Di depan meja makan, Elisa terdiam memandangi menu sarapan yang berjajar di atas meja. Dia masih memegangi piring yang sudah tersedia di depannya untuk diisi nasi goreng, sosis goreng, atau telur dadar. Beberapa kali gadis itu menelan ludah karena aroma yang menggoda menguar dan mengelus lembut rongga hidung sampai lambungnya memberontak untuk segera dipuaskan dengan makanan enak.
Elisa menggigiti bibir bawah, memegangi perutnya yang bersuara. Laki-laki berambut mullet yang duduk di sampingnya menoleh, ketika mendengar perut keroncongan adiknya.
"Kenapa gak makan?" tanya Yunaka, masih memperhatikan gerak-gerik Elisa yang terlihat gelisah.
Gadis itu menggelengkan kepala. "Gak nafsu makan."
"Gak nafsu makan, tapi perutnya bunyi. Aneh."
Terdengar suara helaan napas dari Vina. Wanita itu segera mengambil piring kosong milik Elisa, menuangkan nasi goreng ke dalamnya, beberapa potong sosis kesukaan Elisa dan satu potong telur dadar.
"Makan yang banyak. Biar gak jajan sembarangan di sekolah. Nanti Mama buatin bekal juga, ya."
Elisa hanya terdiam, memandangi menu sarapan di depannya. Sekali lagi dia menelan ludah susah payah, menimbang apakah dia harus memakan itu semua. Ekor matanya sesekali menoleh pada Papanya yang masih memperhatikan Elisa dengan tatapan dingin.
"Makan El, nanti nasinya nangis." Joni bersuara, laki-laki itu meneguk air bening sampai kandas.
Dia mengangkat kepala, tangannya mengambil buah apel merah, memotong buah itu sampai empat bagian, mengupas kulit apel dengan sangat hati-hati. Tindakannya lantas membuat atensi orang-orang di meja makan tertuju padanya.
"Elisa makan apel aja udah cukup kok," ujarnya seraya tersenyum. Sebuah senyuman yang mereka tahu adalah senyuman yang dipaksakan.
"Makan itu aja El, apa susahnya. Itu Mama udah siapin buat lo."
Elisa menggeser piring miliknya. "Nih, makan aja sama lo, Bang."
Gadis itu kembali dengan kegiatannya mengupas seluruh kulit apel. Memakan daging kekuningan yang terlihat masih segar. Tentu bukan kebiasaannya sarapan hanya dengan satu buah apel seperti saat ini, dia yakin satu atau dua jam lagi perutnya pasti akan meminta untuk diisi amunisi kembali.
Semenjak Pratama kembali ke rumah, ruang gerak, khususnya bagi Elisa sangat terbatas, bahkan hanya untuk makan makanan kesukaannya saja Elisa harus menimbang efek yang akan terjadi.
"Biasanya, lo makan paling banyak," kata Yunaka ditengah-tengah ia melahap sosis goreng sampai mulutnya penuh.
"Gue lagi diet. Lusa ada pemotretan."
"Wih, sombong amat. Gue kasih tau ya El, makan itu penting, apalagi sarapan. Otak lo ini butuh bensin buat belajar," ujarnya sembari mengetuk kepala Elisa pelan.
Dia hanya diam, memakan potongan apel dengan lahap. Jelas laki-laki itu sangat enteng berbicara tanpa tahu rasanya jadi dia.
Elisa meneguk air hingga kandas, lalu beranjak, mengaitkan tas ransel di belakang punggungnya.
"Ayo, Bang."
Joni menoleh, laki-laki itu menghentikan kegiatannya yang sedang mengelurkan biji buah anggur.
"Kamu berangkat sama Yunaka aja. Abang ke kantor agak siangan."
Elisa segera mengalihkan pandangan. Dia merotasikan bola mata ketika melihat Yunaka yang sudah nyengir kuda.
"Gak mau ah. Bang Atuy gak pernah bener pake motor. Abang tau 'kan dia kalo pake motor bar bar. El masih sayang nyawa, Bang."
"Sembarangan aja kalo ngomong. Mau gak nih, kalo engga juga gapapa. Lo 'kan berat El, ntar ban motor gue kempes."
Laki-laki itu mulai beranjak, baru saja dia menyampirkan tas ranselnya Elisa sudah memukul lengannya sangat keras.
"Kalo gue kecelakaan gara-gara lo, nyawa lo buat gue sebagai jaminannya." Elisa menunjuk Yunaka penuh penekanan, sementara laki-laki itu masih meringis memegangi sebelah lengannya yang terkena pukulan Elisa.
"Lah, jangan minta sama gue dong. Noh, tanda tangan kontrak dulu sama malaikat Izrail."
Ting!
Bersamaan dengan itu bel rumah berbunyi.
"Elisa berangkat dulu." Dia berpamitan pada Mama, Papa, dan Joni. Berbalik badan melenggang meninggalkan ruang makan bersama Yunaka yang berjalan di sampingnya.
Cklek
"Good morning." Laki-laki di depan pintu tersenyum, memamerkan dimple.
"Jay?"
"Saha?" Yunaka mencondongkan kepalanya di atas Elisa, karena gadis itu hanya membuka setengah ruang pintu.
"Bang Yunaka?"
Yunaka menautkan alisnya, merasa asing dengan laki-laki yang datang ke rumahnya.
"Kok tau nama gue? Lo siapa?"
"Ini Jay, Bang. Temen gue waktu kecil."
Laki-laki itu tampak berfikir. "Jay mana sih?"
Beberapa detik kemudian dia menjentikkan jari, membulatkan mata. Yunaka membuka lebar pintu, memeluk Jay sekilas.
"Oh! Gue inget, gue inget. Tetangga kita dulu 'kan? Astaga, gue sampe gak ngenalin lo, Jay," ucapnya seraya tertawa ringan, menepuk pundak Jay dua kali.
"Btw, ada apa Jay?" imbuhnya.
"Mau ngajak Elisa berangkat bareng, Bang," ucap Jay to the point.
Gadis itu tersenyum lebar. Kesempatan bagus, daripada dia harus diantar Yunaka, dengan taruhan jantung yang akan berdebar seperti sehabis naik rollercoaster, dia tidak mau bulak-balik ke toilet hanya untuk buang air kecil.
"Nah, ide bagus. Mending gue berangkat bareng Jay aja ya, Bang. Daripada lo harus nganterin gue dulu ke sekolah, trus puter balik ke kampus." Elisa merangkul lengan Jay, melambaikan tangan mengajak Jay pergi dari hadapan Yunaka tanpa persetujuan Kakaknya itu.
Ketika sampai di depan rumah Elisa, di mana motor Jay terparkir, laki-laki itu segera mengambil helm berwarna merah muda yang sengaja dia pinjam dari Ibunya, memakaikan helm itu sampai terpasang pas di kepala Elisa.
Dia tersenyum, menaiki motornya. "Ayo, naik," ucapnya yang segera memaki helm full face miliknya.
.
.
.
Sekarang mereka sudah sampai di parkiran sekolah. Elisa turun dari motor Jay, melepas helm yang sempat dipakainya. Jay kembali mengaitkan helm itu di jok penumpang seperti semula.
"Ey, bro!"
Keduanya kompak menoleh. Laki-laki berwajah tegas melambaikan tangan pada Elisa dan Jay. Gadis itu menelisik Theo, menautkan alis, memperhatikan setelan Theo yang tak biasa. Seragam rapi dibalut jaket kulit hitam, tatanan rambut yang sepertinya baru saja disisir, belum lagi kacamata hitam yang dipakai laki-laki itu. Seperti bukan Theo yang terkenal urakan dalam pikiran Elisa.
Jay dan Theo melakukan adu tos seperti biasa. Atensinya beralih menatap Elisa yang setia memperhatikan interaksi keduanya.
"Wah, ada tuan putri juga nih. Apa kabar tuan putri." Theo tersenyum lebar, melepas kacamata hitamnya, hal itu tentu saja menambah kesan tampan seorang Theo Wijaya, tapi Elisa enggan mengagumi ketampanan Theo meski benar adanya. Dia memilih merotasikan bola mata.
"Lo liatnya kaya gimana?" ucapnya ketus, sambil melipat tangan.
"Wih, galak bener tuan putri lo, Jay. Gue makin suka deh." Dia mengedipkan sebelah mata, praktis membuat Elisa mengerutkan hidung.
"Idih, amit-amit jabang babu, gue ogah sama lo."
"Udah, udah. Buruan masuk kelas." Jay menarik lengan Elisa seraya menjulurkan lidah pada Theo.
Mereka berjalan berdampingan menelusuri koridor yang sudah ramai, dengan posisi Elisa berada ditengah Jay dan Theo. Tak ayal membuat ketiganya menjadi sorotan perhatian murid-murid. Sebuah pemandangan yang cukup langka bagi mereka.
Tepat beberapa meter di menuju kelas, dua orang siswi berdiri di depan mereka, menghalangi jalan ketiganya. Mereka sama-sama menghentikan langkah kaki, menatap satu per satu perempuan di depan.
"Hai, Jay," ucap salah satunya, perempuan berambut sebahu tersenyum lebar menyapa Jay.
Laki-laki itu berdecak. "Apa?" ucap Jay datar.
"Nanti istirahat bareng, ya. Aku yang traktir," katanya. Tangan rampingnya mencoba meraih tangan Jay, namun laki-laki itu segera menghempaskannya.
"Gak bisa. Gue harus makan siang sama pacar gue."
Dia menautkan alis bingung. Sejak kapan Jay punya pacar?
"Pacar? K—kamu punya pacar? Siapa? Ga mungkin."
Tiba-tiba Jay merangkul bahu Elisa, membawa gadis itu ke dalam dekapannya, sontak membuat Elisa tersentak bukan main.
"Ini pacar gue. Namanya Elisa. Ah, gue gak perlu jelasin lagi, lo tau 'kan siapa dia," ujarnya disertai sunggingan sebelah bibir.
Elisa hanya diam, meski dia tidak tahu menau masalah apa yang tengah terjadi pada Jay dan perempuan itu, dan membawa dia masuk ke dalam lingkaran permasalahan diantara keduanya.
"Minggir, gue mau nganter pacar gue ke kelas."
Keduanya memberi jalan pada Jay dan Elisa, mereka masih mencerna ucapan Jay yang menurut mereka kurang masuk akal.
"Jay, maksud kamu apaan sih, kenapa bilang kalo aku ini pacar kamu. Kalo orang lain salah paham gimana?" ucap Elisa ketika mereka sudah berada di depan kelasnya.
Jay menghela napas. "El, plis, bantuin aku, ya. Aku gak mau dikejar-kejar sama nenek lampir itu. Kamu mau 'kan jadi pacar pura-pura aku?"
Elisa sempat berfikir sejenak, sebelum kengiyakan ajakan Jay, tidak ada salahnya juga pikirnya. "Y—ya udah, aku mau. Tapi cuma pura-pura doang ya."