Purnama sedikit mengangguk. "Tergantung. Kalau pasien rutin melakukan psikoterapi, perasaan cemas yang dialami perlahan akan hilang seiring berjalannya waktu tanpa perlu mengkonsumsi obat-obatan."
Kembali dengan pemikiran masing-masing, Yunaka maupun Joni saat itu hanyalah memikirkan kondisi Elisa. Bagaimana gadis itu diam-diam menyembunyikan suatu hal yang mungkin sangat penting, bagaimana dengan bodohnya mereka baru mengetahui sebuah fakta yang cukup mengejutkan tentang kondisi fisik maupun mental adiknya.
Dokter itu kembali mengambil satu botol pet yang sengaja Joni simpan di atas meja.
"Kalau ini, Qysmia. Obat penurun berat badan kombinasi dari Phentermine dan Topiramate. Sebenarnya ini bukan obat keras, tapi kalau dikonsumsi terus menerus gak baik juga."
"Yang ini apa, Mas." Joni menunjuk botol pet dengan obat tablet berwarna putih.
Purnama mengerutkan kening, membulak balik botol pet, lalu berkata. "Oh, ini, obat cuci perut. Mas ndak usah jelaskan apa gunanya, kamu tau sendiri 'kan, Jon?"
Joni mengangguk, otaknya semakin berfikir liar tentang bagaimana Elisa mengonsumsi obat yang bisa dibilang cukup banyak dan bervariasi, bukankah itu tidak baik untuk tubuh gadis itu?
"Yang ini, obat tidur." Setelah mengatakan itu, Purnama menyenderkan punggungnya di kepala sofa, menatap bergantian dua orang laki-laki di depannya.
Raut wajah terkejut bercampur rasa bersalah terpatri di sana. Purnama paham dengan sesuatu yang mungkin menimpa keduanya.
"Tapi kenapa kalian tanya soal obat-obatan ini? Kalian mau buka apotek, usaha farmasi?" tanya dokter itu.
Joni menundukkan kepala, memijat pelipisnya yang mendadak berputar pening.
"Engga, Mas. Tapi, kalo misalnya obat-obat itu diminum secara bersamaan gimana, Mas. Efek sampingnya apa?" Joni kembali mengajukan pertanyaan, setidaknya mengurangi satu per satu penyebab isi kepalanya yang kian berdengung.
Purnama kembali menegakkan badannya, lalu menyilangkan kaki. "Setiap obat pasti punya efek samping yang berbeda, Jon. Tapi kalo obat-obat ini dikonsumsi bareng-bareng, yo jelas itu ndak baik buat hati sama ginjal, bisa rusak nanti kalo diminum terus-terusan."
Yunaka menatap deretan obat di atas meja. Tidak jauh berbeda dengan Joni, laki-laki itu merasa hatinya seperti diremat, dia bertanya-tanya sejak kapan Elisa menggunakan obat-obatan itu.
"Ada kemungkinan bisa ketergantungan gak, Mas?" Kali ini Yunaka yang mengajukan pertanyaan.
"Tergantung rentan waktu penggunaan obat itu sendiri. Kalo si pemakai secara rutin mengkonsumsi, itu akan jadi kebiasaan dan ketergantungan. Dia akan mencari obat itu, dia akan merasa seperti kekurangan sesuatu kalo gak minum obat itu."
Merasa sudah cukup dengan semua jawaban dari dokter Purnama, Joni dan Yunaka segera berpamitan, yang ada dipikiran mereka hanya satu, yaitu Elisa. Mereka tidak mau menunggu waktu Elisa pulang ke rumah, mengingat Pratama mungkin akan mendengar dan menjadi bahan memojokkan Elisa lagi.
Mereka bergegas tancap gas menuju sekolah Elisa. Keduanya ingin mendengar penjelasan gadis itu secepatnya, mendengar alasan klise yang nantinya akan meluncur bebas dari bibirnya sendiri.
"Bang, apa lo sepemikiran sama gue? Elisa gak mungkin minum obat sebanyak itu kalo dia gak stres sama tuntutan Papa," ujar Yunaka ditengah perjalanan.
Joni menghela nafas, menghempaskannya kasar. "Gue juga mikir gitu, Ka."
Di jalanan yang lenggang dengan kendaraan, Joni memacu kecepatan mobil mewahnya di atas rata-rata. Dia hanya ingin segera menemui Elisa detik itu juga. Joni sedikit melirik arlojinya, jam istirahat sekolah sebentar lagi akan berbunyi.
Di depan gerbang sekolah yang tertutup, Joni memberikan klakson, satpam yang berjaga seolah tau siapa orang di dalam mobil segera membuka gerbang, mempersilahkan si pengemudi untuk masuk. Joni memarkirkan mobilnya di parkiran yang lumayan penuh dengan mobil.
Benar saja, ketika mereka turun dari mobil, bel istirahat berbunyi sampai terdengar ke area parkir. Mereka segera berjalan sedikit berlari menuju kelas Elisa yang cukup membutuhkan banyak tenaga.
Mereka tidak peduli dengan tatapan para siswi yang terkagum-kagum ketika melihat keduanya menelusuri koridor, seperti melihat artis yang tidak sengaja mereka temui. Beberapa diantara mereka bahkan mengabadikan moment langka seperti memotret keduanya. Suara histeris para siswi seolah tidak menjadi halangan keduanya untuk terus mencari keberadaannya adiknya.
Dari kejauhan, keduanya melihat Elisa yang baru saja keluar dari kelas bersama seorang laki-laki yang mereka tidak tahu siapa dia.
"Elisa!" sahut Joni.
Gadis itu segera menoleh, dua orang laki-laki tengah berlari ke arahnya. Seketika senyuman itu hilang tiba-tiba. Atlanta, laki-laki yang bersama Elisa hanya memperhatikan semuanya.
"Abang? Kenapa kalian kesini?" ucap gadis itu sedikit terkejut dengan kedatangan kakak-kakaknya.
Joni tengah menetralkan gemuruh di dadanya akibat berlari. "Bagus, ya. Ditelpon gak diangkat-angkat," katanya berkacak pinggang.
Elisa hanya mengulum bibir. Harusnya dia tahu kedatangan kakak-kakaknya ke sekolah, apalagi jika bukan sekedar menanyakan alasannya yang tidak pernah mengangkat panggilan.
Joni sekilas menoleh pada Atlanta, laki-laki itu tersenyum ketika manik matanya bertemu dengan Joni.
"Sekarang, ikut Abang. Ada hal yang perlu kamu jelasin." Joni meraih pergelangan tangan Elisa. Gadis itu menarik kembali ketika Joni hendak membawanya pergi.
"Jelasin apaan sih, Bang."
"Ayo ikut." Laki-laki itu menarik tangan Elisa untuk pergi dari tempat itu. Mau tidak mau Elisa hanya menurut, berjalan menyesuaikan langkah kaki yang entah akan dibawa ke mana oleh Joni, meninggalkan Atlanta yang masih kebingungan dengan tindakan kakak dari gadis itu.
Joni membawa Elisa ke parkiran sekolah, tepat di mana mobil miliknya terparkir. Elisa menghempaskan genggaman tangan Joni secara paksa.
"Apaan sih, Bang. Kalo gak penting mending nanti aja di rumah," ujarnya kemudian.
"Gak penting kata kamu?" Untuk pertama kalinya, Elisa melihat sunggingan sebelah bibir dari Joni.
Dia sedikit bergidik ngeri melihatnya, cukup mengerikkan ketika kakaknya yang terkenal kalem, lembut, dan tidak banyak bicara tampak seperti sedang menahan amarah yang bisa membludak kapan saja.
Joni membuka pintu kemudi, mengambil sesuatu dan membanting kembali pintu sampai menghasilkan suara dentuman yang cukup keras. Tak ayal membuat Elisa, maupun Yunaka yang berada di tempat terlonjak kaget.
"Sekarang, jelasin ini apaan. Kamu bilang gak penting?!" sahutnya penuh penekanan.
Elisa membulatkan mata sempurna ketika melihat kantong plastik berisi obat-obatan miliknya di dalam sana.
"Apa maksud semua ini, Elisa!"
Dengan bermodal segenggam keberanian, Elisa berkata, "K—kenapa Abang geledah barang-barang punya Elisa?" cicitnya.
Praktis membuat laki-laki jangkung itu mendengus. "Kalo Abang gak geledah barang-barang kamu ini, Abang gak bakal tau rahasia yang selama ini kamu tutupin, Elisa!"
Gadis itu diam menunduk, enggan menatap Joni yang saat itu sangat menakutkan baginya.
"Kenapa? Kamu masih mau ngelak, huh? Jangan fikir Abang gak tau tentang semua ini. Bagus ya, pinter kamu sembunyiin ini dari kakak-kakak kamu sendiri." Joni menarik nafasnya, memijit pelipis dengan sebelah tangan bertengger di pinggang.
"Kamu fikir dengan ini masalah kamu bakal selesai gitu aja, Elisa? Terus apa gunanya Abang sama Yunaka sebagai kakak kamu? Apa kita sebegitu transparannya di mata kamu sampai kamu enggan berbagi masalah sama kita?"
Elisa meremat kain roknya, dia masih mencerna semua ucapan Joni yang mampu membuat hatinya merasa tertohok. Dia menggigit bibir bawahnya menahan tangis.
"Kamu mau mati pelan-pelan, huh?"
Gadis itu mengangkat kepala, dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca, dia menengadahkan kepala menatap Joni yang sedang menatapnya tajam.
"Emangnya kalo Elisa mati kenapa, Bang. Bukannya bagus, ya."
"Elisa! Jaga mulut kamu!" sahut Yunaka dengan nafas yang menggebu-gebu, menunjuk adiknya itu.
Kali ini gadis itu berdecak. "Lebih bagus lagi kalo Elisa mati secepatnya. Elisa udah cape, Bang. Fisik sama batin Elisa cape, udah mati rasa," ujarnya dibarengi setetes air mata yang jatuh.
"Tapi gak gini caranya, Elisa." Joni mengguncangkan pundak Elisa dengan kedua tangannya.
"Kalian gak akan pernah tau gimana rasanya jadi Elisa. Kalian gak bakal ngerti, selama ini El yang terus-terusan di tuntut sempurna. Elisa gak bisa, Bang, Elisa gak bisa." Gadis itu semakin mengalirkan air bening dari pelupuknya, dia tidak peduli dengan sosoknya yang rapuh itu.
Di sisi lain, dengan jarak yang cukup dekat, hanya terpaut dua mobil, Atlanta mendengarkan semuanya. Mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Bagaimana untuk pertama kalinya dia mendengar isak tangis Elisa, gadis yang selama ini selalu terlihat tegar, galak, kali ini terlihat sangat rapuh, menampakkan sosok lemah gadis itu.