Aku pamit untuk pulang ke rumah, karena rencananya aku ingin memberitahukan kabar bahagia ini kepada Santi, siapa tahu keluarga Santi bisa lebih menghargaiku setelah tahu kalau aku sudah mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Tak berselang lama akhirnya aku telah sampai didepan pintu rumah mertuaku.
Aku masih berdiri mematung didepan pintu rumah setelah mendengar canda tawa banyak orang didalam rumah.
Entah siapa yang datang, tapi yang jelas pembicaraan mereka semua sangat melukai lubuk hatiku yang paling dalam.
"Kamu tenang saja, sebentar lagi Santi sama Arlan akan segera pisah. Jadi kamu bisa menikahi Santi secepatnya." Terdengar suara Ibu mertuaku.
Ibu macam apa yang tega ingin merusak rumah tangga anaknya sendiri. Kalau dari awal mereka memang tidak menyukaiku, lantas kenapa mereka menerimaku menjadi menantu di rumah ini?
Sengaja aku menempelkan tubuhku lebih dekat kearah pintu utama agar bisa mendengar lebih jelas pembicaraan semua orang yang ada di ruang tamu.
"Saya benar-benar sudah tidak sabar untuk menjadikan Santi sebagai istri saya, Bu." Ucap seorang laki-laki yang suaranya terdengar sangat asing ditelingaku.
Mereka semua tertawa bersama setelah mendengar ucapan seorang laki-laki itu.
Apa salah satu dari mereka tidak ada yang memikirkan perasaanku sama sekali, disini aku sangat terluka.
Hatiku sangat sakit mendengar ucapan Ibu mertuaku yang ingin memisahkan aku dengan Santi, dan juga ucapan dari seorang laki-laki asing yang mengatakan ingin segera menikahi Santi.
Dimana hati nurani mereka sebagai seorang manusia?
Bahkan aku tidak yakin kalau mereka semua itu adalah manusia.
Setiap manusia pasti punya hati nurani, sedangkan mereka yang ada didalam rumah sama sekali tidak ada yang mempunyai hati nurani.
Kubuka pintu lebar-lebar dan langsung nyelonong masuk begitu saja.
Kulihat muka mereka semua sangat terkejut saat melihatku masuk kedalam rumah, terutama Santi.
Aku pikir Ibu mertua memaksa menjodohkan Santi dengan laki-laki lain, tapi ternyata dugaanku salah.
Santi juga ikut bergabung diantara mereka semua. Itu artinya Santi juga menyetujui keinginan Ibunya.
Kalau memang Santi ingin berpisah denganku, buat apa dia dulu menjebakku, sampai aku harus menikahinya dan memutuskan hubunganku dengan Dewi.
.
"Mas, tunggu." Teriak Santi dibarengi dengan suara kaki yang sedang berlari.
Aku sama sekali tak menghiraukan teriakannya, aku sangat kecewa dengannya.
"Kamu sudah pulang, Mas?" Tanya Santi saat dia sudah berada didepan ku, dan menghalangi langkah kakiku.
"Kamu lihatnya gimana?" Tanyaku balik dengan ekspresi datar.
"Aku kan tanya baik-baik, Mas. Kenapa kamu nyolot?" Santi menundukkan pandangannya dengan menampilkan ekspresi kesedihan.
Aku sudah sangat hafal dengan sifat Santi, dia akan terlihat sangat sedih jika aku marah padanya.
"Sudahlah, tidak usah berpura-pura sedih, karena aku sudah tahu sifat aslimu seperti apa." Ucapku, setelah itu aku melanjutkan langkah kakiku menuju kamar dan mninggalkan Santi yang masih diam mematung.
Aku pulang ke rumah ini karena rencananya ingin memberikan kabar bahagia yang aku punya kepada Santi, tapi aku urungkan setelah mengetahui semuanya.
Untuk apa aku terus bertahan di rumah ini? Rumah istana yang dalamnya seperti berada didalam neraka.
Aku harus mengemasi seluruh pakaianku dan segera pergi dari rumah neraka ini.
***
"Kamu mau kemana, Mas?" Tanya Santi sambil mencekal lenganku saat aku berjalan dengan menggendong tas ransel melewati ruang tamu.
Kulihat ruang tamu sudah sangat sepi, nampaknya para tamu tadi sudah pulang saat aku mengemasi pakaianku.
Hanya ada Ibu Mertua, Bapak Mertua, dan juga Santi yang duduk di sofa ruang tamu.
Aku tetap melangkah keluar tanpa menghiraukan pertanyaan Santi.
"Syukurlah kalau kamu tahu diri." Ucap Ibu Mertua, yang kurasa ucapannya itu ditujukan untukku.
"Memang seharusnya kamu itu pergi dari rumah ini sejak dulu." Ayah Mertua melanjutkan ucapan Istrinya.
"Ayah dan Ibu jangan bicara seperti itu. Bagaimana pun juga, Mas Arlan itu suamiku." Santi mencoba membelaku, tapi aku sama sekali tidak luluh dengan pembelaannya.
Kuhentikan langkah kakiku dan membalikkan tubuhku kearah Santi.
"Kau tidak perlu membelaku, karena aku sama sekali tak butuh pembelaan darimu. Karena aku sangat tahu, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya." Ucapku sambil menyunggingkan senyum.
Kembali kulangkahkan kakiku untuk meninggalkan rumah laknat ini, agar aku bisa segera terlepas dari hinaan keluarga ini.
Aku pikir Santi akan ikut pergi bersamaku seperti apa yang dikatakannya dulu, tapi ternyata aku salah. Santi hanya sok-sokan membelaku, padahal dia pun ikut mendukung berbuatan keluarganya kepadaku.
Selama ini aku sudah tertipu dengan topeng polos yang digunakan Santi untuk menjeratku.
Setelah sampai seberang jalan, aku segera menyetop taksi yang kebetulan sedang lewat.
"Tujuannya mau kemana, Pak?" Tanya supir taksi yang masih belum aku jawab.
Aku bingung mau pergi kemana, sedangkat di kota ini aku sama sekali tidak mempunyai teman apalagi keluarga.
"Pak, tujuannya mau kemana?" Supir taksi itu mengulangi pertanyaannya, karena aku masih diam tak menjawab.
"Jalan saja dulu, Pak. Saya masih mikir tujuannya mau kemana." Jawabku dengan lesu, yang langsung dapat anggukan dari supir taksi.
Aku nggak mungkin pulang ke rumah Ibu, karena aku masih belum siap memberitahu Ibu soal pernikahanku yang bagiku penuh dengan derita.
Setelah lama berfikir, aku akhirnya memutuskan untuk menghubungi nomor Pak Malik.
Tak butuh waktu lama, Pak Malik langsung mengangkat telepon dariku.
"Hallo, ada apa, Arlan?" Tanya Pak Malik setelah telepon tersambung.
"Pak, saya boleh nggak minta alamat cabang rumah makan Bapak yang ada di kota ini?" Tanyaku dengan hati-hati.
"Oh, boleh. Maaf ya, tadi Bapak lupa memberimu alamat cabang rumah makan yang baru, biar nanti Bapak kirim lewat pesan saja." Jawab Pak Malik.
Pak malik segera mengirim alamat cabang rumah makan setelah telepon terputus.
Aku berfikir sejenak, lebih baik aku pergi ke cabang rumah makan saja dulu, sambil memikirkan langkah selanjutnya yang akan aku ambil.
"Ke alamat ini ya, Pak." Ucapku sambil menyodorkan ponselku kepada supir taksi yang aku tumpangi.
Supir taksi itu membaca alamat dengan seksama, setelah itu mengangguk menyetujui.
Kusenderkan tubuhku di kursi penumpang untuk merilekskan pikiranku yang masih penuh dengan hati yang dongkol akibat keluarga Santi.
Kalau tahu hidupku bakal jadi begini setelah menikahi Santi, aku nggak akan pernah menikahinya. Lebih baik aku menikahi Dewi yang sudah pasti berhati baik dan juga cantik pula.
Awalnya aku berpikir kalau aku dan Santi mang ditakdirkan untuk berjodoh, tapi ternyata aku salah. Kenyataanya pernikahanku dengan Santi itu adalah cobaan.
Cobaan yang bagiku sangat berat, karena aku harus berkumpul dengan orang-orang yang miskin hati.
ingatlah, kaya harta itu masih belum cukup, selagi hati kita masih miskin.