"Jadi kau yang sudah menyuruh para preman itu untuk menyekapku disini?" Kutatap pria itu dengan tatapan nyalang.
Pria yang pernah menyuruhku mencuci mobilnya saat aku ingin berangkat kerja, hingga aku terlambat dan akhirnya dipecat.
Iya, dia adalah Kakak iparku yang bernama Raka. Kakak pertama Santi yang jarang sekali berbicara.
Aku pikir selama ini dia tidak pernah ikut campur keluarganya untuk menghinaku, tapi nyatanya dia justru jauh lebih nekat hingga menyuruh para preman untuk menculikku.
Ternyata Raka adalah dalang dibalik penculikan ini.
"Rupanya kau hanya berpura-pura pingsan." Ucapnya sambil mengangkat daguku dengan senyum miring.
"Kau sangat pantas berada di tempat ini." Lanjutnya.
"Apa masalahmu denganku, hingga kau menculikku?" Tanyaku mengintimidasi, karena aku merasa tak pernah punya masalah dengannya. Apapun yang dia suruh selalu aku laksanakan, karena aku sangat menghormatinya sebagai Kakak Ipar tertua.
"Kau tanya apa masalahku denganmu?" Bukannya menjawab, dia justru malah balik bertanya membuatku mengerutkan kening karena bingung dengan maksud dan tujuannya.
"Kau sudah membuat Adik tersayangku hampir menjadi gila karena kepergianmu. Kau sudah menghancurkan keluargaku, bangsat." Jawabnya sambil mengangkat kursi yang ada disamping ku dan membantingnya.
Brak
"Kenapa Kau harus masuk kedalam keluargaku? Hah? Kenapa?" Teriaknya tepat didepan wajahku.
Aku sama sekali tak bisa berkutik. Ingin sekali aku membuatnya babak belur, tapi apalah daya. Kedua tanganku diikat kebelakang, hingga aku tak bisa melakukan apapun.
Apa dia sama sekali tak berpikir kalau keluarganya yang selalu membuat hidupku sengsara. Ini semua gara-gara Santi yang sudah menjebakku hingga aku harus masuk kedalam kandang singa.
"Apa katamu? Adikmu hampir gila? Hahaha, itu sama sekali tidak mungkin. Bukannya dia juga menerima perjodohan dari Ibunya? Kenapa dia masih mengharapkan aku?"
Bugh
Satu pukulan dia layangkan dipipiku.
"Jangan berani bicara dengan nada tinggi denganku, apa kau mau pulang ke rumah Ibumu tanpa nyawa." Ucapnya dengan mata nyalang.
Kalau pun tanganku tidak diikat, aku pasti akan membalas pukulannya. Tapi nyatanya kedua tanganku diikat hingga aku sama sekali tak bisa menyentuhnya, apalagi membalas pukulannya.
"Awalnya aku sama sekali tak menyutujui pernikahan kalian, karena kau hanya sampah yang hanya ingin numpang hidup mewah dikeluargaku."
Ucapannya sungguh membuatku sangat marah, namun aku sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Terpaksa aku hanya mendengar ocehan Kakak Iparku yang seperti orang depresi.
"Tapi aku sama sekali tak bisa menentang hubungan kalian, karena aku sangat menyayangi Santi. Hingga aku harus merelakan Dia bersamamu. Dan apa kau tau, itu benar-benar sangat menyakiti hatiku, bodoh." Lanjutnya.
"Kenapa kau harus sakit hati?"
Aku sangat menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya, karena apa yang Dia katakan tadi sangat mengganggu pikiranku.
Kenapa Dia harus sakit hati? Dan kenapa Dia begitu dendam denganku hanya karena Santi kutinggal pergi.
"Kau tak perlu tau, karena itu bukan urusanmu." Jawabnya sambil mencengkeram rahangku.
"Tentu saja itu adalah urusanku, karena itu ada sangkut pautnya dengan Santi, dan apa kau lupa kalau Santi itu masih istriku." Ucapku sambil menyunggingkan senyum kearahnya.
Raka terlihat sangat marah, berjalan mendekatiku dengan gigi gemeletuk.
"Jangan pernah kau sebut kalau Santi itu istrimu tepat didepan ku, karena aku sama sekali tak mau mendengar kenyataan itu." Ucapnya dengan rahang mengeras menahan amarah yang terlihat sangat membuncah.
"Apa kau menyukai Adik kandungmu sendiri?" Tanyaku sambil menyipitkan kedua mata.
Lama kutunggu jawabannya, namun Dia sama sekali tak menjawab.
"Aku akan cari tahu sendiri tanpa kau mengatakannya." Lanjutku.
Bugh.
Satu pukulan Dia layangkan lagi dipipi ku.
"Jangan pernah kau cari tau apapun tentangku, bangsat. Aku tak kan segan-segan membunuhmu jika kau mencari tau semua tentangku." Ucapnya dengan berapi-api, setelah itu pergi meninggalkanku sendiri.
Aku jadi sangat yakin kalau ada sesuatu antara Raka dengan Santi. Raka sepertinya menyimpan sesuatu yang tak aku ketahui dan aku harus mencari tahu itu.
Brak.
Pintu kembali terbuka dengan keras, setelah itu Raka masuk sambil membawa piring ditangannya.
"Makanlah, bodoh." Ucapnya sambil menyodorkan sepiring nasi dihadapanku, setelah itu Raka membuka ikatan tali dikedua tanganku.
Aku hanya melihat nasi yang ada diatas piring tanpa menyentuhnya sama sekali.
Dikira aku ayam yang dikasih makan nasi basi tanpa lauk. Sesusah-susahnya hidupku dulu, Ibuku tak pernah memberiku makanan basi seperti ini.
"Ayo makanlah, jangan sampai kau mati disini." Ucapnya nyalang, karena aku sama sekali tak menyentuh makanannya.
"Lebih baik aku mati dari pada makan makanan basi, kau pikir aku binatang?" Kupelototi matanya dengan neranyi, karena aku sama sekali tak takut padanya.
"Jangan sombong kau, bangsat. Biasanya juga sering makan makanan nasi, pakek sok-sokan pilih mati daripada makan nasi basi. Dasar sombong." Ucapnya sambil menyunggingkan senyum.
Raka berjalan untuk keluar pintu sambil meninggalkan nasi sisa pemberiannya teronggok dihadapan ku.
Ku ambil piring itu, setelah itu kulempar kearah tembok tepat di samping pintu.
Raka langsung membalikkan badannya menghadap kearah ku.
"Bedebah, kau sudah membuatku sangat marah."
Satu pukulan dilayangkan tepat didepan wajahku, namun aku bisa menangkisnya lalu memutar tangannya kebelakang punggungnya.
Aku tidak akan diam saja dipukuli seperti tadi, dan sekarang saatnya aku akan melawannya.
Kalau melawan para preman tadi mungkin aku akan kalah, tapi kalau melawan Raka aku yakin akan menang, karena postur tubuh Raka tidak jauh berbeda denganku.
Kadang aku sempat heran, Ari dan Santi mempunyai postur tubuh yang tinggi dan besar, tapi kenapa Raka mempunyai tubuh yang kecil dan pendek.
"Lepaskan brengsek." Ucapnya dengan marah.
"Yang aku tau selama ini kau jarang sekali berbicara, tapi sekali bicara yang keluar hanya kata-kata kotor." Ucapku sambil menahan tangannya lebih erat, agar Raka tidak bisa bergerak.
"Berbicaralah dengan sopan, apa kau lupa kalau umurku jauh lebih tua darimu?" Lanjutku mengingatkan, karena memang umurku jauh lebih tua dari semua saudara Santi.
"Kau memang jauh lebih tua dariku, dan kupastikan kau sebentar lagi akan mati." Jawabnya sambil menyeringai.
"Brengsek."
Kudorong Raka hingga jatuh tersungkur.
Perlahan dia bangun sambil menatap kearah ku dengan tatapan penuh benci.
Aku sama sekali tidak takut kalau aku harus duel dengannya.
"Arman." Teriak Raka hingga suaranya menggema didalam ruangan ini.
"Ya, Bos. Ada yang bisa saya bantu?"
Salah satu dari preman tadi masuk dengan tergesa-gesa.
"Bunuh dia." Ucap Raka sambil menunjuk kearah ku, setelah itu meninggalkan ruangan ini dengan kesal.
Kutelan ludahku dengan kasar setelah mendengar ucapan Raka.
Ketua preman itu menatapku dengan senyum yang sulit kuartikan, setelah itu pergi keluar untuk menyusul Bosnya.
Mungkin memang disini lah takdir terakhir hidupku.