Brak...
Suara meja yang terhentak oleh ke dua tangan Dinda membuat Dinda semakin patah hati, hancurnya hati saat melihat sendiri kenyataan pahit membuat Dinda tak mampu mengendalikan emosi, tiba-tiba perutnya merasa sangat keram setelah memukul meja kerja Rehan beberapa kali.
"Au, aduh sakit!" keluh Dinda yang menyentuh perut di bagian bawahnya.
Karena di ruangan itu tidak ada orang yang mendengar rintihannya, membuat Dinda berusaha untuk berjalan menuju pintu keluar.
Dinda tidak melihat siapapun di gedung itu, karena sudah pukul lima sore. Para karyawan sudah pulang setengah jam yang lalu, termasuk juga Risa yang memutuskan untuk segera pulang setelah lama menunggu Dinda yang tak kunjung keluar.
"Ya ampun, sudah jam lima sore. Pasti semua karyawan sudah pulang semua!"
Dinda mulai cemas dengan keadaannya yang begitu merasa sangat sakit, keringat yang mengucur di kening membuat Dinda tetap berusaha berjalan mendekati anak tangga menuju pintu keluar.
"Aku harus kuat, anakku harus selamat!"
Dinda terus melewati satu per satu anak tangga sampai akhirnya Dinda tak mampu lagi menahan rasa sakitnya, darah segar mengalir di kaki kirinya membuat Dinda memilih untuk duduk di antara anak tangga dan mencari ponselnya.
Dinda pendarahan, dan saat ini ia sedang tidak baik-baik saja. Berusaha untuk mengatur nafas adalah satu-satunya jalan agar Dinda bisa kuat menahan rasa keram di perutnya, ia merenggangkan ke dua kakinya yang sudah lemas dan mencoba untuk menghubungi pak Tio.
"Semoga pak Tio masih ada di luar." ungkap Dinda penuh harap.
Pak Tio yang menunggu dengan gelisah itu akhirnya mendapatkan telepon dari Dinda, dengan cepat pak Tio mengangkat telepon dari majikan yang ia tunggu dengan gelisah tersebut.
[Halo non, apa non baik-baik saja?] tanya pak Tio yang langsung menanyakan keadaan Dinda.
[Pak, t-tolong saya!]
Suara rintihan tidak jelas dari Dinda membuat pak Tio semakin cemas. Namun, saat pak Tio menanyakan keadaan Dinda telepon itu sudah tak bersuara lagi.
Dinda jatuh pingsan dan ponselnya terlepas dari tangannya, dengan cepat pak Tio menyusul Dinda masuk ke dalam gedung dan mendapatinya sudah tak sadarkan diri di atas anak tangga, darah segar yang mengalir di kaki Dinda membuat langkah kaki pak Tio semakin kencang menghampiri Dinda.
"Non Dinda!"
Pak Tio dengan terburu-buru segera menghampiri dan membawa Dinda ke rumah sakit.
***
Dinda di bawa ke ruang persalinan dengan keadaan yang masih tak sadarkan diri.
Sementara Rehan justru sedang asik bersama dengan wanita yang ia jadikan sebagai dewi dalam hidupnya saat ini.
"Mas, kapan kamu mau menikahi aku?" tanya Sekar yang begitu tergila-gila dengan Rehan yang selalu memberikannya harta.
"Sayang, kenapa terburu-buru sekali, bukankah seperti ini sudah bahagia," sahut Rehan yang hanya ingin bersenang-senang dengan Sekar.
"Tapi aku juga ingin seperti istrimu, mendapatkan status di buku nikah." protes Sekar.
Sekar adalah mantan pacar Rehan yang merasa telah menyesal karena meninggalkan Rehan demi laki-laki lain. Namun, karena Rehan telah berhasil menjadi salah satu pengusaha muda yang kaya membuat Sekar memilih untuk kembali masuk dalam rumah tangga Rehan.
Triingg ... Triingg ...
Tiba-tiba suara ponsel Rehan pun berdering, membuat pembicaraan mesra mereka terhenti, Rehan bangkit untuk mengangkat telepon dari pak Tio.
[Halo pak, ada apa?]
[Maaf den, non Dinda saat ini sedang berada di rumah sakit, non Dinda pendarahan,]
[Apa! Lalu bagaimana saat ini keadaannya]
[Masih berada di ruangan persalinan, den. Apa aden bisa pulang malam ini]
Pembicaraan pak Tio dan Rehan, didengar oleh Sekar. Sekar memasang wajah kesal saat pak Tio meminta Rehan untuk pulang.
Namun, karena sangat khawatir akan keadaan Dinda membuat Rehan memilih untuk segera pulang.
[Baik pak, saya akan segera ke sana!]
Tuuut
Rehan segera mematikan sambungan teleponnya dengan pak Tio, dengan cepat Rehan memakai kembali kemeja hitamnya karena ia akan segera pulang.
"Sekar, aku harus pulang. Istriku pendarahan!" pamit Rehan kepada Sekar yang tak merespons.
"Sayang, jangan memasang wajah seperti itu. Aku jadi tidak tenang meninggalkan kamu," ucap Rehan berusaha membujuk Sekar.
"Mas, kamu baru beberapa jam ada di sini! Dan sekarang kamu harus pulang menemui istri kamu itu!" protes Sekar kesal.
"Keadaan yang memintaku seperti ini, Sekar. Dinda akan melahirkan keturunanku, aku harus pulang."
Dengan atau tanpa persetujuan Sekar, Rehan pun memutuskan untuk segera keluar dari rumah yang telah ia belikan khusus untuk Sekar, dan itupun tanpa sepengetahuan dari Dinda.
Tibanya di rumah sakit, Rehan dengan cepat menghampiri pak Tio yang masih terlihat menunggu dengan cemas.
"Pak, bagaimana keadaan Dinda?" tanya Rehan yang baru saja sampai.
"Masih di dalam, Den. Non Dinda sepertinya sedang berusaha." jawab pak Tio dengan nafas tersengal, karena mengingat pendarahan yang dialami oleh Dinda di kantor.
Terdengar suara mengejan Dinda yang berusaha melahirkan normal saat tersadar dari pingsan, bidan sekaligus dokter yang menangani Dinda, memberikan pilihan padanya untuk melahirkan normal atau caesar.
Dinda pun memilih untuk melahirkan normal karena ingin merasakan perjuangan itu dengan cara yang memang sudah di kodrat kan oleh Tuhan, sebagai seorang wanita.
"Huh, huh, huh...."
Dinda berusaha mengatur napasnya agar tidak kehabisan tenaga. Bidan, dokter dan dua suster yang ada di ruangan itu tetap siap siaga bersama Dinda yang sudah mendapatkan bantuan berupa suntikan dorong.
"Bu, jangan panik, jangan mengejan kalau bayi yang ada di dalam tidak mengajak mengejan, agar Ibu tidak kelelahan," kata salah satu suster yang ada di samping Dinda.
"Ya Bu, tetap tenang, ya." lanjut bu bidan yang merasa bahwa Dinda sangat tegang.
Dinda masih teringat betapa teganya suami yang selama ini ia cintai telah berbohong padanya, hal itulah yang membuat Dinda kalut dan tidak konsentrasi dalam memperjuangkan anak yang saat ini sudah meminta keluar tersebut.
Meskipun terhitung belum waktunya melahirkan. Namun, Dinda tetap siap jika malam ini ia akan berjuang melahirkan anaknya ketika kebohongan Rehan ia ketahui.
Ueekk ... Ueekk
Suara bayi mungil terdengar begitu nyaring, di saat detik-detik Dinda pasrah dengan keadaan karena perjuangan yang begitu panjang.
Tepat pukul 20:00 Wib. Seorang putra lahir dari rahim wanita yang telah dikhianati oleh ayahnya, Dinda meneteskan air mata saat menyaksikan bayinya digendong oleh suster yang langsung membersihkan bayi tersebut.
Di timbang setelah memakai bedong dan topi bayi, setelah itu menyerahkan pada Dinda yang masih berada di tempat dengan keadaan lemas bercampur lega.
"Selamat ya, Bu. Anaknya berjenis kelamin laki-laki, berikanlah asi eksklusif untuk bayinya." titah bu Bidan melempar senyum.
Dinda pun meraihnya dan meletakkan bayi itu di atas dadanya, saat Dinda merasakan lidah pertama bayi mungil yang begitu kasar, membuat Dinda meringis kesakitan tatkala ia mulai memompa ASI-nya.
Saat itu juga bu Bidan tersebut menjahit jalan lahir Dinda dengan sepuluh jahitan, karena bayi yang dilahirkan Dinda cukup besar, rasa sakit yang luar biasa. Namun, tak dirasakan oleh Dinda karena perjuangannya dibayar tunai oleh kehadiran bayi mungil yang saat ini telah berada di dekapannya.
"Sayang, kamu datang sebagai penyembuh luka. Mama akan menyayangi kamu dengan tulus, Nak." ungkap Dinda membelai lembut tubuh bayi mungil itu.
Rehan dan pak Tio saling melempar senyum bahagia saat mendengar suara selamat yang diucapkan oleh bidan, dokter, dan suster yang ada di dalam, begitu juga dengan suara tangisan agi mungil yang saat itu membuat Rehan senyum-senyum bahagia, ingin rasanya Rehan ikut masuk untuk memberikan selamat dan melihat keadaan anak dan istrinya itu.
"Pak, akhirnya saya memiliki keturunan," ucap Rehan dengan riang gembira.
"Iya Den, selamat ya, Den." jawab pak Tio tak kalah bahagia.
Tak lama kemudian, dua suster dan bu bidan juga dokter yang menemani proses Dinda itu keluar dari ruangan setelah semuanya sudah selesai, Rehan dan pak Tio berhadapan dengan mereka yang telah berhasil melahirkan makhluk baru yang telah dikandung oleh Dinda. Rehan bergegas menghampiri dengan bahagia, dan ia sama sekali tidak mengingat pengkhianatan yang telah ia lakukan pada Dinda. Apakah rasa bahagia yang dirasakan oleh Rehan akan dibalas oleh Dinda?