Yunaka masih terdiam di atas kasurnya, untuk kesekian kalinya dia mencoba menelfon Elisa, tapi hasilnya tetap sama, gadis itu enggan mengangkat telpon darinya.
Dia menggigiti kuku, masih dengan usaha kerasnya kembali melakukan panggilan. Yunaka turun dari ranjang, mengayunkan tungkainya kemanapun dengan sebuah benda pipih menempel di sebelah telinganya.
"Bener-bener, ya. Itu anak hobi banget bikin orang rumah panik," gumamnya sembari mengetikkan sesuatu di layar smartphone. Kalau gadis itu tidak mau mengangkat telpon, setidaknya dia membaca pesan yang laki-laki itu kirim.
"Awas aja kalo ketemu, gue jitak palanya."
Sorot mata laki-laki itu tertuju ke arah botol pet putih yang tersimpan di atas tumpukan buku meja belajar. Yunaka berjalan ke arahnya, mengambil botol pet, menelisik benda itu lebih teliti.
"Obat apaan sih ini. Kayanya gue baru liat. Dia biasanya cuma minum vitamin kaya biasanya, gak nambah obat yang lain." Yunaka terus saja bermonolog, memutar balikkan botol dengan kerutan kening yang semakin tertarik.
Cklek
Dia menoleh, ketika seseorang membuka pintu kamarnya, seseorang dengan setelan baju santai berdiri menjulang di ambang pintu, tangannya masih memegangi knop pintu saat itu.
"Elisa ada di sekolah. Barusan gue telpon wali kelasnya," ujarnya to the point.
Yunaka mengangguk, menghela nafasnya pelan.
"Bang, kemaren gue nemu botol obat ini di kamar Elisa. Lo tau ini obat apaan gak?" Yunaka memberikan botol itu pada Joni.
Sama halnya dengan Yunaka, Joni sama-sama mengerutkan kening. "Benzodiazepine."
"Bentar deh, kayanya gue tau," ujarnya sembari menggaruk batang hidung.
Yunaka membulatkan mata antusias. "Apa, Bang?"
Joni sedikit berdehem, memutar bola mata seperti sedang berfikir. "Obat gangguan kecemasan berlebih, Anxiety Disorder."
"Yang bener aja lu, Bang!" sahut Yunaka memukul lengan Joni keras, ditambah raut wajah terkejut tergambar diwajahnya.
Laki-laki itu segera berlari meninggalkan kamarnya menuju kamar Elisa dengan tergesa. Joni ikut menyusul Yunaka tanpa diperintah. Di dalam sana, Yunaka membuka satu per satu laci nakas maupun lemari Elisa. Entah kenapa feelingnya mengatakan masih ada benda lain yang disembunyikan adiknya itu.
"Ka, lo ngapain geledah barang-barang Elisa?"
Yunaka belum menanggapi, dia sibuk memeriksa laci di sana.
"Bantuin gue kek, Bang. Gue yakin masih ada obat lain yang dia konsumsi," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan.
Joni menghela nafas, melangkahkan kaki untuk membuka setiap laci di kamar Elisa seperti yang dilakukan Yunaka.
"Tuh 'kan, gue bilang juga apa, Bang. Liat nih."
Joni menoleh, Yunaka menghampirinya dan memberikan satu sachet obat berwarna merah muda.
"Itu panadol, bego. Bukan obat aneh-aneh." Joni menoyor kepala Yunaka. Pantas saja adik perempuannya selalu terbawa emosi jika mengobrol dengan Yunaka, dan memang benar saja, Yunaka semenyebalkan itu.
"Ya sama aja, Bang. Ini bisa dijadiin barang bukti."
"Barang bukti matamu. Dikira narkoba."
Yunaka hanya mengulum bibir. Mereka kembali mencari sesuatu yang mungkin akan mengobati rasa penasaran mereka, atau bahkan memecahkan sebuah misteri yang disembunyikan Elisa selama ini.
Iris mata Joni tertuju pada sebuah kotak berwarna hitam, mirip kotak brankas, di atas nakas samping meja rias. Karena penasaran, laki-laki itu menghampirinya. Sebuah kotak yang biasanya orang-orang pakai untuk menyimpan sebuah benda berharga, pada umumnya emas dan uang.
Dia meraba kotak yang dihiasi stiker karakter monokurobo, kemudian ke sebuah deretan angka digital yang dia ketahui harus memasukkan password di sana untuk bisa membuka brankas.
"Buka aja, Bang." Entah sejak kapan Yunaka sudah berdiri di samping Joni.
"Kalo gue tau passwordnya, udah gue buka dari tadi, Yunaka."
"Coba tanggal lahirnya aja."
Joni menuruti ucapan Yunaka kala itu, dia menyentuh layar dan menekan enam digit angka yang merupakan tanggal lahir Elisa.
Not success. Sebuah tulisan yang tertera di layar.
"Coba dibalik."
"Dibalik gimana maksud lo."
"Ish. Tahun, bulan, baru tanggal. Lo gimana sih, Bang. Ngakunya aja CEO, tapi masih aja kagak ngerti yang beginian."
Joni tidak menanggapi, dia kembali menekan tombol di sana.
Not success.
"Lo emang aliran sesat, Ka."
Yunaka mendengus mendengarkan. Mereka sama-sama berfikir keras, menebak kira-kira password brankas itu apa. Tanpa berpikir panjang, Joni menekan angka yang terdiri dari tanggal lahir dirinya, Yunaka, dan Elisa.
Successful.
"Gotcha!" Joni menjentikkan jari, dia merasa bangga pada dirinya sendiri, tersenyum lebar menampakkan deretan gigi rapinya.
Yunaka membulatkan mata tidak percaya. "Hebat! Abang gue emang hebat! Gimana lo bisa tau, Bang," sahutnya diberengi tepukan di pundak Joni.
"Pake otak. Bukan pake bacot kaya lo," ucap Joni seperti menyindir adiknya itu.
Joni membuka brankas itu, ekspresi penasaran semakin kentara diwajah mereka. Keduanya sedikit membungkukkan badan untuk melihat isi brankas.
Selanjutnya, raut wajah terkejut menghiasi wajah keduanya. Mereka sama-sama menganga melihat isi brankas. Puluhan botol pet tersimpan rapi di dalam, berukuran kecil sampai besar, beberapa obat yang sudah dikemas dalam plastik clip kecil berbentuk kapsul dan tablet.
"Dikira apotek kali. Ini obat-obat buat apaan, Bang. Yakali dia stock sebanyak ini," sahutnya tak percaya. Yunaka mengambil segenggam plastik clip itu.
Sementara Joni, dia mengambil tiga botol pet dengan kemasan yang berbeda. Membuka tutup botol dan menampakkan obat yang masih utuh penuh.
"Ambil sampel tiap obat. Kita ke rumah sakit sekarang."
"Mau ngapain ke rumah sakit, Bang?"
"Mau lahiran," ucapnya datar. "Ya mau cek obat ini lah. Gue punya temen di sana. Siapa tau dia bisa bantu kita buat nyari tau gunanya obat ini."
Yunaka kembali mengangguk. Setelah mendapatkan apa yang dicari, mereka keluar dari kamar Elisa dan segera pergi ke rumah sakit tempat teman dekat Joni bekerja.
.
.
.
Di sinilah mereka sekarang, di meja resepsionis menunggu wanita yang bertugas menyelesaikan panggilan telpon dengan seseorang yang mereka cari.
"Dokter Purnama sudah ada di ruangan. Bapak boleh segera ke ruang kerja beliau," ucapnya sopan disertai senyuman manis dari bibirnya.
"Terima kasih." Joni berjalan lebih dulu menuju lift, Yunaka mengekorinya dari belakang. Dia menekan tombol lantai 12.
Pintu lift terbuka, menampakkan lorong yang lenggang akan pengunjung maupun pasien yang berlalu lalang. Suara langkah kaki kian mengiringi lorong di sana. Sampai mereka di depan ruangan dengan papan nama di atas menunjukkan ruang keja milik Dr. Purnama yang menjabat sebagai dokter Psychiatrist.
Joni membuka pintu ruangan, seseorang dengan setelan kemeja biru laut dibalut jas berwarna putih, lengkap dengan kacamata bening tengah terduduk di singgahsana miliknya. Laki-laki yang memiliki umur hanya terpaut satu tahun dengan Joni mengangkat kepala, menghentikan kegiatannya dengan beberapa berkas di atas meja.
"Eh, Jon. Masuk," ucapnya sembari melambaikan tangan. Dia beranjak menuju sofa di depan meja kerjanya.
Joni tersenyum lebar memasuki ruangan bernuansa putih. Laki-laki itu duduk di depan Purnama.
"Maaf ya, Mas. Pagi-pagi gini ganggu," ucap Joni sedikit tidak enak.
"Ah, yowes, gapapa Jon. Ra usah sungkan. Mas juga lagi ndak ada pasien," jawabnya sembari mengibaskan tangan dan tertawa kecil.
Joni membalasnya dengan anggukan kecil dan tawa.
"Gini, Mas. Maksud kedatanganku kesini untuk bertanya soal ini." Joni mengeluarkan obat yang dibawanya dari dalam tas kecil. "Kira-kira Mas tau gak ya gunanya obat ini untuk apa."
Disisi lain, Yunaka masih terdiam sesekali dia hanya tersenyum menyimak obrolan keduanya. Purnama membenarkan tata letak kacamata yang dipakainya, mengambil botol pet yang disodorkan Joni. Menelisik benda itu bergantian.
"Benzodiazepine. Obat ini khusus untuk orang pengidap penyakit mental, Anxiety Disorder. Biasanya obat ini diberikan langsung oleh dokter Psychiatrist. Saya juga sering kasih pasien saya obat seperti ini, kalau memang harus."
Kakak beradik itu sama-sama membulatkan mata. "A-apa penyakitnya parah?"