Setelah bergonta-ganti kendaraan, dari naik bis, naik angkot, hingga naik ojek, akhirnya aku tiba didepan rumah makan Pak Malik dengan selamat.
Bangunan yang sangat besar yang terdapat danau kecil di samping kiri bangunan dan juga taman kecil di samping kanan bangunan.
Rumah makan ini sama sekali tak berubah dari semenjak aku berada disini sampai sekarang. Dan yang memberi ide diberi danau dan juga taman kecil itu dulu adalah aku, karena dulu aku sangat suka main ke danau disaat hati sedang kacau, dan aku juga sering main ke taman disaat hati sedang senang.
"Assalamualaikum, Arlan. Kenapa nggak langsung masuk, malah berdiri disini." Ucap Pak Malik yang mengagetkanku, karena beliau tiba-tiba sudah berada di sampingku.
"Waalaikum salam, Pak. Maaf, saya hanya mengenang tempat ini, rasanya sangat kangen dengan rumah makan Bapak." Jawabku sambil tersenyum malu.
"Masuk dulu yuk." Ajak Pak Malik.
Aku hanya mengangguk mengikuti langkah kakinya. Setelah itu Pak Malik menyuruhku untuk duduk di sofa ruang tamunya.
"Dewi, buatkan dua teh hangat. Bapak lagi kedatangan tamu." Pak Malik memanggil anak gadisnya, dari ruang tamu. Sedangkan Dewi menyahut dari dalam rumah.
"Iya, Pak."
Tak berselang lama Dewi membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat, dan menaruhnya diatas meja sambil sedikit tersenyum padaku.
Dewi sama sekali tidak berubah, dia masih sangat ramah dan juga cantik. Kalau diingat-ingat, kesalahanku dulu sangat besar hingga aku harus meninggalkankan Dewi dan terpaksa menikah dengan Santi.
Aku benar-benar menyesal dengan masalah waktu itu, hingga aku harus kehilangan wanita yang sangat aku cintai.
Aku terus memandang Dewi hingga dia hilang dibalik gorden ruang tengah.
"Jaga pandangan, Nak. Kamu sudah menikah." Ucap Pak Malik, membuatku tersadar dari lamunan.
Kalau mengingat kejadian dimasa lalu, aku benar-benar sangat malu dengan Pak Malik. Beliau sudah sangat baik denganku, tapi aku malah menyakiti anak gadis kesayangannya.
"Emm, soal yang dulu, saya benar-benar minta maaf, Pak. Sekali lagi saya minta maaf, karena waktu itu.... "
Belum sempat menyelesaikan ucapanku, Pak Malik sudah memotongnya, membuatku semakin merasa tak enak hati.
"Sudah jangan dibahas lagi, saya menyuruh kamu kesini bukan mau ngomongin masalah itu." Ucap Pak Malik membuatku menunduk.
Rasa bersalahku kepada keluarga Pak Malik tidak akan bisa hilang sampai keluarga Pak Malik mengetahui kejadian yang sebenarnya waktu itu.
"Apa kamu sudah bekerja?" Tanya Pak malik, aku langsung menjawabnya dengan gelengan kepala. Berharap kalau Pak Malik akan memberiku pekerjaan lagi seperti dulu.
"Bagus." Ucap Pak Malik yang membuatku langsung mendongak.
Apa Pak Malik suka melihatku menjadi pengangguran seperti sekarang? Apa sebenarnya masih ada dendam dihatinya untukku?
"Maksud saya, bagus kalau kamu belum bekerja, karena saya menyuruh kamu kesini ingin menawarkan pekerjaan untukmu."
Kedua mataku langsung berbinar bahagia mendengar ucapan Pak Malik yang terakhir. Pak Malik memang benar-benar orang baik, tapi aku malah berburuk sangka dengannya.
"Jadi, saya boleh bekerja disini lagi, Pak?" Tanyaku lebih memastikan.
"Bukan disini, tapi ditempat lain." Jawab Pak Malik, membuatku semakin bingung.
"Jadi gini, sebenarnya saya buka cabang rumah makan di kota tempat tinggalmu saat ini. Tempat itu masih belum dibuka karena saya belum menemukan orang yang terpercaya. Maka dari itu saya meminta kamu bekerja untuk mengelola tempat itu. Saya percayakan semuanya sama kamu." Pak Malik menjelaskan panjang lebar.
Aku tak bisa menjawab apapun, aku hanya bisa diam dengan mata berkaca-kaca.
Aku hanya orang biasa yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengan Pak Malik, tapi bagaimana bisa beliau mempercayaiku hingga menyuruhku mengelola cabang rumah makannya?
Ini benar-benar mukjizat, dalam beberapa jam pekerjaanku sudah digantikan dengan yang lebih baik dan lebih layak.
"Semua modal dari saya, tapi kamu yang membelanjakan barang mentahnya. Nanti setiap sebulan sekali, kamu kirim untungnya ke nomor rekening saya. Semua karyawan juga saya yang cari, kamu nanti tinggal mengawasi dan sekali-kali ikut berkutat jika karyawan kuwalahan."
Lagi-lagi aku mengucap kata syukur yang tak ada henti-hentinya. Istilahnya dipecat dari kuli, sekarang malah diangkat jadi mandor.
"Oh iya, gaji bulan pertama kamu tiga juta, dan nanti akan terus naik jika kamu bisa membuat cabang rumah makan itu semakin banyak digemari para pembeli." Lanjut Pak Malik yang masih membuatku terdiam.
Bagiku ini adalah sebuah mimpi yang sangat indah. Bagaimana tidak, hanya mengawasi karyawan saja dibayar tiga juga per bulan. Belum lagi kalau misalkan aku bisa membuat warung makan yang baru dibuka itu menjadi sangat ramai, pasti Pak Malik akan menaikkan gajiku lebih besar lagi.
Walaupun sebenarnya pekerjaan itu sangat sulit, karena warung itu baru akan dibuka. Tapi aku akan terus berusaha. Karena nanti jika aku bisa membuka warung sendiri, aku akan melewati masa-masa seperti sekarang. Harus membuat tak-tik gimana caranya warung makan itu banyak pelanggan.
"Kamu dari tadi diam saja, Arlan. Apa kamu nggak mau menerima tawaran Bapak?" Tanya Pak Malik dengan kening berkerut.
"Bukannya saya nggak mau, Pak. Tapi saya sangat terharu karena Bapak terlalu baik dengan saya. Kita tidak ada hubungan darah sama sekali, tapi Bapak sudah sangat mempercayai saya." Jawabku dengan rasa bersalah.
Lagi-lagi aku mengingat disaat aku menyakiti hati Dewi. Padahal Pak Malik sangat baik padaku.
Mungkin memang Dewi bukan jodohku, itu sebabnya Tuhan memisahkan kita berdua.
"Saya sangat percaya sama kamu karena saya sudah sangat mengenal kamu. Sudah bertahun-tahun kamu bekerja dengan saya."
Air mata yang dari tadi kubendung akhirnya lolos juga. Andai saja waktu itu musibah tidak terjadi padaku, pasti saat ini aku dan Dewi sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Mempunyai istri yang cantik, sabar dan juga sholehah. Ditambah mertua yang sangat baik terhadapku, sangat berbanding terbalik dengan mertuaku sekarang.
"Kamu jangan banyak pikiran, saya akan menunggu kapan pun kamu siap. Nanti bisa hubungi saya, agar saya juga bisa menghubungi para karyawan yang akan bekerja disana nanti."
Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Pak Malik, rasanya lidah ini sangat kelu walau hanya ingin berkata "iya" saja rasanya tidak mampu.
Tak terasa tiba-tiba bulir bening lolos dari pelupuk mata begitu saja, hingga aku harus segera mengelapnya sebelum Pak Malik menyadari kalau aku sedang menangis karena saking bahagianya.
"Diminum dulu tehnya." Pinta Pak Malik sambil mengambil gelas yang berisi teh, dan langsung meneguknya. Aku pun melakukan hal yang sama, hingga teh yang ada didalam gelasku langsung tandas tak tersisa sedikitpun, karena kerongkonganku memang sangat haus sebab perjalanan ke Kota Pak Malik yang begitu jauh.