Chereads / Wanita Lain Di Hati Suamiku / Chapter 8 - Meminta uang bulanan

Chapter 8 - Meminta uang bulanan

Dinda berusaha semaksimal mungkin untuk mengatur pola makan, istirahat, dan selalu olahraga di rumah. Semangat yang begitu membara di mana Dinda tidak akan mau menjadi seorang wanita yang diinginkan oleh Rehan yang hanya menjadikannya sebagai ibu dari banyak anak yang akan ia lahir kan.

Beberapa bulan berusaha untuk berolahraga selalu, kini Dinda dapat mendapatkan perubahan dari berat badannya yang awalnya hampir mencapai 80kg . Kini sudah berkurang menjadi 75kg berkat keteguhannya dalam berolahraga.

Ceklek

Rehan membuka pintu kamar saat melihat Dinda sedang fokus dengan push up, yang sebenarnya masih sangat berat bagi Dinda dengan berat badan yang ia miliki, namun Dinda tetap melakukan itu untuk semata-mata mendapatkan hasil yang baik.

"Dinda sayang, kamu sedang apa?" tanya Rehan menyapa Dinda. Seolah-olah Rehan sama sekali tidak merasa bahwa telah mengkhianati dirinya.

"Olahraga, Mas." jawab Dinda singkat tanpa menatap ke arah Rehan.

Rehan melempar senyum, duduk di ujung bibir ranjang sembari menatap seperti sedang mengejek.

"Memangnya kamu akan kurus, dan lemak dalam perutmu itu akan berkurang jika kamu olahraga seperti itu?" tanya Rehan menarik senyum ketidakyakinan.

Dinda tidak menjawab, ia justru memikirkan bagaimana rencana selanjutnya untuk bisa segera mengeruk harta Rehan yang banyak.

Dinda pun berhenti sejenak dari kegiatannya, karena hari ini Rehan pulang kerja lebih awal, membuat Rehan ada sedikit waktu di rumah untuk istirahat.

Pekerjaan Rehan bukanlah berat, karena ia memiliki harta peninggalan dari orang tuanya di bidang elektronik yang besar dan berbagai cabang, membuat Rehan sesuka hati berangkat kapan saja karena ia sebagai bos besar. Terlebih lagi harta peninggalan kedua orang tuanya itu yang sangat banyak, sementara ke dua kakaknya yang keduanya telah dinyatakan mandul memiliki harta masing-masing yang sudah dibagikan sebelumnya, sehingga harta milik Rehan ia gunakan untuk bisnis foya-foya.

"Mas, aku minta uang bulanan dong," kata Dinda yang sudah duduk di samping Rehan.

"Ternyata kamu butuh uang juga," sahut Rehan tersenyum tipis. Setelah Dinda mengamuk besar-besaran tempo hari membuat Rehan berpikir bahwa Dinda benar-benar akan meninggalkannya.

"Mas, aku butuh uang bulanan untuk bayar bi Iyas dan pak Tio, buat bayar tagihan listrik dan semua yang ada di rumah ini, aku tidak bisa kalau menuruti egoku sendiri. O ya Mas, sekalian aku mau minta tambahan untuk Arka, sekarang aku sudah memiliki Arka yang harus aku urus." jelas Dinda mencacat detail semuanya.

Meksipun awalnya Rehan merasa aneh dengan Dinda yang menjabarkan seluruh pengeluaran yang selama ini tidak pernah Rehan tahu membuat Rehan penasaran berapa jumlah uang yang Dinda butuhkan.

"Memangnya kamu butuh uang bulanan berapa, Dinda?" tanya Rehan meletakkan kepalanya di atas bantal.

"Kalau bulan-bulan lalu kamu memberikan aku tiga puluh juta, sekarang aku minta tambah menjadi lima puluh juta sebulan ya, Mas. Soalnya aku kan juga ketambahan Arka," ucap Dinda merayu Rehan.

"Banyak sekali, itu!" protes Rehan bangkit dari tidurnya.

Mendengar Rehan yang memprotes permintaannya membuat Dinda kesal. Lantaran Dinda sendiri yang melihat Rehan membelanjakan wanita lain yang menghabiskan ratusan juta, tetapi Dinda tidak memprotes apapun. Ia tetap berusaha bermain cantik untuk bisa mengait hati sang suami.

"Permintaanku ini untuk aku bagi-bagikan pada bi Iyas, pak Tio, bahan dapur, dan semua keperluan Arka, Mas. Dan itu tidak sebanding dengan jumlah rupiah yang kamu keluarkan untuk wanita kotor yang senilai ratusan juta itu, Mas!" sentak Dinda dengan nada tinggi.

"Apa maksud kamu, Dinda?"

Rehan menatap tajam ke arah Dinda yang memang sudah mengetahui semuanya, Dinda pun ikut bangkit menghadap Rehan yang sudah terpancing.

"Kamu membelikan gaun, tas mewah, juga ponsel untuk wanita kotor itu kan, Mas. Aku tahu Mas kalau kamu melakukannya tanpa kamu beritahukan padaku," kata Dinda membongkar kedok Rehan.

Tatapan mata Rehan masih tajam mengarah kepada Dinda. Tak sekalipun Rehan menyadari kesalahannya yang telah di ketahui oleh Dinda sementara Dinda yang mulai tersulut api emosi perlahan mulai menurunkan egonya. Dinda tak mau jika pertengkarannya kali ini akan membuat Rehan mengurungkan niatnya untuk memberikannya jatah bulanan yang sengaja di lebihkannya.

"Aku tidak mempermasalahkan berapa banyak uang yang sudah kamu keluarkan untuk wanita itu, Mas. Tapi aku meminta hakku yang memang harus kamu penuhi," timpal Dinda lagi.

Kali ini Dinda berusaha setenang mungkin menghadapi Rehan yang masih mengerenyitkan dahinya seolah tak percaya bahwa wanita polos di depan matanya bisa menyebutkan nominal uang yang lumayan besar.

Jumlah uang senilai lima puluh juta harus Rehan keluarkan setiap bulan sebagai tanggung jawabnya pada Dinda dan anaknya. Namun, itu bukanlah masalah besar bagi Rehan.

"Oke, aku akan kasih kamu lima puluh juta perbulan. Tapi ingat, kamu tidak boleh ikut campur urusanku apalagi sampai mengungkit masalah seperti ini lagi!" Rehan menekankan pada Dinda.

Dinda tak menjawab. Bola matanya beralih pada jendela kamarnya, mencoba memalingkan mata dan menghindari tatapan matanya pada Rehan.

Rehan kembali merebahkan kepalanya pada bantal yang ada di belakangnya dan mengangkat sebelah kakinya yang masih menggunakan sepatu berwarna hitam lengkap dengan kaus kaki berwarna senada.

"Buka sepatuku!" Perintah Rehan pada Dinda.

Dinda tercengang mendengar perintah Rehan padanya yang memperlakukannya bagai budak dan bukan lagi istrinya.

Dinda merasakan hatinya seperti teriris-iris mendapatkan perlakuan buruk dari orang yang dicintainya, sekaligus pria yang telah memberikannya keturunan. Ingin sekali Dinda meneteskan air matanya. Namun, Dinda tak mungkin melakukan itu di depan Rehan. Dinda harus tetap menjaga imagenya sebagai wanita tangguh di hadapan Rehan.

Dinda pun melakukan apa yang diperintahkan oleh Rehan. Tangannya perlahan meraih kaki Rehan dan melepaskan sepatu yang di kenakannya. Harga dirinya merasa sangat di jatuhkan oleh Rehan. Namun, Dinda yakin bahwa dirinya bisa membalas semua perlakuan jahat Rehan pada dirinya saat semua harta milik Rehan telah jatuh ke tangannya.

Hanya Arka yang menjadi penguat Dinda di saat Rehan menyakitinya seperti ini. Rasa cinta yang Dinda rasakan perlahan menghilang dari dirinya.

Derttt....

Derttt....

Getaran ponsel Rehan begitu kerasa terdengar dari saku celananya. Dinda sudah bisa menembak siapa yang menelepon Rehan saat itu.

Dengan wajah sumringah, Rehan menjawab teleponnya yang bergetar sejak tadi. Tanpa canggung, Rehan memanggil sayang pada wanita selingkuhannya.

[Halo sayang], kata Rehan menjawab teleponnya.

[Halo juga sayang... Sayang, aku mau kita ketemu hari ini. Aku kangen!]

Sekar merengek di dalam teleponnya seperti anak bayi. Dinda yang mendengar dengan samar-samar suara Sekar merasa mual dan ingin sekali menjambak rambut pelakor yang telah merusak rumah tangga nya tersebut.

[Oke, sayang. Kalau gitu kita ketemu di Cafetaria, yah] kata Rehan lagi.

Dinda merasa sangat tak tahan lagi melihat kemesraan mereka di dalam telpon bahkan Rehan yang seperti tak berdaya menolak keinginan Sekar padahal dirinya baru saja sampai di rumah.

Dinda menelan salivanya mendengar percakapan Rehan dan Sekar sampai akhirnya Dinda merasa tak tahan lagi dan merebut ponsel Rehan yang sedang menempel di telinga kanannya.

[Hei, dasar wanita jalang... Kamu ini ngga tau malu yah. Kamu tahu kan kalau Rehan itu masih suamiku tapi kamu masih aja mengganggunya!] Dinda mengumpat kasar Sekar.

[Eh Din, harusnya lo tuh sadar kalo gue sama Rehan itu sama-sama cinta dan cinta kita tuh ngga akan terpisahkan, jadi harusnya lo yang sadar diri dan menyingkir dari kehidupannya mas Rehan] kata Sekar dengan santainya. Nada suaranya seperti orang yang tak merasa bersalah atas apa yang di lakukan nya.

Rehan yang merasa terkejut karena ponselnya di ambil dengan tiba-tiba oleh Dinda itu memasang wajah kesal, Rehan berusaha merebutnya kembali dari Dinda meski tidak begitu mudah.

"Kembalikan ponselku, Din!" pinta Rehan dengan nada tinggi. Namun, Dinda masih enggan memberikan ponsel Rehan yang dipegangnya.

[Apa? Kamu minta aku menyingkir? Denger ya, Sekar. Sekarang aku tidak hanya sendiri, tapi aku sudah punya Arka, buah cintaku dengan Mas Rehan,] celetuk Dinda dengan spontan.

[Buah cinta? Memangnya mas Rehan mencintai kamu?] tanya Sekar balik.

Dinda semakin di buat emosi oleh Sekar. Belum sempat bibirnya terbuka untuk membalas perkataan Dinda, tangan Rehan sudah lebih dulu berhasil merebut ponsel miliknya di tangan Dinda.

"Kamu ngga sopan banget main rebut ponsel orang!" Rehan mendengus kasar sementara kakinya membawanya pergi dari ruangan itu dan meninggalkan Dinda sendirian.

Dari raut wajah Rehan, Dinda tahu jika Rehan sangat marah padanya dan Dinda pun menyadari jika aksinya tadi sungguh tidak sopan karena merebut ponsel Rehan begitu saja. Namun, Dinda tak punya pilihan lain. Hatinya sudah merasa terlalu geram pada sikap Sekar.

Dinda menatap punggung suaminya yang perlahan pergi meninggalkannya, sementara air mata Dinda tak mampu di tahan lagi. Begitu sakit hatinya melihat suaminya lebih membela wanita selingkuhannya dibandingkan istrinya sendiri.

Dinda memegang ujung bibir ranjang kasurnya dan terduduk lulai. Tubuhnya terasa begitu lemas dan air matanya masih mengalir di pipi mulusnya.

Tanpa menunggu lama, Rehan langsung menuju ke Cafetaria dan memakirkan mobil mewahnya yang berwarna hitam di parkiran Cafe yang diberi aneka Lampu warna-warni.

Sekar yang menggunakan baju berwarna merah dengan potongan baju seatas lutut yang press body membuat lekuk tubuhnya semakin terekspos dengan bebasnya hingga Rehan dengan bebas memandangi seluruh tubuh Sekar yang dinilai Rehan sangat seksi.

Sekar menyambut Rehan dengan senyuman manisnya. Tangannya tanpa ragu merangkul tubuh Rehan dan memeluknya.

"Kamu lama banget sih, sayang," kata Sekar. Bibir mungilnya yang berisi dan menggunakan lipstik merah yang senada dengan baju membuat penampilan Sekar tampak segar di mata Rehan saat itu.

"Iya maaf sayang, tadi pas mau ke sini jalan agak macet," jawab Rehan sembari membelai lembut rambut Sekar yang panjang. "Ya udah ayo masuk," tambah Rehan dengan menarik lembut tangan Sekar dan Sekar pun menurutinya. Tangannya menggandeng mesra tangan Rehan.

Di meja makan berbentuk bulat, Sekar dan Rehan memakan makanan yang telah mereka pesan. Bukan makanan murah yang mereka pesan. Namun, makanan dengan harga fantastis per porsinya.

"Sayang, aku ngga suka deh sama istri kamu itu. Udah gendut, jelek, ngga tau diri lagi. Bisa-bisanya dia ngga sopan gitu sama kamu dan main merebut ponsel kamu tadi," kata Sekar. "Kamu harus kasih dia pelajaran sayang biar dia kapok," timpal Sekar lagi

"Caranya?" Rehan menaikan sebelah alisnya.

"Ceraikan dia!" Tanpa berbasa-basi Sekar melontarkan kata yang begitu tak sepantasnya keluar dari mulutnya.

"Aku juga sebenarnya udah bosen banget sama dia. Hasrat ku sebagai laki-laki ngga pernah muncul tiap kali aku berdua sama dia, tapi aku ngga bisa ceraikan dia gitu aja karena sekarang kan ada Arka." Rehan terlihat sedikit bimbang.

Sekar mendengus kesal, ia letakkan pisau dan garpu yang ia gunakan untuk menikmati makanannya, melihat tanggapan Sekar yang memasang wajah muram membuat Rahan tersadar dan meneguk jus yang ada di meja itu.