"Sayang, aku harus pergi ke luar kota, tolong kamu jaga rumah dengan baik dan bayi yang ada di dalam kandungan kamu, ya," pinta Rehan berpamitan pada Dinda.
"Loh, Mas. Kamu mau ke luar kota lagi, bukannya baru semalam kamu di rumah?" tanya Dinda yang sedang hamil besar.
"Iya sayang, semua ini karena keadaan. Aku harus pergi sekarang!"
Cup
Rehan memberikan sebuah kecupan di kening Dinda, wanita yang ia nikahi satu tahun yang lalu.
Dinda terdiam pasrah melihat suaminya yang terburu-buru pergi meninggalkan dirinya. Namun, sebelum taksi online yang dipesan oleh Rehan membawanya pergi, Rehan kembali lagi pada Dinda yang berdiri di teras.
"Sayang, ini ada uang 10 juta untuk pegangan kamu, ya. Kalau ada apa-apa beri kabar bi Tuti, Mas sudah menitipkan kamu dengan dia," ucap Rehan melempar senyum.
"Baik Mas, hati-hati." jawab Dinda pasrah.
Tak lama kemudian mobil berwarna biru itu berlalu pergi, Dinda yang masih merasa janggal memilih untuk segera pergi ke kantor, memang beberapa hari ini Dinda merasa aneh dengan suami tercintanya tersebut.
karena Dinda menemukan bercak bibir di kemeja putih suaminya, juga wangi parfum yang tak biasa. Membuat hati Dinda sangat mencemaskan rumah tangganya.
"Pak Tio," panggil Dinda yang sudah bersiap-siap akan pergi.
"Iya Non, saya." jawab pak Tio yang segera berlari menghampiri Dinda.
Dinda dengan cepat meminta pak Tio mengeluarkan mobilnya, dan segera memberitahukan hendak ke mana ia akan pergi.
Sampainya di kantor, tempat di mana suaminya bekerja sebagai direktur utama di sana. Dinda segera turun setelah dibukakan pintu oleh pak Tio.
"Hati-hati, Non," kata pak Tio yang melihat keadaan Dinda yang sedang hamil besar.
"Terima kasih, Pak. Tolong tunggu di sini sebentar." titah Dinda kepada sang supir yang sudah sangat lama bekerja dengan suaminya tersebut.
Dengan anggukan kepala, Dinda pun mulai berjalan menuju pintu utama. Terlihat para karyawan sedang bekerja sesuai dengan tugas mereka, Dinda pun menuju salah satu ruangan yang ia yakini bahwa ia akan mendapatkan informasi mengenai kepergian suaminya.
Ceklek
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Dinda mendapati Risa sedang bekerja di depan komputernya, Risa pun terkejut dengan kedatangan Dinda yang tiba-tiba dan tak biasa itu.
"Ibu Dinda," sapa Risa gugup.
"Selamat sore, Risa. Maafkan saya yang sudah lancang membuka pintu ruangan kamu tanpa mengetuknya terlebih dahulu," ucap Dinda yang masih berdiri di daun pintu.
"Tidak apa-apa, Bu. Bukan masalah yang besar, omong-omong ada apa Ibu datang ke sini?" tanya Risa yang merasa janggal.
"Risa, saya ingin bertanya ke mana mas Rehan hari ini, apa benar kantor memerintahkan dia pergi ke luar kota lagi?"
Spontan pertanyaan Dinda membuat Risa kebingungan, lantaran tidak ada jadwal meeting ke luar kota untuk Rehan, bahkan justru Rehan membatalkan semua meeting karena beralaskan ada keperluan keluarga.
"Maaf Bu, tidak ada meeting yang ditugaskan untuk pak Rehan hari ini dan besok, justru saya mendapatkan info bahwa pak Rehan membatalkan semua meeting nya pada klien," sahut Risa yang bertutur jujur.
"Apa! Jadi tidak ada meeting dari kantor?" tanya Dinda yang ingin memastikan kembali.
"Saya sangat yakin sekali, Bu." jawab Risa meyakinkan Dinda.
Deg
Aliran darah Dinda pun seketika memompa dengan deras, rasanya begitu tidak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh Risa sebagai sekertaris Rehan sendiri.
Perlahan Dinda bangkit dari tempat duduknya dan memutuskan untuk memeriksa ruangan Rehan.
"Risa, tolong antar saya ke ruangan mas Rehan!" titah Dinda yang masih belum puas menyelidiki sang suami.
Mendengar permintaan Dinda membuat Risa terdiam ketakutan, karena sedikitnya Risa tahu kelakuan atasannya itu saat ada di kantor.
Sering bergonta ganti pasangan dan membawanya masuk dalam ruangan saat jam istirahat, tak perduli dengan istri yang sedang hamil tua.
"Risa, kenapa kamu bengong dan tidak menjawab permintaan saya?" tanya Dinda yang menaruh curiga juga dengan Risa.
"Oh, maaf Bu. Kalau begitu ayo saya antar." jawab Risa melempar senyum, di tengah kebingungan yang dan ketakutan yang bergejolak.
Karena tak ingin terus berbohong demi sebuah kebusukan, Risa pun berjalan berdampingan dengan Dinda yang sudah berkeringat dingin karena tak sabar dengan penemuan yang ia curigai.
Tak lama kemudian, Risa pun telah sampai di depan ruangan Rehan. Dinda meminta Risa untuk membukakan pintu itu.
Sekilas tidak ada yang mencurigakan di ruangan Rehan yang terlihat sangat rapi, Dinda semakin menyelami ruangan tersebut hingga ia tertuju pada meja kerja Rehan.
Perlahan Dinda mulai mengecek satu per satu barang yang bisa memberikannya sebuah bukti dari rasa curiganya terhadap sang suami, benar saja Dinda menemukan sesuatu di bagian laci meja yang dibuka olehnya.
"Apa ini!"
Dinda terkejut melihat sebuah struk belanjaan yang bernilai puluhan juta rupiah. emas, tas, pakaian, dan juga telepon yang bermerek telah dibeli oleh Rehan.
'Untuk siapa barang-barang ini!'
Dinda bergeming seorang diri, kedua matanya mulai dibasahi oleh air mata kecewa saat melihat bukti-bukti yang terpampang jelas di hadapannya.
Risa merasa sangat bersalah karena melihat Dinda yang begitu terluka, ia mendekati Dinda yang saat itu masih memperhatikan struk-struk yang ada di tangannya.
"Bu, maafkan saya," ucap Risa yang mengakui sebelum ia mendapatkan amukan Dinda.
"Maaf! Risa, apa kamu tahu sesuatu yang terjadi di kantor ini?" tanya Dinda mengalihkan perhatiannya pada Risa.
Dinda meletakkan barang bukti di tangannya dan mulai mengintimidasi Risa, selaku sekertaris suaminya yang pasti banyak mengetahui apa yang dilakukan oleh Rehan.
"Saya tidak tahu banyak, Bu. Tapi saya tahu kalau pak Rehan sering sekali membawa wanita masuk ke ruangan ini saat jam istirahat," ucap Risa ketakutan, namun tetap ingin mengatakan keburukan atasannya itu pada Dinda.
"Jadi benar, kalau mas Rehan..."
Bak tersambar petir yang langsung merobek bagian hati dan jantung Dinda, Dinda tak melanjutkan kata-katanya, ia terduduk di kursi kerja Rehan dengan perasaan yang begitu hancur berkeping.
"Jadi selama ini mas Rehan telah mendua, dan selama ini mas Rehan sudah membohongiku habis-habisan!"
Suara serak Dinda terdengar oleh Risa yang masih setia di samping Dinda, Risa mencoba untuk ada dan tidak meninggalkan Dinda seorang diri, pandangan Dinda mengarah pada Risa yang saat itu masih berdiri di sebrang meja.
"Risa, kenapa kamu diam saja selama ini! Kenapa kamu baru menceritakan ini sekarang, ha!" hardik Dinda menyalahkan Risa.
"M-maaf Bu, saya diancam akan dipecat oleh pak Rehan kalau saya berkata jujur, selama ini saya hanya mendengar bahwa rumah tangga Ibu dan bapak sedang tidak baik-baik saja, makanya bapak bermain-main dengan wanita lain di luar rumah," ucap Risa yang mendengarkan cerita palsu Rehan.
"Apa! Jadi begitu keterangan mas Rehan kepada kamu, keterlaluan!"
Maki Dinda yang menyeka air matanya, meskipun begitu menyakitkan dirasakan oleh Dinda. Namun, Dinda berusaha untuk terlihat kuat di hadapan Risa.
"Kalau begitu kamu bisa pergi sekarang, tinggalkan saya!" titah Dinda yang ingin menyendiri.
"Tapi, bagaimana dengan Ibu?" tanya Risa khawatir.
"Sudah, jangan cemaskan saya. Saya bisa urus diri saya sendiri." jawab Dinda dengan tegas.
Karena tidak ingin Dinda semakin memuncak, Risa pun menuruti keinginan Dinda. Risa keluar dari ruangan Rehan dan membiarkan Dinda sendiri.
"Tega kamu, Mas. Aku sedang hamil besar, tapi kamu memberikan keterangan palsu kepada orang-orang terdekatmu perihal rumah tangga kita!" Maki Dinda yang menatap kesal struk yang ada di tangannya.
Risa menunggu Dinda di depan pintu ruangan Rehan, ia merasa bersalah lantaran telah berkata jujur padahal Rehan sudah mewanti-wanti dirinya agar tutup mulut, namun melihat keadaan Dinda yang sedang berbadan dua tentu saja membuat Risa tidak tega. Apa yang akan dilakukan Dinda di dalam sana setelah mengusir Risa pergi?