Chereads / Sukses Karena Hinaan Mertua / Chapter 9 - Dibunuh

Chapter 9 - Dibunuh

Tiba-tiba tubuhku terasa lemah. Aku yang tadinya shok kuat, sekarang harus menerima kenyataan jika nyawaku sedang diujung tanduk.

Mau kabur dari sini pun percuma, karena tidak ada celah sama sekali untuk meninggalkan tempat ini.

Tuhan, aku akan ikuti alur takdirmu untukku. Jika takdirku memang mati saat ini dan ditempat ini, aku akan mencoba untuk ikhlas.

Brak.

Lagi-lagi pintu dibuka dengan sangat kasar, dan menampakkan semua para preman yang tadi menculikku.

Mereka berjalan pelan mendekatiku, membuat nyaliku menciut untuk melawan.

Semakin mereka mendekat, aku semakin mundur kebelakang. Hingga tubuhku mentok pada dinding ruangan ini.

"Hahaha." Tawa mereka menggema didalam ruangan, membuatku semakin ketakutan.

Mungkin banyak yang menyangka kalau aku pengecut, karena tidak bisa melindungi diriku sendiri dari kejahatan.

Tapi aku pun yakin, jika setiap laki-laki yang mempunyai posisi sepertiku saat ini, tidak akan ada yang berani melawan.

Satu orang banding lima orang, sudah pasti kalah. Apalagi mereka semua berbadan tinggi dan besar, baru lihat saja nyali sudah pasti menciut.

"Sudah tidak bisa mundur lagi ya? Kasihan." Salah satu dari mereka mengejekku, hingga semuanya ikut menertawakan ku.

"Mau apa kalian?" Tanyaku dengan suara bergetar.

Aku sangat takut kalau mereka benar-benar ingin membunuhku.

"Apa kau tadi tidak mendengar apa yang Bosku perintahkan?" Tanya ketua dari preman itu, lagi-lagi disambut dengan gelak tawa dari semuanya.

"Apa kalian ingin membunuhku?" Tanyaku dengan pelan, karena tenggorokan terasa tercekat.

"Tentu saja, karena itu akan memudahkan pekerjaan kami. Setelah membunuhmu, kami akan bebas pergi kemana pun sesuka hati kami, tanpa takut kalau kamu akan kabur." Jawab dari salah satu anak buah preman itu.

"Benar-benar tak punya hati kalian." Ucapku dengan berderai air mata.

Aku memang laki-laki, tapi aku juga bisa cengeng jika dihadapkan dengan keadaan seperti ini. Apalagi kematian ada didepan mataku saat ini.

"Apa kalian tidak memikirkan gimana rasanya perasaanku? Apa kalian tidak takut dengan karma yang akan kalian tuai? Jika salah satu dari kalian yang jadi aku gimana? Pasti kalian juga akan ketakutan sepertiku saat melihat kematian ada didepan mata." Ucapku panjang lebar membuat mereka semua diam tanpa kata.

Ketua preman maju untuk mendekatiku, sedangkan yang lainnya hanya diam melihat apa yang akan dilakukan ketua mereka.

Bugh.

"Banyak bacot."

Ketua preman itu memukulku dengan membabi buta, hingga kepalaku terasa berdenyut, mataku berkunang-kunang, dan akhirnya aku sama sekali tidak sadarkan diri.

****

Kepalaku terasa sangat berat, seluruh tubuhku juga terasa remuk. Kulihat sekeliling dan baru menyadari kalau aku berada diluar ruangan. Ternyata aku berada di hutan.

Aku berada dibelakang bangunan tua yang mungkin tadi tempat untuk menyekapku.

Bau busuk tiba-tiba masuk kedalam indra penciumanku, membuat perutku sangat mual luar biasa.

Baunya sangat-sangat busuk, seperti bau bangkai.

Aku edarkan pandangan ke segala arah untuk mencari asal bau tersebut, hingga mataku menangkap sesuatu yang membuatku sangat terkejut.

Tulang-tulangku terasa lemas, hingga tak bisa menopang beban tubuhku saat melihat sesuatu yang membuatku mengeluarkan semua isi perutku.

Mayat, aku melihat mayat didepan mata kepalaku sendiri.

Mayat itu sudah tak berbentuk, seluruh tubuhnya koyak hingga bagian dalam perutnya tercecer keluar.

Aku melangkahkan kaki dengan pelan kearah mayat itu, untuk memastikan kalau itu memang benar-benar mayat orang. Dan aku melihatnya dengan jelas bahwa itu memang benar mayat orang.

Seluruh wajahnya sudah hancur, hingga setiap orang yang lihat mungkin tidak akan mengenalinya.

Perlahan aku berjalan mundur karena aku bingung harus berbuat apa, hingga kurasakan kakiku menginjak sesuatu yang hampir membuatku terjatuh.

Kratak.

"Astaga, tulang belulang manusia?"

Aku menutup kedua mulutku, tak percaya dengan apa yang aku lihat didepan mataku. Tulang belulang itu tadi sama sekali tak terlihat karena tertutup oleh semak belukar.

Mayat orang, dan juga tulang belulang yang berserakan.

Apa para penculik tadi mengira kalau aku sudah mati? Hingga mereka membuangku ke tempat ini.

Benar-bebar manusia biadab, mereka tega menghabisi nyawa orang hanya demi uang.

Aku sangat yakin kalau mayat dan semua tulang belulang itu adalah korban dari kebiadapan para manusia itu.

Benar-benar manusia yang berhati iblis.

Tiba-tiba aku mendengar suara pintu yang sepertinya akan dibuka dari dalam.

"Aku harus pura-pura mati."

Kurebahkan tubuhku ditempat semula, agar para penjahat itu tidak mengira kalau aku masih hidup.

"Dia memang sudah mati, Bos. Dan kami membuangnya di belakang gudang."

Terdengar suara seseorang dibelakang sana.

".... "

"Baik, Bos. Silahkan kesini untuk mengeceknya sendiri." Ucapnya lagi, setelah itu aku kembali mendengar pintu ditutup.

Sepertinya orang tadi sedang menelpon seseorang, dan pasti Raka orang yang ditelponnya.

Aku harus segera pergi dari sini sebelum Raka mengetahui kalau aku masih hidup.

Ide melintas dipikaranku dengan tiba-tiba, membuatku sedikit tersenyum simpul.

Akhirnya aku kembali berjalan menuju mayat tadi. Aku memang tidak tahan dengan bau mayat ini, tapi aku harus melakukan sesuatu agar aku bisa terhindar dari Raka beserta keluarganya.

Akhirnya aku melucuti pakaian mayat itu sambil menahan nafas, setelah itu kuganti pakaianku dengan pakian mayat ini, setelah itu mayat ini kupakaikan baju yang tadi aku pakai.

Tidak sampai disini, aku juga dengan terpaksa menggotong mayat ini ketempat aku pingsan tadi, agar mereka semua menyangka kalau aku memang benar-benar sudah mati.

Setelah meletakkan mayat itu ketempat aku pingsan tadi, kuamati dari depan pintu, mayat itu memang benar-benar tampak seperti aku dari belakang.

Semoga saja Raka dan para preman itu tidak mendekati mayat itu. Kalau sampai itu terjadi, bisa tamat riwayatku.

Segera kutinggalkan tempat itu dan berlari sekuat tenagaku. Tapi rasa sakit akibat pukulan para preman tadi membuatku tidak kuat untuk berlari.

Akhirnya aku berjalan dengan pelan kearah pohon besar yang tempatnya tak jauh dari bangungan tua itu.

"Mana dia?"

Terdengar suara seseorang yang tak asing ditelinga ku.

Raka, itu suara Raka.

Untung saja aku berhenti dan beristirahat dibalik pohon besar ini. Kalau tadi aku melanjutkan perjalanan, pasti mereka akan mengetahui kalau aku kabur. Karena pohon besar yang bisa menutupi tubuhku hanya pohon yang saat ini aku pakai untuk berlindung dibaliknya.

"Itu dia, Bos. Sudah jadi mayat disana." Jawab salah satu dari preman itu, dan langsung disambut tawa menggelegar dari yang lain.

Apa mereka senang melihatku mati seperti itu?

Kenapa mereka sekeji itu?

Apa mereka tidak ada rasa kasihan sedikit pun melihat mayat tergeletak seperti itu?

Benar-benar manusia berhati binatang. Jika aku bisa keluar dari tempat ini nanti, semoga aku dijauhkan dari manusia seperti itu.