Jam sudah menunjukkan waktu tengah malam, Atlanta baru saja sampai di depan rumahnya. Ia membuka pintu gerasi dengan sangat hati-hati tanpa menimbulkan suara bising, menuntun sepeda untuk masuk ke dalam.
Di sana, dia melihat motor besar Jay yang sedang dinyalakan tanpa ada orang disekitarnya. Segera, Atlanta berjalan ke arah pintu yang berhubungan langsung dengan dapur, menyusuri ruangan yang gelap. Jemarinya menggapai mencari saklar lampu, berniat memberi penerangan di area dapur.
Klik
Deg!
Entah sejak kapan Jay sudah berdiri tepat setelah Atlanta membalikkan badan, belum lagi setelan serba hitam yang dipakai Jay membuat pikiran Atlanta berkeliaran pada sosok rampok. Atlanta memegangi dadanya yang tiba-tiba berdebar hebat dan menarik nafas sedalam mungkin.
"Apaan dah, lo pikir gue setan!" sahut Jay mendelik. Melangkah menuju kursi tinggi ala cafe dekat meja marmer, lalu duduk di sana.
"Dari mana aja lo? Jam segini baru pulang. Abis malam mingguan?" Laki-laki itu mengambil gelas bening berukuran kecil, menuangkan air dari jar dan meneguknya hingga kandas.
Atlanta hanya diam, memperhatikan kegiatan Jay. Laki-laki itu segera menoleh pada Atlanta setelah sedikit membasahi kerongkongannya, menelisik Atlanta dari atas sampai bawah, kemudian menyunggingkan sebelah bibir.
"Gue cuma mau bilang, jauhin Elisa. Lo gak usah deket sama dia lagi," ucap Jay, mengundang kerutan kening dari Atlanta. Laki-laki itu masih terdiam di tempat, tampak kali ini dia semakin membeku.
Gak bisa, aku butuh Elisa. Aku gak mau tinggalin Elisa. Batinnya.
Tanpa butuh jawaban dari Atlanta, Jay beranjak dari duduk, memakai jaket kulit hitamnya, melangkahkan kaki hendak meninggalkan laki-laki itu di dapur. Atlanta segera mencekal tangan Jay ketika laki-laki itu melewatinya. Dia menggerakkan tangan setelah Jay menoleh malas.
"Mau kemana?"
Jay merotasikan bola mata, berdecak. "Ck. Apa sih! Gak ngerti gue. Kalo lo nanya gue mau kemana, gue mau balapan, puas lo."
Atlanta menggelengkan kepala cepat, bermaksud melarang Jay untuk pergi, apalagi jika laki-laki itu berniat melakukan balapan yang bisa membahayakan dirinya, Atlanta tidak mau Jay terluka.
"Bukan urusan lo. Awas aja ya, kalo sampe Ayah sama Ibu tau gue balapan, abis lo." Jay menghempaskan pegangan tangan Atlanta kasar, mengayunkan kaki lebar untuk segera pergi dari sana. Atlanta menatap punggung Jay yang semakin hilang dari pandangannya, lalu menghempaskan nafas pelan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, yang bisa dia lakukan hanyalah berdo'a agar adiknya itu selalu dalam keadaan baik-baik saja.
.
.
.
Kring
Elisa mengerjapkan kedua matanya ketika menangkap suara alarm dari jam waker, bersamaan dengan cahaya matahari yang menerobos melewati celah jendela. Gadis itu terduduk di atas ranjangnya, mengucek mata dan mengedarkan pandangan ke setiap penjuru kamar.
Aneh, dia merasa rumah sangat hening. Biasanya dia selalu mendengar teriakan dan ocehan Yunaka yang merasa kesal ketika mencoba membangunkannya, ataupun mendengar lagu hip hop yang sengaja diputar dengan volume keras oleh Yunaka rutin setiap hari minggu.
Elisa turun dari ranjang, keluar dari kamar hanya untuk membuktikan rasa penasarannya. Hal pertama yang dia lakukan adalah membuka pintu kamar Joni yang tepat di sebelah kamarnya.
"Bang Jon?" Dia mencondongkan kepala. Gadis itu hanya melihat keadaan kamar Joni yang nampak sudah rapi dan wangi seperti biasanya, namun tidak melihat keberadaan laki-laki itu di sana. Elisa kembali menutup pintu kamar, mungkin saja Joni sedang ada di ruang kerjanya.
Kakaknya yang satu itu memang terkenal gila kerja, bahkan di hari minggu dia akan menghabiskan waktu di ruangannya untuk mengerjakan tumpukkan berkas yang Elisa tidak tahu ada apa di dalamnya. Elisa kembali melangkahkan kaki menuju kamar Yunaka yang terletak di depan kamarnya dan kamar Joni.
Cklek
Sekali lagi, Elisa tidak menemukan siapapun di dalam sana. Hanya ada kerangka robot berdiri menjulang dekat meja belajar Yunaka, yang sepertinya adalah tugas laki-laki itu di kampus, dan sebuah robot pembersih lantai yang sedang mondar mandir menelusuri ubin marmer.
Gadis itu melipat tangan, kerutan di keningnya semakin kentara.
"Pada ke mana sih? Biasanya rame," ucapnya bermonolog sembari berjalan menuruni anak tangga.
"Mama! Bang Jon sama Bang Atuy pada ke—"
Langkah kaki dan ucapannya terhenti seketika, dia membulatkan mata. Di sana, di ruang keluarga dia melihat Mama, Joni, Yunaka tengah berkumpul duduk di sofa hitam bersama, Papanya. Elisa menjadi pusat perhatian kala itu, semuanya menoleh padanya yang masih mencerna apa yang sedang dilihatnya.
Joni menepuk ruangan kosong di sebelahnya, mengisyaratkan Elisa untuk segera duduk di sana. Pelan namun pasti, Elisa menggerakkan kaki kembali.
"Udah jam berapa ini? Anak perempuan gak boleh bangun siang," ucap pria dewasa yang memakai kacamata bening tengah menyeruput kopi yang masih mengeluarkan sedikit uap.
"P—papa, kapan pulang?" tanya gadis itu nyaris pelan, jemarinya saling bertautan, belum lagi ekspresi tegang tergambar jelas diwajah bantalnya.
Pria itu menoleh menatap Elisa. "Kenapa? Kamu kaget Papa pulang tanpa kasih kabar dulu? Bukannya seharusnya kamu seneng, ya?"
"B—bukan gitu, Pa. Tapi—"
"Gimana sekolah kamu yang baru?"
Masih dengan tatapan datarnya, Pratama—Papa Elisa melontarkan pertanyaan yang cukup membuat gadis itu tidak punya pilihan selain menundukkan kepala.
"Kenapa gak jawab? Masih kurang jelas pertanyaan Papa?" ujarnya lagi. Pria itu menegakkan punggungnya yang sejak tadi bersender di kepala sofa.
"Baik kok, Pah," jawabnya. Keringat dingin sepertinya sudah tidak bisa membohongi suasana kaku yang terjadi saat itu. Semuanya memilih bungkam ketika sang kepala keluarga mulai angkat bicara.
"Kamu yakin baik-baik aja di sekolah?"
Elisa mengangkat kepala, detik selanjutnya Pratama mengedikkan dagu pada Joni, ajaibnya laki-laki itu mengerti dengan isyarat Papanya. Dia segera membuka smartphone miliknya, mencari sesuatu di sana.
Joni segera memperlihatkan sebuah video pada Elisa. Meski tidak mengerti, gadis itu tetap menyaksikan sebuah video singkat yang sepertinya menjadi alasan Pratama bersikap tak bersahabat.
Sontak Elisa membulatkan mata, mimik wajah gadis itu tidak bisa membohongi keterkejutan dirinya setelah menyaksikan video yang berputar jelas dilayar smartphone lebar Joni. Siapa yang berani mendokumentasikan kejadian beberapa hari lalu? Sewaktu gadis itu sedikit memberi pelajaran pada seorang preman sekolah, tidak lain dan tidak bukan adalah Theo. Gadis itu melihat bagaimana potongan video yang menampilkan dirinya tengah mengguyurkan dua gelas minuman pada Theo.
"Masih mau bilang kalo kamu baik-baik aja di sekolah, hm?" ucap Pratama lagi.
"Pah, i—itu gak seperti apa yang Papa pikirin," ujar Elisa membela diri.
"Oh, kamu sudah berani bohong sama Papa? Sudah jelas kamu membuat masalah di sekolah. Coba jelaskan, apa maksud dari video itu, Elisa?!"
Elisa menggigit bibir bawahnya, apa yang harus gadis itu katakan? Dalam video sudah jelas dialah yang terlihat seperti pemeran antagonis.
"Baru sekolah beberapa hari aja sudah berani jadi perudung. Siapa yang ajarin kamu kaya gitu, Elisa? Papa nyesel izinin kamu pulang ke Indonesia kalo akhirnya kamu jadi pembully di sekolah. Kamu lihat! Video kamu udah dilihat ribuan orang. Kamu gak sadar itu bakal jadi boomerang buat karir kamu sebagai model, hm?"
"Pah, tapi Elisa gak ngebully Theo. Justru laki-laki itu yang suka bully temen Elisa. Elisa gak bisa liat temen Elisa dibully, Pah, makanya Elisa cuma mau kasih pelajaran sama orang itu aja. Itu cuma potongan video singkat, Pah. Kejadiannya gak sepenuhnya bener," ucap Elisa yang tak hentinya meyakinkan sang Papa.
"Apapun alasannya, kamu tetep salah, Elisa. Kamu tau, kamu itu model yang lagi naik daun, kamu mau brand-brand itu gak percaya lagi sama agensi kamu?! Jaga sikap kamu, Elisa. Ubah sikap berandalan kamu itu. Ikuti apa kemauan Papa, ngerti?!"
"Pah! Berhenti atur hidup aku! Aku udah bilang dari dulu aku gak mau jadi model, kenapa Papa selalu paksa aku buat ikutin semua kemauan Papa sih?! Kenapa Papa gak pernah ngerti. Setiap hari aku ditekan buat bersikap yang berbanding terbalik sama sifat asli aku, Pah. Aku cape. Kalo Papa masih atur hidup aku, lebih baik aku—"
"TUTUP MULUT KAMU, ELISA!" Pratama menunjuk anak perempuan penuh penekanan, membuat gadis itu tersentak. "Kalo akhirnya kamu gak mau nurut sama Papa, kenapa dulu kamu harus lahir ke dunia ini, Elisa!"