"Pelajaran hari ini, saya cukupkan sampai di sini. Kita bertemu lagi minggu depan. Selamat siang," ucap guru Matematika pamit undur diri setelah mengajar kelas selama dua jam, memberikan materi yang cukup membuat isi kepala para siswa bekerja lebih cepat mencerna paparan yang diberikan.
Satu per satu murid keluar kelas, menuju kantin. Tidak sampai hitungan menit kelas mulai sepi, kini tinggal Atlanta dan Elisa di dalam. Elisa yang membereskan semua alat tulis ke dalam tas, dan Atlanta yang sedang diam-diam memikirkan menu makan siang kali ini.
Membayangkan harga setiap jajanan kantin, dari yang paling murah sampai yang paling mahal, menimbangnya dengan isi dompet yang bisa dibilang tidak begitu tebal. Atlanta sendiri tidak tahu menu apa yang akan gadis itu pilih nanti.
Elisa menolehkan pandangannya ke arah Atlanta, matanya menyipit ketika menelisik lebih tajam kegiatan laki-laki yang saat itu duduk membelakanginya. Dia melihat Atlanta sedang menghitung lembaran uang dari dalam dompetnya dengan sangat hati-hati.
Gadis itu tersenyum tipis, ada sedikit rasa penyesalan dalam dirinya, apa laki-laki itu benar menganggap balasan surat tadi adalah sebuah kalimat serius. Tanpa ingin mengganggu Atlanta, Elisa terlebih dahulu beranjak dari bangku menuju ambang pintu.
"Atlanta, ayo! Nanti jajanannya keburu abis," ucap Elisa. Laki-laki yang masih ada di dalam kelas segera menoleh, menganggukkan kepala lalu mengekori Elisa dari belakang.
Elisa berjalan lebih dulu menyusuri koridor yang lumayan ramai di jam istirahat, sedangkan Atlanta berjarak lumayan jauh tepat di belakangnya. Elisa berkali-kali menolehkan kepala ke belakang hanya untuk melihat Atlanta yang berjalan ragu, masih dengan pikirannya.
Setengah jalan menuju kantin, Elisa menoleh cepat ke belakang, memutar badannya dan menghempaskan nafas kasar. Dia jengah dengan sikap Atlanta yang terlalu kaku, gadis itu berkacak pinggang, membuat Atlanta tercekat, dan menghentikan langkah kaki.
"Kamu kenapa sih. Jauh-jauhan terus, ini kapan nyampenya kalo kamu jalan kaya siput," ucap Elisa terdengar seperti menggerutu. Atlanta terdiam mencerna ucapan gadis di depannya.
"Kamu niat ga sih pergi ke kantin? Ah, atau kamu gak mau pergi sama aku, iya?" sahutnya lagi. Kali ini Atlanta menggeleng cepat, berusaha mengatakan 'tidak pada Elisa yang saat itu melipat tangan seperti ingin menginterogasinya.
Sebelah tangan Atlanta merogoh sesuatu dari saku celana, berusaha membuat gadis itu tidak salah paham lagi. Namun, dengan sekali gerakan Elisa mencekal lengan Atlanta yang hendak mengambil sebuah memo. Atlanta tersadar, dan menoleh pada gadis yang saat itu beralih merangkul lengannya.
"Ayo, cepet." Elisa menyeret laki-laki itu tanpa aba-aba, tangan mungilnya masih memeluk erat lengan Atlanta seolah tidak ingin laki-laki itu diambil orang.
Atlanta terkejut, tapi tidak berniat melepaskan genggaman ditangannya yang terlalu mendadak. Dia kembali menyesuaikan langkah kaki yang dibawa oleh Elisa ke kantin. Atlanta tidak tahu perasaan apa yang saat itu dia rasakan, sebuah perasaan yang sulit diartikan olehnya. Berkontak fisik belum pernah dia rasakan, apalagi dengan seorang gadis seperti Elisa. Seperti tersengat listrik yang langsung menjalar ke area dada, dan berubah menjadi degupan kencang.
"Kita mau makan apa?" ucap Elisa ketika mereka sampai di area kantin yang tidak terlalu ramai. Dia mengedarkan pandangan ke setiap lapak penjual makanan, sesekali gadis itu berdehem.
Sorot mata Atlanta teralihkan menatap tangan putih bersih nan mungil milik Elisa yang masih setia bergelayut dilengannya, hal itu berhasil membuat sudut bibirnya terangkat, sebuah senyuman yang begitu tulus terpatri di sana.
"Kamu mau mie ayam ga?" tanyanya. Belum sempat mendapat jawaban dari Atlanta, Elisa kembali membawa laki-laki itu untuk pergi menuju kedai mie ayam yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Pak! Mie ayam spesial dua, sama jus mangga dua juga," ucap Elisa pada penjual mie ayam. Pria berumur 50 tahunan mengangguk, mulai menyiapkan pesanan gadis itu.
Elisa mengajak Atlanta untuk duduk di bangku panjang di depan kedai. Dia melipat tangan di atas meja dengan bagian tangan kanan yang dijadikan tumpuan dagu. Elisa menatap laki-laki di sebelahnya yang kini terdiam memainkan jari-jari.
"Kamu gugup?" ucapnya. Orang yang diajak bicara hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya yang masih setia tertuju pada tangannya sendiri.
Gadis itu sedikit terkekeh, kemudian menarik gemas pipi Atlanta. "Kamu lucu," katanya.
Atlanta membulatkan mata, kini kedua bola mata beningnya menatap Elisa yang tersenyum lebar, dan laki-laki itu membalas senyuman Elisa tidak kalah manis.
"Ini pesanannya, Neng." Bapak penjual menyajikan dua porsi mie ayam dan jus mangga di atas meja, membuat atensi keduanya teralihkan.
Elisa merogoh uang di saku seragam, memberikannya pada Bapak penjual. "Ini uangnya ya, Pak."
Pria dewasa itu hanya menatap uluran uang dari tangan Elisa. "Wah, bapak gak punya uang kecil buat kembaliannya, Neng. Besok aja bayarnya gapapa," katanya. Elisa tersenyum menanggapi.
"Gapapa ambil aja kembaliannya, Pak." ucap Elisa kembali mengulurkan hak si Bapak yang kini disambut baik.
"Makasih, Neng. Silahkan dimakan, kalau ada yang kurang bilang sama bapak, ya," ujarnya. Elisa dan Atlanta mengangguk
Gadis itu menatap minat semangkuk mie ayam lengkap dengan bakso, dia mengambil satu sendok sambal, mencampurnya dengan menu makan siangnya.
Kegiatannya terhenti ketika ada tangan yang mengulurkan sebuah memo, tidak lain dan tidak bukan adalah Atlanta. Elisa membaca tulisan yang terpampang di sana.
"Harusnya tadi aku yang bayar."
Elisa menghela nafas, beralih menoleh pada Atlanta. "Tadi itu aku cuma bercanda. Anggap aja ini sebagai rasa terima kasih aku karena kamu mau jadi temen aku, oke. Kalo kamu nolak atau gak makan mie ayamnya aku gak akan mau jadi temen kamu lagi," ucapnya seperti ancaman.
Atlanta melotot, cepat-cepat dia memakan mie ayam dengan sangat lahap. Elisa terkekeh dengan tingkah Atlanta, apapun yang laki-laki itu lakukan, sangat menggemaskan baginya. Bagaimana mungkin dia akan menjauhi Atlanta jika laki-laki itu berhasil membuat dirinya nyaman dan banyak tertawa.
"Wih, enak banget kayanya tuh." suara berat mengalihkan atensi Elisa dan Atlanta. Seorang laki-laki berpenampilan urakan duduk di atas meja yang mereka tempati, bersama kedua temannya yang tidak berbeda jauh dengan laki-laki itu. Seragam putih yang dikeluarkan dengan bagian lengan yang dililit, dan tidak memakai dasi sudah bisa menjelaskan bahwa mereka adalah preman sekolah.
"Buat apa gunanya kursi kalo duduk aja di atas meja," ucap Elisa kembali memakan mie ayam yang sempat diabaikan, hanya karena ingin melihat siapa oknum tidak berakhlak itu.
Mereka tertawa nyaring. "Lo Elisa itu 'kan?" ujarnya kemudian, tapi Elisa tidak menanggapi. Terlalu malas dengan orang-orang yang bertindak sesuka hati, seolah mereka menguasai segalanya.
"Kok gak jawab sih? Lo bisu juga kaya si Atlanta, huh?" ucapnya yang langsung mengundang tatapan tajam dari Elisa. Gadis itu bersmirk, kemudian berdecih.
"Ya gapapa kali. Daripada lo, punya mulut tapi banyak bacot, gak guna. Kenapa gak lo aja yang bisu sih." sahut gadis itu. Elisa mengangkat alis, menarik sebelah sudut bibir seperti menantang orang di depannya.
Suara tepuk tangan dari laki-laki itu terdengar di gendang telinga Elisa, hal itu membuat atensi para penghuni kantin menoleh ke arah bangku yang ditempati Elisa dan Atlanta.
"Ternyata lo pinter ngomong ya," katanya.
Detik selanjutnya, laki-laki itu mengambil botol mineral yang digenggam salah satu temannya, lalu membuka tutup botol itu, dan menumpahkannya tepat di atas kepala Atlanta.
Byur
Elisa tercekat, membelalakkan mata tidak percaya, dia menyaksikan sendiri bagaimana Atlanta sangat terkejut dengan tindakan laki-laki itu, melihat jelas bagaimana keadaan kepala sampai baju Atlanta yang semula kering kini menjadi basah kuyup.
"Biar segeran dikit, cuaca lagi panas. Iya 'kan bisu," ucapnya bersmirk, terlihat jelas laki-laki itu sangat puas dengan perbuatannya. Kedua temannya hanya tertawa dan bertepuk tangan, seolah keadaan Atlanta adalah bahan tontonan yang sangat menarik.
Elisa mengepalkan tangan, rahangnya mengatup, dia sangat geram. Dia beranjak dari duduk, menyambar dua gelas jus mangga yang belum sempat dia dan Atlanta cicipi, kemudian menumpahkannya di atas kepala laki-laki itu, sama seperti apa yang laki-laki itu lakukan pada Atlanta.
Byur
Kini Elisa menyunggingkan senyum. "Biar otaknya seger. Apalagi pake jus mangga. Mantap, 'kan?"