Di depan kaca berukuran besar, Jay masih setia menyisir rambut yang terlihat sedikit basah berulang kali, takut tatanan rambut itu berubah jika dia tidak menyisirnya lebih lama, meski sebenarnya dia memiliki rambut yang mudah diurus. Tidak lupa dia bersenandung kecil, tersenyum ke arah kaca memamerkan lubang di kedua pipinya yang entah kepada siapa.
Jay melirik jam dinding yang terpasang di atas pintu kamar. Waktu masih sangat pagi untuk dia pergi ke sekolah, biasanya dia sangat malas beranjak dari tempat tidur di jam-jam seperti ini. Dia hanya akan bangun ketika ibunya membangunkannya dengan kata-kata mutiara yang sering meluncur dari mulut ibu-ibu tanpa rem. Tapi kali ini, Jay merasa diberi asupan tenaga dan semangat yang berlebih. Dia segera memakai jaket hoodie abu-abunya, menyampirkan tas ransel lalu keluar dari kamar menuruni anak tangga menuju dapur.
"Bi, sayuran sama buah yang Jay beli tadi malem masih ada 'kan?" tanya laki-laki itu sesaat setelah dia tiba di dapur. Bi Mirna menolehkan pandangan sekilas.
"Ada, kenapa Jay? Mau Bibi buatin apa?" ujar Bi Mirna. Wanita itu mengangkat panci, menuangkan sup ayam ke dalam mangkuk kaca bening.
"Jay mau bikin salad, Bi." Laki-laki itu membuka kulkas, mengambil beberapa sayur dan buah-buahan segar yang sengaja dia beli sendiri tadi malam di supermarket.
"Sebentar, biar Bibi buatin," kata Bi Mirna setelah melihat laki-laki itu mencuci semua bahan di wastafel.
Jay menggeleng singkat. "Gapapa, biar Jay yang buat sendiri. Bibi lanjut aja siapin sarapan buat Ibu sama Ayah. Jay bisa bikinnya kok," ucapnya sambil terus melanjutkan kegiatan mencuci buah dan sayur.
Wanita itu hanya menghela, membiarkan Jay melakukan keinginannya sendiri, dia beranjak dari dapur membawa menu sarapan untuk keluarga majikannya.
"Jay, Ibu kira kamu kemana. Tadi Ibu ke kamar, kamu gak ada," ucap Ibunya yang baru saja datang masih dengan setelan piyama.
Laki-laki itu tidak menjawab, hanya menoleh dan tersenyum lebar menanggapi Ibunya yang kini berdiri di samping dengan tatapan menelisik. Hana masih memperhatikan kegiatan Jay, memotong buah-buahan dan sedikit sayuran, memasukkannya ke dalam lunch box dengan sangat rapi.
"Kok tumben pagi-pagi udah bangun? Biasanya harus Ibu duluan yang bangunin kamu. Kamu bikin itu buat siapa?" Hana memberikan rentetan pertanyaan sekaligus. Dia sendiri merasa heran dengan anaknya yang tiba-tiba membuat salad sendiri, biasanya laki-laki itu tidak ingin repot dan memilih memesan atau meminta bantuan Bi Mirna untuk dibuatkan sesuatu.
Hana mengekori kemanapun Jay pergi, bahkan disaat Jay berbalik badan menuju meja marmer untuk menambahkan mayonaise dan parutan keju, Hana tetap mengikutinya.
"Gapapa kok, Bu. Lagi pengen aja," ujap Jay. Dia masih tetap fokus membuat salad untuk teman masa kecilnya.
Wanita itu menarik sebelah alis, bukan tidak percaya dengan ucapan Jay, hanya saja dia merasa ada sesuatu yang berbeda, bagaimana dia melihat penampilan Jay yang terlihat sangat rapi, wangi parfum yang sangat menyerbak.
"Bohong nih, ayo ngaku, buat pacar kamu ya?" Hana menggelitik pinggang Jay, membuat laki-laki itu tercekat, tertawa ringan. "Anak Ibu udah mulai pacar-pacaran ya."
Jay hanya tersenyum canggung, telinganya ikut berubah warna menjadi kemerahan, menandakan laki-laki itu sedang menahan sesuatu yang mendebarkan di area dada.
"Tuh 'kan, kamu udah punya pacar?"
"Bukan, Bu. Ini buat Elisa."
"Elisa siapa?" Hana menumpu dagu di atas meja marmer, menunggu jawaban Jay yang masih sibuk mempersiapkan salad buatannya sendiri.
Jay menghela napas, lalu menutup rapat lunch box. "Elisa, Bu. Masa Ibu lupa. Temen Jay waktu kecil, tetangga kita dulu, anaknya pak Pratama."
Hana sedikit mengerutkan kening beberapa saat. "Oh! Anak perempuan yang nakal itu, yang sekarang udah jadi model?"
"Gak nakal, Bu. Elisa emang jail." Belanya. Jay memasukkan lunch box ke dalam ransel, menggendong ransel hitam itu lalu meraih tangan sang Ibu, mengecupnya singkat. "Jay berangkat dulu. Nanti Jay sarapannya di sekolah aja. Dah, Bu." Hana mengangguk, menatap punggung lebar Jay yang kian menjauh dari jangkauan matanya.
.
.
.
Di depan pintu utama gedung sekolah, Jay masih berdiri diantara anak tangga halaman sekolah, menyenderkan punggungnya ke pilar berwarna putih gading. Sesekali dia melirik arlojinya, menunggu seseorang yang tak kunjung datang menampakkan batang hidungnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.10, sudah banyak siswa siswi yang berdatangan ke sekolah. Beberapa kali Jay dengan ramahnya membalas sapaan ataupun senyuman yang dilemparkan para siswi ketika berkontak mata dengan laki-laki itu. Bukan hal yang tabu lagi jika Jay adalah salah satu murid laki-laki terpopuler dan berpengaruh di sekolah. Tidak hanya tampan dalam segi fisik, laki-laki yang menyandang gelar Prince from Buana High School ini berhasil mencetak beberapa prestasi dibidang akademik maupun non akademik.
Dari arah kejauhan, kedua manik mata hitam Jay membulat sempurna tertuju pada mobil mewah yang baru saja melaju melewati gerbang. Senyum indah milik laki-laki berdimple itu tercetak kembali, bahkan lebih indah daripada biasanya.
Gadis cantik yang baru saja menampakkan kaki, tersenyum lebar ke arahnya, berlari kecil menghampiri Jay, memeluk laki-laki itu antusias.
"Jay! Aku seneng banget kita bisa satu sekolah. Kita bisa sama-sama lagi," sahut Elisa setelah melepaskan pelukannya.
Jay mengacak gemas surai hitam milik Elisa yang dibiarkan tergerai begitu saja. "Aku juga. Ayo, masuk." Laki-laki itu beralih menggenggam tangan Elisa, menautkan jemarinya di sana.
Di sepanjang koridor, sudah jelas banyak pasang mata yang memperhatikan kedekatan mereka dengan pandangan bertanya. Sesekali keduanya saling melempar canda, genggaman tangan yang tidak pernah terlepas layaknya sepasang kekasih berhasil mengundang topik hangat yang nantinya berbuah gosip. Sayangnya, Jay maupun Elisa tidak peduli ataupun sadar akan tatapan iri orang-orang yang melihat interaksi keduanya.
"Aku punya sesuatu buat kamu," ucap Jay ditengah-tengah perjalanan, membuat langkah keduanya terhenti begitu saja.
Laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya, lalu beralih membuka tas ransel, mengambil sesuatu yang sudah disiapkannya tadi pagi. Elisa masih memperhatikan kegiatan Jay.
"Ini, buat kamu. Kamu gak boleh jajan sembarangan." Jay memberikan lunch box berisi salad pada gadis di depan. Elisa tersenyum hangat menerimanya.
"Tanpa kiwi?"
"Of course! Aku tau kamu gak suka kiwi," jawabnya.
Gadis itu menatap lamat isi di dalam lunch box, kebetulan sekali dia belum sempat sarapan, dan alasannya apalagi jika bukan bangun kesiangan, ditambah Yunaka selalu mengoceh setiap pagi, membuat Elisa malas memberi asupan perut barang satu potong roti yang tersedia di atas meja makan.
"Jay," ucap Elisa sangat pelan. "Apa ini gak kebanyakan?"
Laki-laki di depan tertawa ringan. "Loh, emangnya segitu banyak? Dulu kamu suka makan dua porsi, malah kamu suka nyomot punya aku juga," katanya.
Gadis itu menghempaskan napas ringan, menatap laki-laki tinggi yang masih setia memberi senyum padanya. "Jay, sekarang aku ini model, aku gak bisa makan banyak-banyak."
Jay mengangguk ringan dan mengulum bibir, menepuk pelan bahu Elisa singkat. "Gak diabisin juga gapapa,"
Elisa cepat-cepat menggelengkan kepala, jari telunjuknya ikut terangkat dan bergerak beberapa kali. "Jay, aku gak suka buang-buang makanan, mubazir. Lebih baik aku bagi aja sama temen aku, boleh 'kan?"
Sekali lagi Jay mengusak puncak kepala Elisa, kemudian tersenyum lebar. "Boleh dong. Emangnya siapa temen kamu?"
"Atlanta."