"Dek, ini upah harianku." Ku sodorkan uang lima puluh ribu kepada Santi istriku, yang sedang duduk santai didepan televisi bersama Bu Ina mertuaku.
Santi menerima uang pemberian ku dengan senyum mengembang, tapi beda dengan Ibu mertua yang memandangku dengan tatapan sinis sambil menaikkan sebelah sudut bibirnya.
"Uang segini kamu kasih pada anakku?" Bu Ina menyambar uang lima puluh ribu itu dari tangan Santi.
"Kamu tahu nggak, Ayahnya saja memberikannya uang jajan satu bulan sepuluh juta, eh kamu cuma memberi lima puluh ribu sehari? Buat beli skincare saja kurang. Astaga Arlan, Arlan." Ucap Ibu mertua menghinaku sambil melempar uang itu ke mukaku, setelah itu berlalu masuk kedalam rumah dengan senyum mengejek.
Aku hanya bisa diam menunduk, karena yang dikatakan Ibu mertuaku memang benar, kalau uang hasil jerih payahku tidak cukup membelikan skincare untuk Santi, apalagi untuk menghidupi nya.
Selama ini Santi membeli skincare dan kebutuhan lainnya dari jatah uang bulanan yang dikasih Ayahnya.
Sebenarnya gaji kuliku tujuh puluh ribu per hari, tapi sengaja aku hanya memberikan pada Santi lima puluh ribu, sedangkan sisanya aku tabung sendiri, karena aku berniat ingin mengajak Santi keluar dari rumah ini.
Aku sudah tidak kuat mendengar hinaan demi hinaan yang keluarga ini berikan, sudah cukup sabar aku selama ini memendam rasa sakit hatiku, maka dari itu aku harus banyak-banyak menabung, agar bisa menghidupi Santi nantinya. Padahal aku tinggal di rumah ini baru beberapa hari, tapi bagiku rasanya sudah bertahun-tahun.
Santi memungut uang lima puluh ribu yang tadi dilempar Ibunya kearah mukaku yang jatuh ke lantai tepat disamping kakiku.
"Maafin Ibu ya, Mas." Ujar Santi setelah memungut uang itu dengan rasa bersalah.
Padahal bukan dia yang mempermalukan ku, tapi dia selalu merasa bersalah jika Ibunya ataupun keluarga lainnya menghinaku.
Santi adalah anak perempuan satu-satunya, karena semua saudaranya laki-laki.
Santi juga anak bungsu dari tiga bersaudara, itulah kenapa Santi menjadi anak kesayangan dikeluarga ini.
Pak Karta, Ayah Santi bekerja dikantor sebagai direktur, itu sebabnya bisa membuat keluarga ini begitu terpandang.
Dan saudara-saudara Santi semuanya juga bekerja di kantoran, yang membuat mereka semua jadi angkuh dan selalu menghina pekerjaanku.
"Ayo masuk, Mas. Aku sudah siapin air hangat untuk kamu mandi."
Santi mengajakku masuk kedalam kamar, sedangkan aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah kakinya.
Selesai mandi ku rebahkan tubuhku sejenak diatas ranjang yang sangat empuk, setelah menikah dengan Santi aku baru merasakan betapa empuknya ranjang orang kaya.
Aku jadi tidak percaya diri bisa mengajak Santi keluar dari rumah ini, sedangkan Santi dari kecil hidupnya sudah dikelilingi dengan harta.
Santi memang sudah pernah bilang kalau dia mau aku ajak pergi kemanapun sesuka hatiku, tapi aku tidak yakin jika Santi nanti akan betah tinggal dikontrakan denganku. Mulai dari tempat tidur yang mungkin hanya beralaskan tikar karena aku tidak mampu membelikannya kasur. Dan juga makan seadanya, sangat berbeda jauh dengan di rumah ini yang selalu makan enak seperti di restaurant.
"Makan yuk, Mas. Santi yakin, Mas pasti sudah kelaparan."
"Kamu duluan saja, Dek. Nanti Mas nyusul."
Santi mengajakku makan malam, namun aku menolaknya. Lebih baik aku makan setelah keluarga Santi semuanya sudah tertidur.
Karena aku tidak mau mendengar hinaan mereka lagi, yang bisa membuat nafsu makanku jadi hilang.
"Tapi, Mas. Semua anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan, tinggal kita berdua saja yang belum ikut gabung." Santi duduk disampingku sambil memijit pelan kakiku.
"Kamu duluan saja. Mas masih belum lapar." Ucapku yang masih menolak, membuat Santi terlihat kecewa.
Hatiku masih sakit saat Ibu mertua melempar uang tadi kearah mukaku, seolah harga diriku sama sekali tak terlihat.
Itulah yang membuatku malas untuk bergabung makan malam di meja makan bareng keluarga.
Hinaan demi hinaan sudah biasa aku terima dari keluarga Santi, tapi hal yang dilakukan Ibu mertua tadi bagiku sangat keterlaluan.
Aku banting tulang seharian dari jam enam pagi sampai jam tujuh malam, tapi tetap saja mereka selalu menghinaku seolah aku ini memang gudangnya hinaan.
Sempat ber angan jika suatu saat nanti aku bisa mempunyai usaha sendiri, cukup berdoa saja supaya keinginanku bisa terwujudkan.
Karena tujuanku hanya satu, aku ingin berdiri diatas usahaku sendiri dan penghasilan dari usahaku melebihi gaji Ayah mertuaku. Agar aku bisa menutup mulut mereka semua dengan kesuksesanku.
Bismillah, aku yakin aku bisa, walaupun uang yang bisa aku kumpulkan hanya dua puluh ribu per hari.
Karena aku sangat percaya dengan perumpamaan sedikit demi sedikit lama-lama akan menjadi bukit.
Bukannya aku jahat atau ingin membalas dendam, aku hanya ingin dihargai di keluarga ini sebagai suami Santi. Hanya itu yang aku inginkan, nggak lebih.
"Mas, katanya mau nyusul, sampai semua anggota keluarga sudah pada buyar tapi kamu masih belum keluar dari kamar juga." Suara Santi mengagetkan ku.
Aku pura-pura tidur untuk menghindari Santi malam ini, agar dia tidak selalu memaksaku untuk makan malam.
Sebenarnya aku sudah sangat lapar, tapi aku terpaksa menunggu waktu yang tepat.
"Mas, kamu sudah tidur?" Tanya Santi sambil berjalan kearahku, sedangkan aku masih pura-pura tidur.
Santi berjalan mendekatiku, setelah itu menyelimuti seluruh tubuhku dengan selimut tebal ala Sultan.
Andai saja semua keluarga Santi mau menerimaku apa adanya, aku pasti akan merasakan hidup bagaikan disurga.
Aku bisa merasakan tinggal di rumah megah nan indah yang selama ini aku idam-idamkan, namun aku sama sekali tidak merasakan kebahagiaan didalamnya. Hanya hinaan dan rasa malu yang selalu aku dapat dari rumah megah ini.
Seluruh anggota keluarga Santi tak ada satupun yang menghargaiku, hanya Santi satu-satunya orang yang mau menghargaiku, namun dia juga tidak bisa membela ku atau berbuat apapun saat anggota keluarganya menghinaku.
Aku dan Santi memang sangat jauh berbeda, diantara kita bagaikan langit dan bumi.
Santi anak direktur dan lulusan sarjana, sedangkan aku hanya anak seorang kuli bangunan dan hanya tamatan SD.
Pernah berfikir kenapa aku bisa menikahi Santi, sedangkan menghidupi nya saja aku tidak mampu.
Ingin aku menyerah, namun usia pernikahanku baru seumur jagung. Apa kata orang-orang nanti, terutama para tetangga-tetangga. Aku yakin pasti Ibuku yang nantinya akan mendapat gunjingan dari orang disekitarnya.
Hidup dalam lingkungan Desa memang sangat berbeda jauh dengan hidup di Kota.
Masalah sekecil semut bisa menjadi sebesar gajah.
Aku sudah pernah mengajak Ibu untuk tinggal denganku di Kota, tapi ternyata Ibu justru malah menolak ajakanku. Ibu bilang ia tidak mau menjadi beban hidupku, karena Ibu tahu bagaimana kehidupanku di Kota sebesar ini.