Pagi ini aku harus berangkat kerja lebih pagi dari biasanya, karena banyak pesanan batu bata yang akan segera diambil oleh pemesannya.
"Dek, Mas berangkat kerja dulu ya." Pamit ku pada Santi yang sedang merapikan tempat tidur kami.
"Tumben berangkatnya pagi-pagi begini, Mas?" Tanya Santi yang terlihat heran, karena memang hari masih terlihat gelap diluar.
"Iya, Dek. Soalnya banyak pesanan batu bata yang akan diambil pemesannya nanti, jadi harus diselesaikan secepatnya." Jawabku sambil mengulurkan tanganku pada Santi dan Santi pun segera menyambutnya dengan senang hati.
Aku berjalan keluar dari kamar, pas diruang tamu aku melihat Ibu mertua sedang duduk manis bersama Ari yang sedang menonton televisi.
"Mau kerja?" Tanya Ibu mertua yang membuatku langsung tersenyum sambil mengangguk.
Tidak biasanya Ibu Mertuaku mau bertanya setiap aku mau berangkat bekerja, jadi pertanyaan itu menurutku hal yang sangat membuat hatiku sedikit berbunga-bunga.
Mungkin Ibu sudah menyadari kalau aku menantu yang pekerja keras, bukan menantu yang suka malas-malasan.
"Nggak ada gunanya kamu berangkat kerja pagi-pagi buta begini, bahkan kalau kamu berangkat malam dan pulang malam sekalipun tidak akan membuatmu menjadi kaya. Jadi kuli batu bata saja sok berangkat pagi." Ujar Ibu mertua sambil menyungingkan sudut bibirnya.
Sedangkan Ari tertawa keras saat mendengar ucapan yang Ibu mertua berikan kepadaku.
Senyum yang tadinya terukir di wajahku langsung sirna mendengar ucapan Ibu, aku pikir Ibu sudah menyadari kesalahannya. Tapi ternyata Ibu tetap sama dan tidak berubah sama sekali, selalu saja menghina pekerjaanku.
"Arlan, cucikan mobilku, nanti aku berikan upah seratus ribu."
Raka, Kakak pertama Istriku tiba-tiba datang dan ikut gabung bersama Ibu dan Ari diruang tamu.
"Tapi, aku mau berangkat bekerja."
Ku tolak dengan halus permintaan Raka, karena aku harus secepatnya berangkat ketempat kerjaku sebelum bosku berangkat duluan. Nanti bisa-bisa aku kena omel seperti biasa jika aku terlambat datang.
"Nggak usah sok sibuk pagi-pagi sudah berangkat, aku yang kerjanya dikantoran saja jam segini masih nyantai." Ujar Raka dengan melotot kan kedua matanya kearahku.
Terpaksa aku harus menuruti apa kata Raka, karena aku tidak mau membuat suasana jadi ribut. Jika aku tidak menuruti apa kata Raka, dia akan terus menghinaku dan tidak akan membiarkan aku pergi begitu saja sebelum mobilnya terlihat bersih.
***
"Akhirnya selesai juga."
Kulihat jam di pergelangan tanganku, ternyata sudah menunjukkan pukul 6 pagi.
"Arlan, sebentar."
Baru juga mau berangkat, suara Raka menghentikan langkahku.
"Nih uangnya."
Raka menyodorkan uang dua ratus ribu kepadaku, membuatku mengerutkan kening.
Perjanjiannya hanya seratus ribu, tapi kenapa Raka memberikan uang dua ratus ribu kepadaku?
"Ayah minta mobilnya dicuci sekalian." Ucap Raka sambil melempar uang itu karena aku tak kunjung menerimanya.
"Tapi aku mau berangkat bekerja."
Aku mencoba menolaknya lagi, karena aku sudah sangat terlambat.
"Kalau kamu nggak mau nyuci mobil Ayah sih terserah, tunggu saja kemarahan Ayah."
Ucap Raka dengan enteng, setelah itu meninggalkanku masuk kedalam rumah.
Lagi-lagi aku terpaksa harus menurut, aku takut kalau Ayah mertua beneran marah denganku.
Akupun mencuci mobil Ayah dengan terburu-buru, hingga pukul tujuh aku baru selesai mencuci mobil dan segera berangkat kerja sebelum ada lagi yang menghalangi keberangkatan ku.
Sampai di tempat kerja semua karyawan memandangku dengan sorotan mata yang tajam. Aku hanya bisa menunduk karena aku memang salah, sudah berkali-kali dibilangin harus berangkat pagi untuk hari ini, aku malah berangkat jam tujuh. Pantas saja kalau semua karyawan marah denganku.
"Kenapa kamu terlambat?" Tanya Bos Broto yang tiba-tiba sudah berada dibelakang ku.
Aku pikir Bos Broto masih belum berangkat, karena biasanya dia selalu berangkat agak siangan. Ternyata dugaanku salah, justru Bos Broto sampai ditempat kerja lebih dulu dariku.
"Maaf, Bos. Tadi saya disuruh Ayah mertua nyuci mobil lebih dulu." Jawabku dengan jujur sambil menundukkan kepala.
"Saya nggak mau tahu apapun alasan kamu, yang jelas saya sangat tidak suka jika ada karyawan saya yang berangkat terlambat." Ucap Bos Broto dengan nada marah.
"Kamu saya pecat." Lanjutnya, setelah itu meninggalkanku yang masih berdiri mematung ditempat.
Kalau aku dipecat, lantas aku harus bekerja dimana lagi?
Percuma saja menjelaskan semua sama Bos Broto, dia pun tidak akan perduli.
Aku tahu bagaimana sifat Bos ku itu, apapun yang dia katakan tidak akan pernah bisa diganggu gugat.
Akhirnya aku pergi dari tempat itu dengan langkah yang sangat berat.
Gara-gara membela uang dua ratus ribu, aku jadi kehilangan pekerjaanku yang sangat berharga bagiku. Sudah beberapa bulan aku bekerja disini, dan aku juga baru mempunyai tabungan sedikit, tidak akan cukup buat modal usaha yang aku inginkan.
Ya Tuhan, kenapa hidupku selalu diuji seperti ini. Dulu sebelum menikah dengan Santi hidupku sangat santai, dan tidak pernah punya masalah sedikitpun. Kenapa sekarang hidupku jadi tambah rumit.
Astaga, kenapa aku malah jadi menyalahkan pernikahanku dengan Santi, ini semua bukan salah Santi ataupun pernikahan kami, ini memang ujian menuju kesuksesan yang harus aku tempuh.
Entah kemana aku harus berjalan, aku hanya mengikuti langkah kaki ini yang terus melangkah tanpa tujuan. Hingga aku mendengar suara ponselku yang sedang berbunyi berkali-kali.
Aku langsung mengambil benda pipih itu dari dalam saku celana, dan segera menggeser tombol warna hijau.
"Assalamualaikum, Pak. Tumben telefon saya, ada apa ya, Pak?"
Ternyata yang menelfonku adalah mantan Bos ku dulu sebelum aku menikah dengan Santi. Beliau mempunyai usaha rumah makan yang sangat besar di kota kelahiranku, dan aku dulu berkerja dengannya sudah bertahun-tahun. Tapi sayangnya aku harus pamit keluar dari rumah makan itu setelah aku menikahi Santi, karena jarak kota tempat tinggalku dulu dengan tempat tinggal Santi sangat jauh, karena kita berbeda kota.
"Waalaikum salam, Arlan. Gimana kabar kamu sekarang? Bapak kangen banget sama kamu." Jawabnya diseberang telefon.
Mantan Bosku itu bernama Malik, beliau orang yang sangat baik yang pernah aku jumpai. Bahkan beliau sudah menganggapku seperti anaknya sendiri.
"Kabar baik, Pak. Bapak sendiri gimana kabarnya?" Tanyaku balik.
"Alhamdulillah baik juga, Arlan. Sebenarnya Bapak telefon ada sesuatu hal yang sangat penting. Bapak butuh kamu, Nak. Tapi kita tidak bisa membicarakannya lewat telefon. Apakah kamu bisa kesini sebentar?" Ucap Pak Malik panjang lebar.
Sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang akan diucapkan Pak Malik, tapi aku tidak bisa memaksanya membicarakannya sekarang. Lebih baik aku menemuinya sekarang, daripada aku melangkah ke sana kemari tanpa tujuan.
"Baik, Pak. Arlan akan kesana sekarang." Ucapku.
"Baik, Nak. Bapak tunggu di rumah. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Jawabku mengakhiri pembicaraan.