Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring kaca terdengar jelas oleh gendang telinga laki-laki itu. Dia sudah tahu apa yang sedang keluarganya lakukan setiap pagi hari, yaitu sarapan bersama. Tak lupa suara canda tawa serta pujian yang selalu orang tuanya lontarkan.
Dia masih termangu di balik pintu kamar bernuansa putih. Tangannya memegang gagang pintu dengan ragu, masih enggan keluar dari kamar yang menurutnya adalah tempat terbaik.
Tapi mau bagaimana lagi, Atlanta harus pergi ke sekolah, menjalani hari-hari menyedihkan seperti biasa. Dia menghirup udara, mendorong knop pintu kamar, kaki jenjang Atlanta melangkah menuruni anak tangga.
Sebuah pemandangan biasa yang selalu nampak di depan matanya. Kehangatan keluarga yang selalu dia impikan sejak lama. Di sana, dia melihat anggota keluarganya yang sangat bahagia, mengawali hari dengan nasi goreng buatan Ibu, kopi panas dan susu hangat seolah menambah kelengkapan keluarga itu.
Ada rasa sesak yang tiba-tiba menjalar di area ulu hatinya, seperti dirobek, dan dibakar. Tangannya memegang pagar besi itu kuat-kuat. Hatinya memang sakit, tapi bibirnya selalu tersenyum dalam keadaan apapun.
Dia tetap menuruni anak tangga sampai bagian akhir, senyum manis yang tidak pernah luntur membawanya mendekat ke area meja makan yang ditempati Ayah, Ibu serta adik tirinya.
"Kamu ngapain!" sahut si Ibu setelah laki-laki itu duduk di depan mereka. Ketiganya menghentikan kegiatan, dan memilih menatap penuh benci pada Atlanta.
Alih-alih menjawab, anak itu mengeluarkan memo kecil dari dalam saku celananya, dan menuliskan sesuatu di sana.
"Lama," ucap Hana sembari mendelik tidak suka.
Atlanta memperlihatkan apa yang dia tulis di atas kertas putih. Senyum itu, tidak pernah sedetikpun luntur dari bibirnya, walaupun dia tahu, keluarganya akan selalu bersikap acuh tak acuh.
"Aku mau sarapan sama Ayah, Ibu, dan Jay."
Hana berdecih, dia melempar sendok sampai membuat dentingan yang cukup keras. Atlanta tersentak, dan menurunkan sudut bibir yang tadinya melengkung ke atas.
"MIMPI KAMU!" sahutnya lantang, membuat orang-orang di sana enggan angkat bicara.
"Kamu ga pantes di sini. Pergi sana! Makan di dapur. Tempat kamu itu memang di sana!" Jari telunjuk Hana menunjuk arah dapur mengisyaratkan Atlanta untuk segera pergi.
Laki-laki itu tertunduk, tangannya mengepal, kedua matanya terasa panas saat itu juga.
"Kamu tuli, huh!" Hana beranjak dari duduk, menghampiri Atlanta yang masih terdiam. Terlihat jelas perempuan itu sangat marah.
"Sana pergi! Dasar anak haram! Gak tau diri! Bisu!" cercanya. Hana menarik lengan Atlanta agar segera menjauh dari jangkauan matanya.
Panah besi panas baru saja tertancap pas mengenai hati Atlanta. Cacian, hinaan, bagaikan makanan sehari-hari baginya. Laki-laki itu pasrah ketika Hana mendorongnya kasar agar menjauh. Dengan berat hati, Atlanta kembali melangkahkan kaki menuju dapur, yang katanya adalah tempat yang cocok untuk Atlanta. Ya, memang benar, anak tidak sempurna seperti dirinya memang pantas dihina dan disisihkan.
"Eh, Ata udah mau berangkat?" ucap Bi Mirna, asisten rumah tangga di rumah keluarganya.
Atlanta mengangguk, dia tertunduk lesu, menyenderkan punggung ringkihnya di tembok yang menghubungkan dapur dan ruang makan. Kedua bola mata bening itu tak pernah lepas memandang anggota keluarganya sendiri.
Bi Mirna menepuk bahu Atlanta. "Kenapa sedih? Ata udah sarapan belum?"
Atlanta menggeleng. Jujur saja, dia ingin sekali mencicipi nasi goreng buatan Ibu walau hanya satu suap, meneguk susu hangat buatan ibu walau hanya satu tetes. Tidak apa, baginya itu semua dirasa sangat cukup.
"Ata mau makan nasi goreng? Biar Bibi buatin ya?" Bi Mirna menawarkan.
Wanita setengah abad itu seolah mengerti perasaan Atlanta.
Atlanta mulai menggerakkan tangannya.
"Ata mau nasi goreng sosis buatan Ibu, Bi."
Bi Mirna tersenyum, lebih tepatnya merasa miris. Hidup laki-laki itu memang tidak pernah baik-baik saja. Siapa yang mau dikucilkan keluarga kandung sendiri? Tidak ada. Tapi tuhan memberikan cobaan yang sangat berat bagi Atlanta sejak dia lahir ke dunia. Bi Mirna lah yang merawat Atlanta sejak bayi merah, memberi kasih sayang yang mungkin tidak bisa Atlanta dapatkan dari kedua orang tuanya.
"Biar Bibi yang buatin, ya? Nasi goreng Bibi kan gak kalah enak sama buatan Ibu." Bi Mirna tersenyum lebar, berusaha mengembalikan senyum manis Atlanta.
Laki-laki itu menghela napas, dan menggerakkan tangannya lagi.
"Kenapa Bibi peduli sama Ata? Padahal Ayah, Ibu sama Jay gak pernah peduli sama Ata. Apa karena Ata gak bisa bicara, jadi mereka gak sayang sama Ata?"
Sekali lagi, Bi Mirna merasa tertohok dengan ucapan Atlanta, dia menggeleng cepat, menolak jawaban yang baru saja dipahaminya.
"Engga, mereka sayang kok sama Ata. Buktinya, Ata masih ada di rumah ini, tinggal satu atap sama mereka. Semuanya sayang Ata."
"Tapi Ata kaya orang asing di sini. Gak ada yang mau anggap Ata. Ata gak pernah makan bareng di sana, Ata gak pernah nonton TV sama Ayah, Ata gak pernah main sama Jay. Ata selalu dimarahi, Ata selalu dihina, Ata ga pernah disayang Ayah, Ibu dan Jay."
Bulir bening itu meleleh dari pelupuk tanpa diberi aba-aba. Atlanta segera menghapus air matanya kasar menggunakan punggung tangan. Ini masih pagi, tidak baik mengawali hari dengan kesedihan.
"Ata gak boleh bilang gitu. Nanti Bunda sedih loh di surga. Jangan merasa gak ada orang yang gak sayang sama Ata. Bibi sayang kok sama Ata, Bunda juga sayang sama Ata."
Bi Mirna merengkuh kepala Atlanta agar bersandar di bahunya, mengusap surai hitam milik anak majikannya yang sudah dia anggap seperti anak sendiri. Setidaknya, jika anak itu merasa tidak memiliki bahu untuk bersandar, bi Mirna dengan senang hati memberikan bahunya untuk anak itu, berbagi rasa sakit yang mungkin dirasakan setiap hari.
Atlanta mengangkat kepalanya, lalu tersenyum pada Bi Mirna.
"Terima kasih, Bi. Ata gak tau harus gimana kalau Bibi gak ada di sini."
Bi Mirna mengusap rambut Atlanta penuh sayang. "Kamu anak baik. Jangan sedih. Kamu harus yakin, suatu hari, Ayah, Ibu, dan Jay pasti berubah. Yang penting Ata jangan pernah patah semangat," ucapnya.
Atlanta mengangguk mantap, tersenyum memamerkan gigi putih kelincinya lagi.
"Ah, Bibi hampir lupa." Bi Mirna menjentikkan jari, seperi teringat sesuatu, lalu mengambil lunch box dari dalam kulkas.
"Ini, tadi Bibi bikin sandwich, buat Ata sama Jay. Tapi berhubung Jay sudah dibuatkan nasi goreng, jadi Ata ambil aja semuanya, ya. Buat istirahat di sekolah juga." Bi Mirna menyodorkan dua lunch box berisi roti isi yang dibuatnya pagi-pagi.
Atlanta menggeleng. "Engga bi, Ata ambil satu aja. Yang satunya buat Jay. Jay suka jajan sembarangan kalau gak bawa bekal dari rumah."
"Sudah, buat kamu aja. Sini, biar Bibi masukkan ke dalam tas." Wanita itu mengambil alih tas ransel yang digendong Atlanta, dan menyimpan dua lunch box di dalamnya. Dia melirik jam dinding yang terpasang di dapur, lalu tersenyum.
"Sudah siang. Ata mau berangkat sekarang?" tanya Bi Mirna, yang diberi anggukan oleh Atlanta.
Bi Mirna menggiring Atlanta menuju pintu belakang dapur, yang menghubungkannya dengan gerasi rumah itu.
Atlanta mengambil sepeda miliknya yang tersandar di sudut gerasi. Sepeda yang selalu menemaninya ke mana pun dia pergi, meskipun sepeda tua, tapi menurut Atlanta, sepeda itu amat sangat berharga, dia mendapatkannya dari hasil keringat sendiri sewaktu masih duduk di kelas enam SD.
"Hati-hati, sayang. Kalo ada apa-apa jangan lupa telpon Ibu, ya."
Suara itu mengalihkan atensi Atlanta, memaksanya untuk segera menoleh. Kaki yang semula hendak mengayuh sepeda, terurungkan begitu saja. Tangan laki-laki itu menggenggam kuat stang, tak lupa senyum tipis dari bibirnya tercetak jelas. Bukan senyum yang menunjukkan kebahagiaan, melainkan senyum kesedihan yang dia rasa.
Perempuan yang selalu dia hormati, tengah bersama anak kesayangan mereka. Memberi kecupan hangat layaknya seorang Ibu ketika mengantar sang anak pergi menuntut ilmu. Serta pelukan semangat yang diberikan pada Jay, belum pernah dia rasakan seumur hidup. Menyedihkan sekali hidupnya.
Lihatlah sekarang, ketika Jay diberi motor sport keluaran terbaru oleh Ayah untuk pergi ke sekolah, tapi disisi lain, Atlanta harus susah payah mengayuh sepeda menuju sekolah yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat. Dia harus mengeluarkan sepenggal tenaganya untuk sampai di tempat tujuan tanpa bantuan mesin apapun.
"Sudah, cepat berangkat. Nanti keburu kesiangan," ujar Bi Mirna membuyarkan lamunan Atlanta.
Laki-laki itu menghela napas, menyesuaikan detak jantungnya yang berpacu seiring dengan adanya perasaan iri pada Jay. Bolehkah Atlanta merasa iri dengan adik tirinya itu? Karena bagaimanapun, Atlanta juga memiliki darah dari Ayahnya, dia memiliki hak untuk merasakan sebuah kehangatan yang selalu Jay dapatkan.