"Elisa, Atlanta, disuruh Pak Budi ke ruang guru tuh," ucap Juan, ketua kelas mereka yang baru saja memasuki ruang kelas yang sangat ramai.
Ah, kebetulan hari itu mereka hanya diberi tugas mencatat, guru Biologi yang bersangkutan tidak bisa masuk kelas, hal itu sontak membuat murid-murid senang bukan main.
Elisa dan Atlanta kompak menoleh, lalu saling bertatapan beberapa saat. Atlanta mengedikkan bahu sebagai jawaban. Elisa lebih dulu beranjak, disusul oleh Atlanta, mereka sama-sama berjalan menuju ruang guru yang cukup jauh dari kelas mereka.
Di depan koridor, lebih tepatnya koridor kelas sebelah yang akan mereka lewati, gadis itu tercekat, Atlanta pun sama terkejutnya. Di sana, dia melihat Jay tengah menatap datar keduanya. Jay tidak sendirian, dia bersama Theo. Jay melangkah mendekati Elisa, detik selanjutnya Elisa menarik tangan Atlanta sampai laki-laki itu berdiri tepat di belakangnya.
"Ngapain?" ucap Elisa dengan nada waspada. Dia semakin mengeratkan genggaman tangannya.
"Kamu mau kemana?" tanya Jay yang terdengar basa basi. Laki-laki itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana abu-abunya.
Laki-laki yang memiliki rahang tegas itupun menghampiri ketiganya, masih dengan kegiatannya mengunyah permen karet sampai menghasilkan decakan, membuat Elisa memutar bola matanya malas. Sekarang dia semakin tidak mengerti kenapa Jay mau berteman dengan Theo, atau mungkin Jay adalah salah satu komplotan preman sekolah juga? Elisa mendengus kecil setelahnya.
"Urusannya sama lo apaan?" ujar gadis itu, menengadahkan kepala menatap Jay.
Jay terkikik beberapa saat, lalu berkata, "Woah, sekarang kamu udah berubah, ya."
"Siapa yang berubah?! Yang ada lo, Jay. Lo yang berubah. Lo bukan Jay yang gue kenal dulu!" serunya.
"Engga kok, aku gak berubah. Aku masih Jay yang dulu," katanya dengan nada yang dibuat sangat lembut. Selanjutnya pandangan Jay tertuju pada Atlanta, dia menatapnya tajam. "Jangan bilang gara-gara si bisu itu kamu berubah."
Elisa melapaskan pegangan tangannya, dia beralih melipat tangan, merotasikan bola mata dan berdecak.
"Ini semua gak ada sangkut pautnya sama Atlanta, ya! Harusnya gue yang nanya, kenapa lo mau temenan sama spesies kaya dia?!" Elisa menunjuk Theo yang masih menyimak obrolan mereka.
Theo mengernyit. "Kok jadi bawa-bawa gue? Maksud lo apa, huh?!" sahutnya tak terima.
"Bukannya lebih bagus, ya? Daripada deket sama orang bi-su," ucap Jay disertai ejekan, masih dengan tatapannya pada Atlanta.
Elisa mengepalkan tangan, rahangnya mengatup. Dia terlanjur kesal, tangannya melayang hendak menampar Jay. Namun, gadis itu kalah cepat, Jay mencekal tangan kanan Elisa, menyunggingkan smirk.
"Jangan kasar, Elisa sayang." Elisa yang mendengar hanya mendengus. Untuk pertama kalinya dia merasa jijik dengan ucapan manis laki-laki itu.
Jay yang melihat ekspresi tak mengenakkan Elisa, segera membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Mendekap Elisa sangat erat sembari tersenyum miring ke arah Atlanta, seperti sengaja memancing emosi laki-laki itu. Atlanta hanya diam membeku, tangannya terkepal, menahan sesuatu yang menyesakkan dadanya.
"Lepas! Lepasin gue, sialan!" sahut gadis itu yang mencoba melepaskan diri dari pelukan Jay. Dia memberontak, mendorong dada laki-laki itu berulang kali meski hasilnya nihil.
"Ngomongnya jangan kasar gitu dong." Jay semakin menarik urat leher Atlanta, dia mengelus puncak kepala Elisa.
Tidak ada jalan lain, Elisa menginjak kaki Jay sangat keras. Dia merintih, melepaskan pelukannya. Gadis itu kembali melayangkan telapak tangan, mungkin kesempatan bagus fikirnya. Atlanta segera mencekal tangan Elisa, praktis membuat Elisa menoleh.
"Apaan sih?! Lepasin."
Atlanta menggelengkan kepala, mengisyaratkan Elisa untuk tidak melakukan hal yang terbersit dalam pikirannya. Dia segera membawa Elisa pergi dari sana, meninggalkan Jay yang masih meringis sakit di bagian kaki. Laki-laki itu takut Elisa akan berbuat yang tidak-tidak seperti kejadian tempo hari.
Elisa menghempaskan pegangan tangan Atlanta ketika mereka sampai di depan ruang guru, membuat keduanya menghentikan langkah, dan saling berhadapan.
"Kenapa sih, kamu selalu ngelarang aku buat kasih pelajaran sama mereka. Emang kamu gak sakit hati diejek terus, huh?"
Atlanta menghela nafas, dan menggerakkan tangannya.
"Itu gak baik. Kamu jangan galak-galak."
Elisa kembali merotasikan bola mata, dia tidak habis fikir dengan jalan fikiran Atlanta yang begitu berlapang dada menerima ejekan orang-orang. Jika dia jadi laki-laki itu, sungguh, dia akan menghabisi orang-orang itu sampai mereka jera.
"Kamu itu—"
Cklek
Ucapan Elisa terpotong seketika, keduanya kompak menoleh ketika pintu ruang guru terbuka, menampakkan pria dewasa berproporsi tinggi dan berisi berdiri di ambang pintu.
"Saya kira siapa yang ribut-ribut di luar, ternyata kalian,"
Kedua murid itu sedikit membungkukkan badan, bermaksud meminta maaf.
"Maaf, Pak."
Mereka sama-sama menunduk, enggan menatap guru Matematika di depannya. Pak Budi menghela nafas, melipat tangannya dengan tatapan datarnya.
"Waktu itu kalian kemana? Kalian gak masuk di jam pelajaran saya, gak izin pula," ujarnya.
Elisa mengingat-ingat maksud dari ucapan guru di depan. Sedikit berfikir keras, memangnya kapan dia absen? Berbeda dengan Atlanta, laki-laki itu sudah mengerti ke mana arah pembicaraan gurunya, yang harus dia lakukan adalah bersiap untuk menanggung hukuman yang mungkin akan diberikan saat itu juga. Beberapa saat, kerutan di kening Elisa perlahan pudar. Apa mungkin, saat dia membantu Atlanta ke UKS dulu?
"M—maaf, Pak. Tapi waktu itu saya—"
"Saya sudah tidak butuh alasan kalian berdua. Kalian tau, saya paling tidak suka dengan murid yang pergi meninggalkan jam pelajaran saya tanpa izin apapun, itu sama saja kalian tidak menghargai saya sebagai guru." Keduanya semakin menundukkan kepala, memainkan jemari yang saling bertautan.
"Sebagai hukumannya, kalian lari dua puluh keliling lapangan."
Elisa mengangkat kepala. "Loh, Bapak 'kan bukan guru olahraga, kenapa kita harus disuruh la—" Atlanta segera menyenggol lengan Elisa.
"Di sini gurunya siapa? Terserah saya mau hukum kalian seperti apa. Kalian mau nurut atau kalian tidak boleh mengikuti jam pelajaran saya lagi?"
Mereka tidak bisa berkutik, Pak Budi segera menggiring keduanya menuju lapangan belakang sekolah.
"Ayo, sekarang kalian lari." Titahnya menjulurkan tangan.
Atlanta lebih dulu berlari pelan menelusuri sisi lapangan berdasar finishing flexipave. Dengan langkah lesu, Elisa berlari menyusul Atlanta. Syukurlah matahari tidak menyengat begitu terik, bisa-bisa Elisa akan pingsan di tempat mengingat dia memiliki riwayat penyakit anemia.
Laki-laki itu menolehkan pandangan ke belakang, melihat Elisa yang berlari ogah-ogahan, bahkan gadis itu tidak berhenti mengumpat. Dia menyejajarkan posisi di samping Elisa. Sesekali dia tersenyum lebar, dalam hatinya Atlanta benar-benar sangat ingin tertawa dengan wajah memelas Elisa.
Baru saja satu putaran, mereka sama-sama saling bertatapan, seolah saling menanyakan di mana keberadaan guru mereka dari tatapan mata.
"Ajaib, tiba-tiba, ngilang," ucap Elisa dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan.
Keduanya sama-sama berhenti, mangatur nafas dan menyeka bulir keringat yang mulai menetes.
Atlanta menggerakkan tangannya.
"Ayo. Jalan saja pelan-pelan. Yang penting dua puluh keliling." Laki-laki itu tersenyum setelahnya, dan diberi anggukan mantap oleh Elisa.
Mereka kembali berjalan. Elisa tersenyum lebar, dia menggenggam tangan Atlanta tiba-tiba, menautkan jarinya di sana. Laki-laki itu menatap kedua tangan yang saling bertautan menggantung bebas di samping badannya. Jantungnya kembali berdebar bukan main.
Jauh di atas koridor lantai lima, Jay memperhatikan keduanya. Tangan yang bertumpu di pagar besi terkepal kuat, rahangnya mengatup sampai urat-urat sekitar leher kentara.
"Ternyata lo gak ngerti bahasa manusia, Atlanta."