Chereads / Pencari Keadilan / Chapter 6 - Upaya Merenggut Keadilan

Chapter 6 - Upaya Merenggut Keadilan

Bagas pulang dengan wajah yang girang. "Akhirnya, aku mendapatkan jalan menuju roma." Celetuk Bagas sambil menghempaskan tubuhnya diatas sofa tepat disamping kakaknya.

Kegirangannya membuat sang kakak Askara aditama melirik sinis kearahnya.

"Girang amat? Habis menang lotre atau dapat undian mobil nih?" Sindir Askara

"Yaelah. Adiknya pulang bawa kabar baik malah tanyanya gak enak banget. Bukannya ditanyain baik-baik pula."

"Berita baik apaan? Paling-paling juga dapat cewek baru."

Sindir Askara pada adiknya yang dikenal sering berganti pasangan.

"Udah umur seperempat abad, bukannya mikir masa depan, kebahagiaan ibu juga, malah cewek mulu yang diurusin." Imbuhnya.

"Eitss!! jangan salah, adikmu ini sedang memikirkan kebahagiaan ibu, sembari mencari jodoh. Dengar baik-baik nih, asal kakak tahu, aku berhasil kerja diperusahaan itu." Bisik Bagas pada telinga kakaknya.

Askara masih santai saja menanggapi bisikan sang adik. "Perusahaan mana? Model kayak kamu aja perusahaan mau nerima. Eh tapi selamat ya, artinya tidak lagi aku memberi uang jajan kamu." Jawab Askara seakan memandang sebelah sang adik. Akan tetapi sedikit lega sebab tanggungan atas dirinya sedikit berkurang.

Melihat respon kakaknya diluar dugaan, Bagas pun geram. Lalu ia membisikkan dengan keras ke telinga sang kakak bahawa dirinya berhasil masuk pada perusahaan merah itu.

Perusahaan merah merupakan perusahaan yang sedari dulu diincar oleh Askara. Perusahaan yang serba berwarna merah, mulai dari cat bangunan, sergam karayawan dan produk dari perusahaan itu sendiri. Saat mengingat perusahaan merah itu, hati Askara menjadi memanas. Perusahaan itu mengingatkan sejuta memori kelam yang pernah ia alami.

Mengatahui adiknya berhasil masuk diperusahaan itu, sontak Askara pun begitu sigap bangun dari tidurnya. "Hah, serius nih? Gak bercanda kan? Gimana caranya bisa masuk di perusahaan itu?"

"Serius lah. Mana mungkin aku bohongi abang." Sebutan abang, merupakan panggilan akrab dari sang adik pada kakaknya. "Aku masih ingat kejadian delapan belas tahun lalu. Momen itu yang membuat aku berani untuk masuk pada perusahaan yang abang sebut merah itu."

"Ingat! Kamu harus merebut keadilan itu setidaknya untuk ibu. Ibu kita seperti itu karena lelaki bejat itu!" Jawab Askara. Matanya seakan memancarkan kebencian meskipun lelaki yang pernah menjadi ayahnya itu sudah tiada. Akan tetapi luka membekas pada benak Askara.

"Ayah, yang kamu maksud?"

"Dia bukan ayahku. Aku tidak sudi menyebut ayah pada lelaki itu. Mungkin kamu tidak sepenuhnya mengingat memori itu. Maka dari itu bibirmu masih sanggup menyebut ayah pada laki-laki itu!"

"Abang salah, aku sangat mengingat momen itu. Maka dari itu, aku akan membalaskan rasa sakit ibu dan abang pada keluarga mereka. Keluarga janda itu harus menderita lebih dari apa yang kita rasakan." Ucap Bagaskara seraya menyipitkan mata, menanamkan tekat pada benaknya.

Askara bangga pada sang adik. Karena telah mempunyai niat untuk memperjuangkan keadilan setelah keadilan itu gagal didapatkan oleh Askara langsung.

"Kamu harus janji pada abang. KEADILAN harus jatuh pada tanganmu Bagaskara!" Menepuk bahu adiknya, seakan menguatkan serta mempercayakan merenggut keadilan itu dengan tangan Bagaskara sendiri.

"Bagas janji bang."

Adik dan kakak itu saling merangkul satu sama lain. "Jangan sampai ibu dengar apa yang kita lakukan. Kamu tahu kan, ibu seperti apa orangnya?" Bisik Askara pada telinga adiknya.

Ibu mereka adalah wanita yang baik. Wanita yang tidak pernah dendam meskipun hatinya terluka. Ibu mereka tidak akan setuju jika mengetajui anak-anaknya mempunyai niat balas dendam.

Karena sejak kecil, sang ibu selalu berpesan untuk tidak pernah dendam kepada orang yang telah menyakiti atau melukai kita sekecil apapun itu perbuatannya, jangan sampai membalasnya.

****

Keesokannya, merupakan hari pertama Bagas bekerja sebagai office boy pada perusahaan pangan milik Vina.

Dihari pertamanya menjadi OB, Bagas datang tepat waktu sesuai jam yang sudah ditentukan. Menjadi karyawan baru, ia ingin membuat kesan seakan dirinya karyawan taladan, dan tertib.

Bagas mengerjakan beberapa tugasnya diantaranya membersihkan beberapa ruangan dan membuatkan minum untuk CEO perusahaan itu. Bagas menggali informasi dari office boy senior perihal apa yang disuka dan tidak disuka oleh bos mereka.

Pagi itu, sengaja Bagas membawakan teh hangat tanpa gula untuk diantar keruangan Vina.

Tok...tok...tok

"Ya masuk!" Saut Vina dari dalam ruangan.

Ceklek....

"Selamat pagi bu Vina." Sapa Bagas ramah dengan membawa nampan yang diatasnya terdapat segelas teh tawar hangat yang menjadi kebiasaan CEO cantik itu.

Walaupun sedang disibukkan oleh berkas-berkas di hadapannya, Vina menyempatkan menegakkan pandangannya kearah Bagas. "Eh Bagas, kamu bawa apa?"

"Teh hangat bu. Untuk teman mengerjakan pekerjaan yang menumpuk dipagi hari ini." Jawab Bagas melirik pada tumpukan berkas yang harus ditanda tangani oleh Vina

"Oh, oke terimakasih. Semoga kamu betah bekerja di perusahaan saya. Dan tolong bekerja dengan baik."

Bagas mengangguk. "Akan selalu betah bu. Saya bersyukur bisa keterima kerja. Sebab saya tahu mencari kerja tidak semudah dibayangkan. Ada yang bisa saya bantu bu Vina?"

"Sepertinya tidak." Vina mulai memperlihatkan sifat cueknya

"Baiklah. Jika tidak, saya izin keluar untuk melanjutkan pekerjaan yang lain."

"Oke silahkan." Jawab Vina, dengan tangan seakan mengarah ke pintu keluar, tanpa mempeehatikan karyawan barunya itu.

.

.

.

.

Selain mengantar minum pada bosnya itu, ada maksud dan tujuan lain diotak Bagas berkunjung ke ruangan Vina.

Sembari berjalan kearah pintu keluar, Bagas sengaja memperlambat langkahnya sembari mengamati satu persatu nakas dan brankas yang sempat menjadi pusat perhatiannya kemarin.

Brukk...

Tidak sengaja Bagas menabrak seseorang pria yang akan masuk kedalam ruangan Vina.

"Aduh, gimana sih kamu ini!? Kalau jalan makannya lihat kedepan." ucap pria berdasi meninggikan nada bicaranya.

Saking fokusnya memperhatikan nakas dan brankas, mata Bagas menjadi tidak fokus pada jalan lurus menuju pintu keluar. Akibatnya ia menabrak rekan kerja Vina yang merupakan salah satu karyawan pada perusahaan itu.

"Ma-maaf pak, saya tidak sengaja. Maaf sekali lagi."

"Apa yang kamu lihat? Sampai jalan keluar saja, tidak kamu perhatikan? Kamu memperhatikan brankas itu?" Ujar pria itu sambil membenahkan dasinya yang sedikit miring.

Sontak Bagas pun tertegun saat merasa ketahuan dengan ucapan rekan kerja Vina iy yang seolah menebak namun benar pada arah mata Bagas.

"Ti-tidak pak. Saya hanya melihat foto-foto yang ada pada dinding itu." Menunjuk kearah foto keluarga.

"Serius!? awas saja kalau kamu berani macam-macam! OB baru kerjanya harus bagus!" sengitnya. "kalau foto-foto itu, keluarga bu Vina. Itu ayah dan bundanya. Yang memakai jas hitam itu adalah ayahmya. Sekaligus dulu pemilik perusahaan ini. Namun, karena sudah meninggal, sekarang anaknya yang mengambil alih perushaan ayahnya itu." imbuhnya menjelaskan.

Mata Bagas fokus pada pria yang ada di foto tersebut. "Itu adalah ayahku. Harusnya aku dan abang Askara lah yang menjadi pemilik perusahaan ini." Gumam Bagas dalam hatinya.

Melihat foto keluarga yang tampak bahagia berfoto bersama itu, timbul keirian dibenak Bagas karena sejak ayahnya meninggalkan ibunya, ia tidak pernah bahagia apalagi mendapatkan kasih sayang orang tua lengkap. Maka dari itu, semakin kuat tekatnya untuk menjalankan misi masuk dalam perusahaan ini.

"Eh, dia malah ngelamun. Minggir dong, kamu menghalangi jalan saya!" sentak pria itu membuyakan lamunan Bagas.

"Baik pak saya permisi." Jawab Bagas memberikan jalan pada karyawan dengan jabatan lwbih tinggi daripada dirinya itu.

***

Sementara Vina tidak terlalu memperdulikan keributan kecil diruangannya. Walaupun, telinganya mendengar keributan Bagas dengan temannya.

"Ada apa tadi pak? Seperti kamu ribut dengan OB baru itu?" Tanya Vina dengan kedatangan kerabatnya namun tetap fokus pada layar komputer didepannya.

Pak Handi namanya. Pak Handi seorang juru keuangan pada perusahaan Vina yang telah bekerja semenjak perusahaan dibawah pimpinan ayahnya.

"Sepertinya OB itu mencurigakan Vin." Bisik pak Handi menaruh curiga.

"Ah, mencurigakan bagaimana? Jangan suudzon lah pak. Dia OB baru kok. Kelihatannya juga dia pria yang baik. Sering loh dia menolong saya. Ya, walaupum saya sendiri belum terlalu mengenal siapa dia." Sangkal Vina atas prasangka buruk pak Handi

"Aku hanya mengingatkan kamu saja Vin. Hati-hatilah dengan orang baru. Dan jangan mudah percaya, jika hal buruk tidak ingin terjadi pada perusahaanmu ini."

Vina mengangguk. Dan menerima baik petuah seorang pria lebih senior daripada dirinya itu.

Meskipun bekerja bagian keuangan, pak Handi selalu bekerja jujur sejak belasan tahun bersama almarhum ayah Tama.

"Terimakasih pak, tapi tenang saja pak, saya akan menjaga betul perusahaan peninggalan ayah ini." jawab Vina seolahmenenangkan hati pak Handi