Chereads / Pencari Keadilan / Chapter 7 - Berkat Ponsel Tertinggal

Chapter 7 - Berkat Ponsel Tertinggal

Seluruh karyawan dan devisi disibukan oleh pekerjaan mereka masing-masing.

Disaat para tim OB sedang bersantai di ruang mereka, tiba-tiba Vina selaku CEO mereka datang.

"Selamat siang semuanya."

"Siang, bu." jawab serentak para OB yang ada di pantry. "Ada yabg bisa kami bantu bu?" Saut Bagas

"Ya kebetulan saya ingin meminta bantuan kalian. Dengarkan saya baik-baik ya. Saya butuh dua sampai tiga orang untuk menyiapkan ruangan meeting. Sebab dua jam lagi, saya akan ada meeting dengan klien dari Singapura. Dan kebetulan, klien yang satu ini sangat penting bagi perusahaan ini. Tolong pastikan semuanya bersih dan rapi. Go...go...go!! Segera!" Seru Vina memerintahkan anak buahnya sembari memberikan semangat.

Saat itu Bagas yang berada pada posisi depan, langsung meraih sapu dan kain lap sebagai alat tempurnya dalam mempersiapkan ruang meeting sesuai dengan perintah atasan. Upaya tersebut diikuti oleh kedua teman barunya.

"Memang anak itu benar niat bekerja. Semangatnya empat lima. Tidak salah aku merekrut dia." Gumam Vina dalam hatinya sembari tersenyum tipis saat memperhatikan tingkahnya yang banyol bercanda dengan teman-teman barunya.

Para OB itu memgerjakan pekerjaannya dengan baik. Tepat waktu yang diberikan oleh Vina, mereka menyelesaikan pekerjaannya.

"Ruangan siap untuk meeting bu." Lapor Bagas pada Laila sekretaris Vina.

Disaat yang bersamaan, Vina beserta tamu atau klien dengan bersama karyawan yang bersangkutan lainnya datang ke lantai tiga dimana ruang meeting berada.

Sebagai karyawan bawahan, Bagas dan rekannya menyambut mereka datang sembari memberikan senyum ramah kepada klien dari Singapura.

Tidak lama kemudian pintu ruang meeting tertutup yang berarti meetingpun dimulai dan para OB turun menuju pantry kembali menggunakan tangga manual.

Disaat merogoh saku celananya. "Eh tunggu." Celetuk Bagas yang membuat langkahnya bersama kerabat yang lainnya terhenti di tangga lantai dua.

"Ada apa gas?" Tanya salah satu temannya.

"Handphoneku mana ya, kok gak ada?" Kebingungan merogoh satu persatu saku celana dan baju OB yang melekat ditubuhnya.

"Nah lo, lupa naruhnya mungkin. Atau tertinggal di ruang meeting?"

"Oh iya, mungkin saja ketinggalan diruang meeting."

Sontak Bagaspun berbalik badan berlari naik kembali ke lantai tiga untuk mengambil ponselnya.

"Eh gas, rapat sudah mulai. Gak sopan kalau kamu masuk tiba-tiba!" Teriak salah satu kawannya memperingatkan Bagas.

Bagas tidak memperdulikannya. Sebab ia ingat walpaper pada ponselnya adalah foto keluarga semasa dirinya masih kecil bersama ayah dan budanya.

"Mampus kalau bu Vina sampai menemukan ponselku. Apalagi jika ada telepon masuk, foto itu dapat terbuka. Kacau jika semuanya ketahuan." Gumam Bagas dalam hati sambil terus melangkah menaiki anak tangga, memepercepat langkahnya sembari berharap cemas, supaya ponselnya itu terselamatkan dari tangan Vina.

Didepan ruang meeting, Bagas mengumpulkan tekat untuk memberanikan diri masuk kedalam. Walaupun ia tahu resiko terbesar yang akan ia terima jika sampai mengganggu jalannya meeting.

"Masuk, enggak. Masuk, enggak. Kalau aku gak masuk, ponselku jatuh ke tangan Vina. Bisa tamat riwayatku stop dihari ini. Tapi jika aku masuk dan menghambat jalannya meeting, bisa jadi Vina beranggapan bahwa aku tidak mempunyai etika dan akhirnya dipecat juga. Duh, bingung." Gumam Bagas menggaruk kepalanya bingung mempertimbangkan langkah yang harus diambil demi menyelamatkan ponselnya. Karena ia ingat betul, ponselnya itu diletakkan tepat dimeja bagian kursi pimpinan. Yang artinya, ponsel itu tepat didepan Vina.

Bukan Bagaskara namanya jika tidak berkekat. Didepan ruang meeting sambil tangan kanannya menggenggam gagang pintu ruangan tersebut, Bagas menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian dengan segala resiko yang akan ia terima. Yang terpenting baginya saat ini adalah ponsel itu terselamatkan.

Tok...tok...tok.

Ceklek....

Saat Bagas membuka pintu ruangan teraebut, seluruh mata tertuju padanya. Ia faham betul jika kehadirannya telah menghentikan acara meeting.

Kedua bola mata Bagas mencari keberadaan ponselnya diantara banyam ponsel san barang elektronik lainnya terjejer diatas meja.

"Permisi, maaf bu Vina saya mengganggu. Saya hanya ingin mengambil ponsel saya yang tertinggal di sebelah ibu." menunjuk ke arah ponselnya yang memang berada didepan Vina.

"Oh ini milik kamu." jawab Vina dengan tatapan matanya tajam kearah Bagas.

Menerima tatapan yang tajam dari Vina itu, Bagas merasa riwayatnya tamat saat itu juga. "Duh mampus lah, jangan-jangan bu Vina sempat membuka hpku." Kata Bagas dalam hati. Tubuhnya merasa gemetar dengan detak jantung yang berdegup kencang.

"Kemari, ambil ini." Seru Vina

Dengan langkahnya yang terasa sangat berat, Bagas menghampiri hpnya yang berada ditangan Vina.

Tangan Bagas terasa gemetar saat akan meraih ponselnya. Ketika Bagas hampir mendapatkan ponselnya itu, tiba-tiba Vina menarik ponsel itu kembali.

"Eits! Sebelum saya memberikan ponsel ini. Ada satu pertanyaan untuk kamu."

"I-iya apa yang akan ibu tanyakan kepada saya?" jawab Bagas gerogi ditengah orang-orang penting dan terhormat sementara dirinya hanya office boy.

"Tidak perlu takut dan tegang begitu. Tolong lihat mata saya." Seru Vina mempertegas ucapannya

Posisi Bagas merasa sedang berada di meja sidang sebagai tersangka yang bersalah.

Demi mendapatkan hp miliknya lagi, ia pun menuruti apa yang dikatakan bosnya dengan menegakan posiai berdirinya dengan tegap dari yang semula selalu menunduk dihapan Vina dan tamu yang lain. Akan tetapi pertanyaan itu tidak segera keluar dari ucapan Vina.

CEO itu malah bertatapan dengan office boy yang sedari tadi berdiri tegap didepannya. Tatapaan itu membuat Bagas semakin salah tingkah dan merasa malu walaupun dirinya dipaksa tetap baik-baik saja.

.

.

.

"Bagaskara Aditama, apakah kamu, bisa bahasa Mandarin? Karena saya pernah membaca di CV kamu, jika kamu dapat berbahasa Mandarin walaupun pasif."

Saat pertanyaan itu keluar dari mulut Vina, Bagas sedikir lega. Sebab tidak menakutkan seperti yang ia kira.

"Huuufft." Mendengus lega

"I-iya bu, saya bisa tetapi hanya pasif." Jawab Bagas lirih

"Baguslah. Sekarang kamu tetap disini, dan tolong bantu saya sampai acara meeting ini selesai. Karena kebetulan translator kami berhalangan hadir.

"Sepertinya dia butuh banget nih." kedua mata Bagas menyudut, melirik Vina. "Yes!! Ini adalah peluang yang dapat aku manfaatin. Aku bisa membuat Vina kagum pada diriku. Dengan menunjukkan kelebihanku didepannya. Supaya wanita yang dikenal bersifat dingin ini dapat kagum sama aku. Walaupun OB, setidaknya aku punya kemampuan lebih." gumam Bagas dalam hati.

Walaupun hatinya bersorak riang karena telah mendapatkan jalan untuk menuju roma, Bagas tetap harus merendahkan dirinya. Supaya Vina yakin akan diri Bagas adalah pria baik-baik.

"Ta-tapi pekerjaan saya bagaimana bu?"

"Tenang saja, nanti bisa si Vino yang mengambil alih tugas kamu. Dan tugas kamu yang ini, akan saya hitung sebagai bonus jika proyek kerjasama antara perusahaan saya dengan klien Singapur goal!" Bisik Vina

Sungguh Bagas layaknya tertimpa rejeki nomplok. Dalam kesempatan membantu Vina ini selain ia mendapatkan bonus, ia juga secara perlahan berupaya menarik simpati Vina supaya mengagumi dirinya.

"Wah, bisa dapat duit lebih nih. Lumayanlah untuk berfoya-foya sedikit menikmati hasil kerja. Katanya dalam hati

"Bagaimana Bagas, apakah kamu menerima tawaran saya? Klien sudah menunggu, kita tidak ada waktu lama." Sergah Vina terhadap Lamunan Bagas.

"O..oke baik bu saya mau." Jawab Bagas terbata-bata.

Akhirnya merekapun berjabat tangan tanda telah saling bersepakat sembari Vina mengembalikan ponsel milik Bagas.