi Berguncang

Chapter 8 - Bumi Berguncang

"Xiawu hao." Sapa Bagas kepada klien Vina yang berarti selamat siang.

"Ye xiawu hao." Balas mereka sambil menganggukan sedikit kepala.

Pengalaman pada saat sekolah mendapatkan pelajaran bahasa Mandarin, membawa Bagas menjadi perantara bahasa atau translator antara Vina dengan kliennya. Karena klien Vina tersebut tidak sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Terkadang mereka menggunakan bahasa keseharian mereka yakni bahasa Mandarin.

Meskipun tidak fasih, Bagas mampu menjalankan tugasnya dengan baik walaupun terkadang dalam percakapan mereka menggunakan bahasa inggris yang juga dimengerti oleh Vina sendiri.

Setidaknya, tidak salah Vina merekrut Bagas masuk kedalam perusahaannya. Dalam meetingnya kali ini, Bagas mampu membantu Vina untuk mendapatkan proyek kerjasama seperti yang diinginkannya.

Kesepakatan kerjasama Vina dengan kliennya telah disetujui dengan diakhiri mereka saling bersalaman. Tampak ceria sekali pada raut wajah Vina setelah ia mendapat proyek besar. Karena ini merupakan kali pertama bagi Vina setelah menjadi pemimpin, perusahaannya bekerjasama dengan pihak luar negeri.

Tepat pukul tiga sore, klien dari Singapura bersama sekretarisnya berpamitan untuk kembali ke bandara. Karena pesawat mereka mendapatkan jadwal penerbangan pukul enam sore.

"terimakasih Bagas, karena kamu, aku berhasil mendapatkan kerjasama ini. Ini adalah salah satu cita-citaku selama memimpin perusahaan ini. Aku ingin ayahku bangga disana. Aku yakin ayah tidak akan salah meminta anaknya ini untuk memimpin perusahaannya." Saking bahagianya, tanpa Vina sadari ia telah memeluk erat tubuh Bagas dengan kedua tangannya merangkul pada leher Bagas.

Bagas hanya terdiam dalam dekapan Vina yang erat. "Wah, lumayan nih, dapat pelukan wanita cantik." Sekejap dalam fikirannya terlintas niat dendam dalam hatinya. "Ingat Bagas, jangan sampai kamu terlena oleh dia!" peringatnya akan dirinya sendiri.

"Ehmm bu Vina." Ucap lirih Bagas. Ia merasa engap karena wanita yang sebagai atasannya itu mendekapnya terlalu erat.

"Ehem ... ehem." celetuk Laila diantara mereka

Tersadar oleh teguran Laila, Vina akhirnya menghentikan ocehan kebahagiaannya. Terdiam sejenak dalam pelukan Bagas, perlahan-lahan menyadari apa yang dilakukan olehnya diperhatikan oleh sekretarisnya sejak tadi.

Sontak Vina pun langsung mendorong tubuh Bagas menjauh darinya. "Ehm, maaf. Maaf saya tidak sengaja. Saya hanya terbawa rasa bahagia setelah mendapatkan apa yang saya impikan."

"Iya bu, tidak apa-apa. Sengaja atau tidak, saya juga terima." Banyol Bagas, sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. "Eh, maaf. Bercanda bu." Membenarkan ucapannya.

Vina dibuat salah tingkah dengan ulahnya sendiri. "Ah sudah, lupakan kejadian tadi." Vina menutupi rasa malunya dihadapan Laila dan Bagas dengan melupakan apa yang baru saja terjadi.

Disaat Vina diledek oleh Laila, tiba-tiba ia merasakan tubuhnya goyang, layaknya sedang naik perahu diatas ombak.

"Eh, wait, wait, wait. Aku ngerasa gonyang nih. Pusing pula. Atau jangan-jangan ada gempa! Tuh kan, lihat air mineral itu juga bergerak." Tunjuk Vina membuat heboh sembari membuktikan pada Laila dan Bagas.

Guncangan yang dirasakan Vina masih kecil. Namun, lama-kelamaan semua yang ada diruangan merasakan getaran tersebut.

"Oh iya bu, ada gempa." Jawab Laila yang juga merasaka hal serupa dengan Vina sembari berpegangan dengan meja ataupun benda-benda dirasa kuat yang ada dalam ruang meeting.

Semua benda yang ada pada ruangan meeting terguncang hebat. Besarnya guncangan gempa membuat Vina dan Laila panik. Apalagi posisi mereka berada di lantai tiga.

Sebagai satu-satunya pria yang ada diantara mereka, Bagas berusaha tenang. "Ayo bu, kita keluar dari ruangan sini!"

"Gempa ... gempa ... gempa." teriak semua karyawan berhamburan panik keluar dari ruang mereka masing-masing.

Kepanikan juga dialami oleh Vina. "Aduh bagaimana ini." Bagas yang sedari tadi bersama-sama dengan Vina dan Laila berusaha menenangkan mereka.

"Tenang bu Vina, tenang. Ayo kita lewat turun tangga saja. Sebab tidak memungkinkan jika kita turun menggunakan lift. Pasti lift membutuhkan waktu yang lama dan penuh dengan karyawan yang lain."

Akhirnya Bagas, Vina serta Laila berlarian bersama karyawan yang lain menuruni anak tangga. Mereka semua bertatih-tatih berlarian menyelamatkan diri.

Gempa yang terjadi berlangsung cukup lama dengan goncangan yang membuat orang jalan saja tidak setabil. Bahkan benda-benda bergelantungan berjatuhan secara bergantian.

"Awas bu Vina, minggir!!"

"Aaaaaaa...." Vina berteriak ketakutan karena kaget

Beruntung Bagas melihat lampu kristal oblong yang terpasang pada lantai dua terputus dan akan terjatuh.

Pyaaarr...

Tidak lama kemudian, lampu itu menjatuhi meja kerja para staff serta komputer dan barang elektornik yang lain.

"Ayo bu, kita segera turun dan keluar dari gedung ini." Ujar Bagas menarik tangan Vina dengan gegabah.

"Aduh, kakiku." Teriak Vina kesakitan.

Saat baru pertama melangkahkan kaki Vina tidak sengaja menginjak pecahan kaca lampu yang berserakan.

Dirabanya kaki yang sudah tidak beralas kaki tersebut oleh Bagas. Darah yang ada pada telapak kaki Vina mengenai tangannya. "Banyak sekali bu darahnya. Lukanya cukup lebar. Apakah ibu bisa berjalan? Kita tidak punya waktu banyak disini. Walaupun getarannya sudah berhenti, mungkin saja akan ada gempa susulan."

"Bisa, aku bisa berjalan sendiri kok. Kamu tenang saja. Ayo kita turun. Laila mana? Bukannya sejak tadi kita bersama dia?"

"Bu Laila mungkin sudah turun bu. Ayo kita segera turun, jangan memikirkan yang lain. Saat ini terpenting adalah keselamatan ibu." Jawab Bagas

Dengan bantuan meja yang ada disampingnya, ia berusaha berdiri dengan berpegangan meja tersebut sambil meringis kesakitan merasakan kakinya yang berdarah.

"Biarkan saya bantu bu. Kaki ibu tidak memungkinkan untuk berjalan. Yang ada malah infeksi jika dipaksa untuk berjalan. Apalagi kita harus melewati beberapa anak tangga disana." Tawar Bagas memberi bantuan.

Merasa kuat dan menjadi wanita mandiri, Vina menolak tegas bantuan dari office boy itu.

Ditepisnya tangan Bagas. "Ah tidak perlu, sakit begini saja. Aku juga bisa menahannya. Yuk kita turun ke lobi."

"Semua karyawan sibuk menyelamatkan diri mereka masing-masing. Tapi kenapa kamu malah tetap disi membantu saya? Padahal kamu bisa lari terlebih dahulu meninggalkan saya." Imbuh Vina menahan kesakitan namun ingin terlihat baik-baik saja.

"Tidak bu, bagaimana bisa saya tega meninggalkan ibu yang seperti ini sendiri. Dimana hati nurani saya, jika saya melihat bos saya membutuhkan bantuan. Selama saya bisa bantu, kenapa tidak." Jawab Bagas yang terus berada disamping Vina

Selangkah demi selangkah Vina berjalan dengan segala kekuatan yang ia miliki. Sesekali dirinya akan terjatuh, dan Bagas siap untuk membantunya tegap berjalan.

"Sudah gas, saya tidak ingin manja. Saya kuat, lebih baik kamu lari saja. Mungkim sebentar lagi ada gempa susulan." Saut Vina seakan tidak membutuhkan bantuan dari karyawannya itu yang memang tulus membantunya. Lagi-lagi wanita keras kepala itu merasa dirinya kuat walaupun berkali-kali mengaduh kesakitan pada telapak kakinya.

"Oke bu. Saya akan dibelakang ibu saja."

Bagas pun akhirnya mengalah. Ia melepaskan tangannga dari lengan Vina. Untuk memastika Vina tetap aman sampai ke lobi, ia berjalan satu langkah dibelakang Vina.

Setapak demi setapak Vina menuruni tangga sambil berpegangan pada dinding disamping kanan kiri tangga tersebut.

Pada saat dipertengahan tangga, Bagas sempat merasakan guncangan susulan datang lagi. Tubuhnya merasa bergoyang. Tanpa fikir panjang, Bagas menggendong tubuh wanita didepannya itu dan berlari menuruni anak tangga.

"Maaf bu, saya harus lakukan ini. Ini demi keselamatan ibu." Teriak Bagas di keramaian teriakan para karyawan yang lain yang juga panik akibat gempa susulam datang.