Sore itu, di bawah langit jingga yang perlahan menghitam, Atlanta baru saja memasuki pekarangan rumahnya, hendak memasukkan sepeda ke dalam gerasi yang saat itu terbuka lebar, menampakkan laki-laki tinggi bersetelan santai tengah mengelap motor kesayangannya.
Laki-laki itu seketika menoleh ke arah Atlanta yang sedang menuntun sepedanya. Dia berdiri, melempar lap ke dalam ember berisi air. Atlanta menghentikan langkah, ketika Jay berjalan mendekatinya.
"Selain bisu, ternyata lo tuli juga, ya," ujar Jay tiba-tiba, dia memberikan smirk pada laki-laki yang tengah menautkan kedua alis, bingung.
"Gak usah pura-pura bego. Gue tau lo paham maksud gue." Jay melipat tangannya, dengan dagu yang sedikit terangkat.
"Jauhin Elisa, dia punya gue. Ngerti lo!"
Atlanta menggelengkan kepala pelan, dia menolak permintaan Jay kali ini. Menjauhi Elisa? Yang benar saja.
Melihat respon dari Atlanta, lantas membuat laki-laki itu berdecih, merotasikan bola mata jengah.
Bugh!
Jay melayangkan pukulan di sebelah pipi kiri Atlanta, sontak membuat laki-laki itu terhunyung bersama dengan sepeda yang dipegangnya. Atlanta memegangi sudut bibirnya yang dirasa amis.
Jay berjongkok di depan Atlanta, dengan bibir yang masih terangkat. Memperhatikan hasil karyanya yang terlihat kebiru-biruan dan sedikit mengeluarkan darah tercipta di sudut bibir Atlanta. Dia balas menatap Jay dengan mimik wajah menahan sakit.
"Masih mau lagi? Mau sampe bibir lo robek juga?" ucapnya disertai seringaian.
"Ini peringatan buat lo. Kalo lo masih ngotot deket-deket sama Elisa, gue bakal habisin lo lebih dari ini." Jay menoyor kepala Atlanta, lalu beranjak dan menendang sepeda Atlanta.
Laki-laki itu segera menaiki motornya, tancap gas dan pergi meninggalkan Atlanta di sana. Sementara laki-laki itu berusaha bangkit, sesekali meringis karena gerakan kecil di bibirnya yang menahan perih. Dia membalikkan badan ke belakang dan tidak ada siapapun di sana, mungkin Jay benar-benar sudah pergi entah ke mana.
Maaf, Jay. Aku gak bisa.
.
.
.
Sejak kejadian siang tadi, suasana ruang makan itu mendadak berubah. Keluarga yang dilihat tampak sempurna dimata orang-orang, ternyata sangat jauh berbeda dari kenyataannya. Waktu makan malam mereka nikmati dengan keheningan, hanya terdengar suara dentingan garpu maupun sendok yang sengaja ditabrakkan ke piring.
Biasanya, sekali dua kali selalu terdengar ocehan dari mulut Elisa maupun Yunaka, Upin Ipin di keluarga itu. Tak bisa disangkal, lima orang di sana memilih diam, menghayati suapan menu yang masuk ke dalam mulut. Bukan karena kartu as Elisa yang sudah terbongkar kakak-kakaknya, melainkan kehadiran Pratama menjadi alasan utama mereka memilih bungkam.
Elisa meraih gelas tinggi yang berisi air putih, meneguknya sampai tersisa setengah.
Dia beranjak. "Elisa ke kamar duluan."
Gadis itu melangkahkan kaki, berbalik badan.
"Besok kamu ada jadwal pemotretan. Pulang sekolah biar Papa yang jemput kamu," ucap Pratama, praktis membuat Elisa menghentikan kaki.
Gadis itu berdecak pelan, tangannya kembali mengepal.
"Kamu denger gak, Papa ngomong apa?" ucapnya lagi setelah tak mendapatkan jawaban dari Elisa.
"Iya," jawabnya singkat.
Dia kembali mengayunkan kaki dengan suara hentakan yang dibuat secara sengaja.
Brak!
Elisa membanting pintu kamar, dan menguncinya. Dia berjalan ke arah brankas miliknya, menekan password brankas. Detik selanjutnya gadis itu membulatkan mata, dia tidak melihat satupun obat miliknya. Brankas itu isinya kosong, dia yakin kakak-kakaknya dengan sengaja membuang semua obatnya.
Dia berdecak, menutup kembali brankas. "Sialan," umpatnya.
Elisa mengambil smartphone, dan memakai jaket berbulu yang menggantung di balik pintu. Dia keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga, gadis itu tak sengaja berpapasan dengan Yunaka yang baru saja menaiki tangga menuju kamarnya.
"Mau ke mana?" tanya laki-laki itu. Dia menghentikan langkah ketika melihat Elisa yang berjalan ke bawah.
"Cari angin," jawabnya datar, tanpa ada niatan menoleh maupun berhenti sebentar saja.
Rencananya untuk segera masuk ke kamar, pupus. Dia memilih mengekori Elisa sampai ke teras rumah.
"Mau ke mana sih?" ucap Yunaka lagi. Dia mencekal lengan Elisa ketika gadis itu selesai memakai sandal.
Elisa membalikkan badan. "Apaan sih, Bang? Gue mau ke depan bentaran doang,"
"Mau ngapain?"
"Beli cemilan. Cemilan gue di kamar abis."
"Awas aja lu kalo beli obat lagi," ujarnya memperingatkan.
Elisa menghempaskan pegangan tangan Yunaka sampai terlepas.
"Terserah gue dong." Elisa melenggang keluar, tak peduli dengan Yunaka yang saat itu mengumpat.
Dia semakin merapatkan jaketnya, menelusuri jalanan lenggang komplek perumahan yang mulai sepi ketika menjelang malam. Hanya lampu jalan berwarna kuning yang menjadi satu-satunya pencahayaan. Elisa menghempaskan nafas pelan, sampai kepulan asap hangat keluar dari mulutnya.
Kaki jenjangnya membawa gadis itu menuju minimarket yang tidak jauh dari gapura komplek. Dia memasuki minimarket itu, memilih beberapa snack dan minuman bersoda.
"Sekalian pulsanya, Kak?" kata kasir minimarket saat melakukan transaksi. Gadis itu menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Terima kasih. Selamat datang kembali."
Elisa mendorong pintu dengan sebelah tangan yang menganggur. Masih dengan tatapan yang tertuju pada struk pembelian, dia berjalan sembari membaca satu persatu list belanjaannya.
Duk
"Aw." Elisa memegangi jidatnya yang baru saja terbentur dada bidang seseorang yang tengah berdiri di depannya.
Dia menengadahkan kepala sambil meringis kecil. Manik matanya tertuju langsung pada laki-laki di depan, laki-laki itu tersenyum lembut padanya. Namun Elisa memilih memalingkan wajahnya, bergegas meninggalkan orang itu.
"Elisa, tunggu dulu." Laki-laki itu berhasil mencekal tangan Elisa sampai gadis itu berbalik badan.
"Mau apa sih? Gue lagi buru-buru," ujarnya ketus.
"Aku mau ngomong sama kamu. Plis." Pinta laki-laki itu.
Elisa memandang wajahnya, melihat keseriusan di sana, lalu menghela nafas, menghempaskannya kasar.
"Duduk di sana, yu." Dia menunjuk kursi panjang di samping minimarket.
Mau tidak mau, Elisa mengekori laki-laki itu yang sudah lebih dulu melangkah ke sana tanpa persetujuan darinya.
"Sebentar." Laki-laki itu kembali melenggang masuk ke dalam minimarket, berlari kecil.
Drrttt
Elisa merogoh smartphone di saku jaket, membuka notifikasi. Detik selanjutnya dia mendengus kecil, kakak-kakaknya itu memang bawel, dia malas membalas satu persatu pesan dari Joni maupun Yunaka, dan memilih memasukkan kembali benda pipih itu.
"Ini." Dia menengadah bersamaan dengan seseorang tengah menyodorkan satu cup air berwarna coklat yang masih mengeluarkan uap panas.
Elisa menerimanya. "Makasih."
"Gak nyangka ya, kita bisa ketemu kaya gini lagi."
Elisa masih diam, tidak menanggapi, dia memilih meniup cup yang ada di genggamannya.
Laki-laki itu sedikit tersenyum, sebelum menyeruput kopi moccacino miliknya. "Kamu inget gak, dulu kamu sering suruh aku manjat pohon mangga punya tetangga? Udah gitu kita lari karena ketauan nyolong mangga," ujarnya disertai kekehan kecil ketika pikirannya bernostalgia, masih memperhatikan jalan raya yang ramai lancar oleh kendaraan.
"Kalo inget masa-masa kecil dulu, rasanya aku pengen balik lagi ke sana." Dia menoleh sekilas pada Elisa yang hanya menatap lurus ke depan.
"Jujur, aku kaget waktu liat kamu di TV. Kamu beda jauh dari Elisa yang aku kenal dulu. Elisa yang dulu rambutnya pendek, tomboy, galak. Sekarang kamu lebih cantik, El."
Elisa memutar bola mata, menoleh ke samping menatap laki-laki yang duduk di sebelahnya.
"Jay, lo tau gue gak suka basa-basi." Dia sontak mengalihkan pandangan ke arah Elisa. "Cepet, lo mau ngomong apa."
Ia menatap lamat manik mata Elisa beberapa saat.
"Maaf."
Praktis membuat gadis itu menautkan kedua alis.
"Maaf, udah bikin kamu marah. Kamu mau 'kan maafin aku?"
"Kenapa harus minta maaf?"
"Karena aku tau, aku salah. Aku janji gak bakal larang kamu deket sama siapapun, termasuk sama temen kamu itu."
Gadis itu tampak berfikir, masih memandangi wajah tulus laki-laki itu, kemudian berdehem.
"Lo—, kamu janji?"
Jay mengangguk mantap. "Iya, aku janji."
"Ya udah, aku maafin. Aku gak mau ngejek Atlanta lagi." Finalnya.
Jay mengangkat jari kelingking, ditambah senyuman yang berhasil memamerkan dimple di kedua pipinya. Gadis itu kemudian menautkan kelingkingnya dengan Jay, tersenyum tipis.
Kalo lo gak mau jauhin Elisa. Gue bakal bikin Elisa sendiri yang jauhin lo.