Entah sudah berapa kali Elisa melirik arlojinya, menunggu Pratama yang katanya akan datang menjemput. Masih di area parkiran, ditemani Atlanta di sana. Bahkan parkiran itu sebentar lagi akan tampak kosong tanpa adanya kendaraan yang terparkir.
Sesekali dia membuka pesan yang dikirimkan olehnya pada Pratama yang belum di baca oleh pria itu. Elisa terduduk di jok sepeda Atlanta, laki-laki itu menyangga stang dengan sebelah tangannya.
Elisa menoleh. "Kamu gapapa nemenin aku di sini? Kamu 'kan harus kerja."
Atlanta mengangguk, tersenyum lembut dan menggerakkan tangannya.
"Gapapa, aku temani sampai Papa kamu datang. Papa kamu masih di mana?"
Elisa mengangkat bahu. "Gak tau."
Merasa tak ada jawaban apapun dari Pratama, Elisa memilih memesan ojek online untuk pergi sendiri ke kantor Joni. Dia yakin sekali Papanya itu pasti sedang di sana, memantau perusahaan yang sudah dipindah tangankan pada anak sulungnya.
"Tunggu di depan gerbang, yu. Aku udah pesen ojek." Elisa beranjak dari sepeda Atlanta. Laki-laki itu mengambil alih sepeda, menaikinya, tanpa diperintah gadis itu segera naik ke atas pijakan di antara ban.
"Kamu gak mau cerita, siapa yang udah pukul kamu?" ujar Elisa ketika mereka menuju gerbang sekolah yang cukup jauh dari tempat parkir.
Atlanta menggelengkan kepala, lantas gadis itu mendengus kecil.
"Awas aja, kalo aku tau siapa yang udah pukulin kamu, aku bakal abisin dia pake tangan aku sendiri," geramnya.
Tepat setelah itu, mereka sampai di depan gerbang sekolah. Elisa turun dari sepeda. Pengendara motor berjaket hijau menghampiri gadis itu, praktis membuat dia menoleh.
"Mbak Elisa?"
Ia mengangguk. "Iya, Mas."
Elisa mengambil helm yang disodorkan pria dewasa berstatus ojol. Setelah menaiki motor beat, gadis itu melambaikan tangan pada Atlanta tanda perpisahan, tak lupa senyuman terindah yang terpatri sampai membentuk bulan sabit di mata Elisa.
Setidaknya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk sampai di kantor kakaknya. Beruntung hari itu jalanan terbilang ramai lancar, ia bisa bersantai dulu tanpa diburu waktu.
"Terima kasih, Mas," ucapnya setelah mengembalikan helm itu, Mas ojol hanya mengangguk dan tersenyum sopan menanggapi.
Elisa memasuki lobi kantor, membalas sapaan banyak karyawan yang menyapanya. Hampir seluruh karyawan mengenali gadis itu. Memangnya siapa yang tidak kenal anak dari pengusaha terbesar, adik dari CEO di tempat mereka bekerja, seorang anak remaja yang sangat ramah dan murah senyum dimata mereka.
Ia memasuki lift, menekan tombol lantai 6. Elisa memperhatikan pantulan dirinya sendiri di kaca lift, kemudian menghempaskan nafas pelan.
"Kayanya gue gendutan," katanya, masih menelisik wajah sampai ujung kakinya. Memegangi pipi yang dirasa lebih berisi.
Ting
Pintu lift terbuka, dia segera keluar, mencari ruangan Joni. Tak sulit menemukan ruang kerja kakaknya, satu ruangan yang cukup luas dan besar dengan papan nama bertuliskan CEO ROOM.
Belum sempat tangannya membuka knop pintu, iris mata Elisa menyipit ketika tak sengaja melihat ada seorang wanita di dalam sana. Dia terus memperhatikan kegiatan wanita itu melalui kaca kecil di tengah pintu.
Wanita yang dia sendiri tidak tahu siapa, berdiri di samping Joni, memijat pundak laki-laki itu seraya tersenyum genit. Setelan kurang bahan yang dipakainya, kemeja merah ketat, rok span di atas lutut, rambut kecoklatan curly, dan heels 5cm mampu membuat Elisa mendengus geli.
"Mulusan juga gue," ujarnya menaikkan sebelah alis.
Elisa semakin geram, ketika laki-laki itu hanya diam ketika wanita di sana bergelayut manja. Dia hanya fokus dengan layar komputer, jemarinya menari di atas keyboard, sesekali menulis sesuatu di atas kertas.
"ABANG! ELISA I'M HERE!" Gadis itu membuka pintu sampai mengeluarkan suara yang berhasil membuat wanita itu terlonjak kaget, melepaskan pegangan tangannya di bahu Joni, lalu berdiri kaku.
Joni menoleh pelan dan sekilas.
"Ngapain ke sini, El?" ucapnya kemudian.
Elisa berjalan menuju sofa hitam, kaki tak tahu dirinya dengan sengaja dia angkat ke atas meja kaca. Dia mengambil toples berisi cemilan, menyenderkan punggungnya di kepala kursi sembari menelisik wanita itu.
"Abang 'kan tau hari ini El ada jadwal pemotretan," katanya sembari mengunyah cemilan.
"Papa ada di sini 'kan?"
Joni mengangguk. "Ada. Lagi patroli kayanya."
Elisa terkekeh sebentar. "Dikira Satpol PP."
Pandangannya kembali tertuju pada wanita di sana, menarik sebelah alis seolah bertanya.
"Dia siapa, Bang?"
"Oh, ini sekretaris Abang yang baru. Kenalin, Rima."
Wanita itu tersenyum manis, sementara Elisa menekuk bibir ke bawah, mengangguk-anggukkan kepala pelan.
"Bukannya sekretaris Abang Mbak Jul, ya?"
Joni menghela nafas pelan, tangannya kembali membuka satu persatu berkas di depannya.
"Julia udah resign seminggu yang lalu. Bulan depan mau nikah," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Ciiee ... ditinggal nikah." Elisa tertawa geli, tak ayal membuat Joni beralih menatapnya tajam.
"Padahal Mbak Jul cantik 'kan, Bang. Berhijab pula, gak kaya tante-tante genit, pake baju ketat, lipstik merah kaya abis ditonjok. Coba aja Mbak Jul Kakak ipar El," kata Elisa sembari sedikit melirik Rima dengan ekor matanya.
Wanita di sana mendengus kecil, merotasikan bola mata lalu melipat tangan. Joni memberikan berkas-berkas pada Rima, wanita itu menunduk sopan sebelum akhirnya berbalik badan untuk keluar dari ruangan Joni.
Di ambang pintu, Rima menoleh, menampilkan Elisa yang tengah tersenyum miring, merasa puas karena berhasil membuat dirinya jengah.
Bocah tengil.
.
.
.
Sedikit lagi polesan di wajahnya selesai, Elisa segera beranjak dari meja rias, menuju satu ruangan yang nantinya akan menjadi tempat gadis itu berfoto.
Mengusut konsep musim panas, Elisa terlihat tampak lebih fresh, dengan make up natural, rambut kepang satu yang menjuntai di samping, dress model flowy dengan motif floral sangat cocok dengannya.
Di sana, Pratama masih terduduk di kursi plastik dekat payung reflektor, berbincang dengan fotografer yang sedang mengutak-atik kamera miliknya.
Keduanya sama-sama menoleh ketika Elisa menghampiri. Pria sebaya dengan Papanya tersenyum takjub ketika melihat Elisa.
"Wah, konsep ini sepertinya sangat cocok buat kamu, ya. Anak kamu emang juara, Pratama." Ia mengacungkan jempol, Pratama tertawa dengan Fotografer itu. Elisa hanya tertunduk malu-malu, merapikan anak rambutnya.
"Tapi sebentar." Pria itu menyipitkan mata melihat wajah Elisa, mengusap dagu. "Kamu keliatan lebih berisi, El. Apa karena kita jarang ketemu minggu-minggu ini. Pipi kamu sedikit gembil kayanya."
Elisa memegangi kedua pipinya, dia juga merasakan pipinya yang sedikit chubby. Gadis itu juga sadar, akhir-akhir ini dia lebih sering ngemil semenjak obat-obatannya dibuang.
"Ah, kita mulai aja, nanti kita lihat hasilnya sama-sama," ucap Pratama kemudian.
Fotografer mengangguk setuju. Elisa segera menuju depan background putih. Cahaya dari barndoors membuat kulit Elisa tampak lebih cerah, dia melakukan pose yang diintruksikan fotografer, beberapa kali terlihat kilatan flash yang berasal dari strobo dan kamera.
"Satu ... dua ... tiga."
Bersyukurlah hari ini Elisa bisa bernafas lega. Pemotretan yang biasanya memakan waktu berjam-jam, kini hanya memerlukan waktu satu jam. Mungkin karena tidak banyak macam busana yang dia pakai, ia tidak perlu cape-cape mengganti kostum berulang kali.
Ketiganya kini tengah terduduk berjajar di depan layar komputer yang menampilkan banyak foto Elisa hari itu. Gadis itu masih meminum sebotol air mineral sambil terus memperhatikan hasil jepretannya.
"Kayanya emang Elisa lebih berisi."
Pria itu mengklik satu persatu foto Elisa, tampak depan maupun samping.
"Liat, pipinya keliatan chubby 'kan," ujarnya menunjuk foto side gadis itu.
Dia menghela nafas, menyenderkan punggungnya di kepala kursi. "Sejujurnya, saya gak masalah sama pipi chubby kamu, El. Justru saya suka, karena kamu tampil sangat manis. Tapi di sisi lain, ini foto untuk majalah luar negeri, brand luar negeri, mereka minta kamu buat tampil sesempurna mungkin."
Elisa masih mendengarkan ucapan pria itu dengan baik. Pratama sudah mengambil ancang-ancang melipat kedua tangan, berdehem pelan. Dia tahu apa yang ada dipikiran Papanya saat itu.
"Saran saya, perbaiki pola makan kamu dari sekarang, ya. Dua hari lagi kamu masih ada job."