Chereads / Sukses Karena Hinaan Mertua / Chapter 6 - Tinggal di rumah makan

Chapter 6 - Tinggal di rumah makan

Supir taksi yang aku tumpangi sudah berhenti tepat didepan rumah makan yang masih kosong.

Tempat rumah makan ini jauh lebih besar dan lebih bagus daripada rumah makan utama.

Setelah membayar ongkos, aku segera berjalan menuju rumah makan itu.

Terlihat masih dikunci, dan aku lupa untuk menanyakan kuncinya pada Pak Malik.

Bagaimana aku bisa masuk sekarang?

Kuletakkan tasku yang berisi pakaian di atas lantai, dan aku pun mendudukkan tubuhku didepan rumah makan sambil menyender dinding tembok.

Tak apalah jika aku akan tidur diatas lantai depan rumah makan malam ini, yang penting aku tidak tidur dijalanan. Mau pulang ke rumah Ibu juga kasihan pada Ibu dan Bapak, aku belum bisa membahagiakannya, tapi malah sering membuatnya sengsara.

"Arlan, kenapa tidur disini?"

Aku terlonjak kaget saat seseorang membangunkanku, karena kelelahan membuatku langsung tertidur.

"Eh, Pak Malik. Tadinya mau numpang tidur didalam, Pak. Tapi saya lupa tidak meminta kuncinya pada Pak Malik." Jawabku setelah tahu jika seseorang yang membangunkanku itu ternyata Pak Malik.

"Ayo sini, masuk." Ajak Pak Malik yang membuatku mengangguk.

Aku mengikuti Pak Malik masuk kedalam rumah makan yang masih kosong dan sepi, bahkan perabotannya saja masih belum dibeli oleh Pak Malik.

"Pak Malik dari kapan ada di kota ini?" Tanyaku penasaran, karena waktu ditelefon tadi Pak Malik sama sekali tidak memberitahu jika dia ada di kota ini.

"Baru saja sampai." Jawab Pak Malik.

"Saya sengaja kesini karena ingin melengkapi perabotan yang masih belum semapt dibeli." Lanjutnya.

"Apa kamu ada masalah?" Tanyanya kemudian sambil duduk meja yang kutaksir nanti akan dibuat meja kasir. Aku pun ikut duduk didepannya, karena kebetulan ada kursi kecil didepan meja kasir, mungkin gunanya untuk duduk para pelanggan yang akan mbayar makanannya nanti.

"Arlan, apa kamu ada masalah dengan keluargamu?" Pak Malik melanjutkan pertanyaannya, karena aku hanya diam membisu.

Apa aku harus menceritakan apa yang aku alami selama ini pada Pak Malik?

Tapi sebenarnya aku tidak mau mengumbar masalahku dengan istri dan mertuaku, karena bagiku itu sebuah aib yang harus aku tutupi.

"Nggak ada masalah apa-apa kok, Pak." Jawabku sambil tersenyum kearah Pak Malik, agar dia percaya dengan jawabanku.

"Yasudah kalau kamu masih belum mau cerita, lebih baik kamu istirahat sekarang." Ucap Pak Malik membuatku mengangguk.

Aku pikir Pak Malik akan langsung percaya dengan apa yang aku katakan, nyatanya Pak Malik seeprtinya tahu jika aku memang punya masalah dengan keluargaku.

Kulangkahkan kakiku masuk kedalam dapur, disamping dapur terdapat satu kamar tidur yang lengkap dengan kasur dan almari.

Mungkin sementara waktu aku meminta izin pada Pak Malik untuk tinggal disini sambil menjaga rumah makannya agar tidak kosong.

Kurebahkan tubuhku sejenak untuk menghilangkan rasa lelah. Bukan lelah karena perjalanan, tapi karena lelah oleh keadaan yang memang harus aku jalani.

Sama sekali tak terpikirkan jika jalan hidupku akan seperti ini, mungkin memang inilah yang dinamakan takdir.

Takdir yang sungguh menyakitkan.

Sebenarnya jika aku memang harus berpisah dengan Santi, itu sama sekali tidak menjadi masalah buatku, mungkin itu memang jalan satu-satunya agar aku bisa lepas dari keluarga tak punya hati seperti keluarga Santi.

Ngakunya sarjana, tapi attitud kosong, masih mending aku yang hanya tamat SD.

"Arlan." Panggil Pak Malik sambil mengetuk pintu.

Sebenarnya aku sangat malas untuk keluar, tapi rasanya tidak enak dengan Pak Malik kalau aku mengabaikan panggilannya.

Karena hanya Pak Malik yang saat ini mau membantuku. Aku sama sekali tak punya siapa-siapa di Kota ini.

"Ada apa, Pak?" Tanyaku saat pintu sudah aku buka.

"Makan dulu yuk, pasti kamu lapar kan? Tadi saya beli nasi goreng di warung depan situ." Jawab Pak Malik sambil menunjuk kearah luar.

Tau saja Pak Malik kalau aku sama sekali belum makan, padahal kita berdua tidak ada ikatan darah sama sekali, tapi kita seperti ada ikatan batin yang selalu mempersatukan.

Andai saja dulu aku jadi menikah dengan Dewi, anak Pak Malik. Pasti hidupku sekarang sudah sejahtera karena mempunyai mertua yang sangat perhatian dan selalu tau jika aku lagi kesusahan.

"Sudah, ayo makan. Malah bengong." Pak Malik menarik tanganku menuju meja yang sudah tersedia nasi goreng dua bungkus diatasnya beserta dua gelas es teh.

Aku pun duduk didepan Pak Malik dengan rasa tak enak hati, karena aku merasa selalu merepotkannya.

"Kenapa tidak dimakan? Nasi gorengnya nggak enak?" Tanya Pak Malik, karena aku hanya mencicipi satu sendok nasi goreng itu.

"Saya hanya merasa tak enak saja sama Pak Malik, karena Bapak selalu bantu saya dari dulu. Maaf ya, Pak. Kalau saya selalu merepotkan Bapak." Ucapku sambil menunduk.

Pak Malik menegakkan kepalaku sehingga aku sekarang saling berhadapan dengannya.

Jika menatap wajah teduh Pak Malik seperti ini, rasanya hatiku sangat adem. Pak Malik selalu bisa membuatku merasa nyaman saat bersamanya.

"Kamu tidak pernah merepotkan, justru saya sangat senang bisa membantu kamu sebisa saya." Ucap Pak Malik dengan lembut.

"Makanlah, setelah itu beristirahatlah dengan nyaman disini, karena habis ini saya harus balik ke rumah." Lanjutnya membuatku mengangguk dan melanjutkan makanku.

Setelah kami berdua selesai makan, Pak Malik berpamitan untuk kembali pulang.

Jadi tinggal aku sendiri yang berada disini sekarang.

Tempatnya cukup membuatku nyaman, karena aku sudah tidak akan pernah mendengar ocehan dari keluarga Santi lagi.

Lihat saja nanti, aku pasti bisa sukses melebihi kesuksesan keluarga mereka.

Bekas bungkus nasi goreng kuremas-remas hingga kertas itu tak berbentuk, sambil membayangkan keluarga Santi saat menghinaku.

Aku menghayal andaikan keluarga Santi ada dalam genggamanku, akan kuremas seperti kertas ini, setelah itu aku lempar ke tempat sampah.

Lebih baik aku istirahat sekarang, daripada mikirin keluarga Santi yang sama sekali tak punya hati.

Lihat saja, sampai saat ini saja Santi sama sekali tak menghubungiku, dia sama sekali tak perduli denganku. Padahal dia tahu kalau di kota ini aku tidak mempunyai siapa-siapa selain dia dan keluarganya.

Tapi harusnya aku bersyukur, dengan begitu hidupku akan jauh lebih nyaman.

Ku tutup pintu depan lebih dulu, setelah itu melangkah masuk kedalam kamar yang nantinya akan menjadi tempat tidurku.

Lebih baik aku istirahat untuk menghilangkan semua beban pikiranku, daripada aku terus menerus memikirkan keluarga Santi.

Baru juga merebahkan tubuhku di atas ranjang, sudah ada ketukan pintu diluar yang mengganggu istirahatku.

Ah, sial. Ganggu orang lagi istirahat saja.

Sengaja aku tak membukanya, tapi lama kelamaan ketukan itu semakin keras.

Kayaknya nggak mungkin kalau Pak Malik datang lagi kesini.