Elisa menatap nanar sang Papa, suara desahan kecil keluar dari mulutnya. Entah apa yang dirasakan gadis itu, dia merasa ucapan Pratama sangat menyakitkan baginya. Apa dia anak yang dulu tidak diinginkan pria yang berstatus Ayahnya itu?
"Mas!" Vina—Mama Elisa menyahut, hatinya ikut terkoyak dengan ucapan suaminya sendiri. "Anak itu anugerah buat keluarga kita."
Pria itu beranjak dari duduk, memasukkan tangan ke dalam saku celana bahan hitam yang dipakai. Menatap satu per satu anak-anaknya, terakhir pada istrinya, Vina. Tidak ada satupun yang berani menatap Pratama, Joni maupun Yunaka memilih diam menundukkan kepala dalam.
"Harusnya mereka tau apa tugas seorang anak kalo bukan nurut sama orang tua," ucapnya sembari membenarkan tata letak kacamata.
"Tapi kamu berlebihan ngatur mereka, Mas. Mereka udah besar, Elisa juga bukan anak kecil lagi yang harus kamu atur jalan kehidupannya."
"Ini juga salah kamu terlalu memanjakan mereka! Lihat sekarang kejadiannya, Elisa sudah berani berbuat onar!" Bentaknya nyaris lantang. Suasana mendebarkan semakin menghiasi atmosfer ruangan.
"Justru karena kamu yang selalu nekan Elisa, Mas. Kamu tau sendiri dari dulu Elisa gak pernah tertarik sama dunia photographi, tapi kamu tetep paksa Elisa. Kamu—"
"Anak sama Ibu sama saja! Kamu lihat kolega Mas, anak-anak mereka semua orang-orang sukses, ada yang kuliah di Harvard, ada yang jadi professor, pengusaha besar. Harusnya anak-anak Mas juga bisa seperti mereka."
"Tapi semua anak itu berbeda, Mas. Kamu gak bisa memaksakan keinginan kamu untuk menyejajarkan posisi sama porsi anak mereka dan anak kamu sendiri."
Joni menarik nafas dalam, dia memberanikan diri untuk menatap sang Papa, meski dia tahu Pratama akan tetap keras kepala dengan keinginannya.
"Pah, Mama ada benarnya. Papa gak bisa memaksakan kehendak, bagaimanapun Elisa juga punya cita-cita dan keinginan dia sendiri. Udah lah, Pah. Biarin Elisa jadi diri dia sendiri, Papa gak tau gimana rasanya hidup bergantung dengan topeng."
Kali ini Pratama menatap tajam ke arah Joni. Laki-laki itu menelan ludah yang rasanya sangat keras seperti menelan batu bulat-bulat.
"Joni! Kamu juga sama saja. Harusnya kamu ajarin adik-adik kamu."
Elisa menutup telinganya menggunakan telapak tangan, bersamaan dengan bola matanya yang semakin memanas dan dada yang bergemuruh. Dia tidak mengerti, dimana letak kesalahannya selama ini. Elisa hanya ingin hidup sesuai dengan apa yang dia inginkan, bukan menjalani alur yang sudah ditetapkan Pratama.
Gadis itu beranjak, meninggalkan ruang keluarga yang dia rasa semakin sesak, menahan air matanya yang mungkin akan terjatuh seiring dia menggigiti bibir bawahnya sampai meninggalkan jejak kemerahan di sana. Intuisinya bergerak cepat, Pratama menoleh ketika anak perempuan itu sedikit berlari menaiki anak tangga.
"ELISA! MAU KEMANA KAMU! PAPA BELUM SELESAI BICARA!"
Elisa tidak mendengarkan teriakan Papanya yang terus memanggil namanya.
"Lihat kelakuan anak kamu! Gak ada sopan santun sama orang tua!" Bentaknya pada Vina. Wanita itu mendengus, kenapa dia yang disalahkan?
Elisa membanting keras pintu kamarnya, menguncinya di dalam, tubuhnya merosot seketika bersamaan dengan bulir bening yang jatuh keluar dari pelupuk sangat deras. Gadis itu menangis memeluk lututnya, menyembunyikan isak tangisnya di sana.
Yunaka yang mendengar bantingan pintu dari lantai atas segera beranjak meninggalkan orang tuanya dan Joni yang masih berdebat. Laki-laki itu sudah tahu siapa pelakunya, dia menyusul Elisa dengan tergesa-gesa.
Tok! Tok!
"Elisa! Buka pintunya!" sahut laki-laki itu sambil menggedor-gedor pintu dan mencoba membuka knop pintu yang ternyata sudah dikunci.
"El! Jangan kaya gini dong."
Tok! Tok!
"Buat apa, Bang?! Papa gak bakal denger apa mau gue! Dimata Papa gue cuma boneka mainan dia yang bisa diatur sesuka hati. Gue cape, Bang! Gue cape!" Teriak gadis itu dari dalam, semakin jelas dengan suara isak tangis di sana.
Yunaka kembali membuka paksa knop pintu, walaupun hasilnya tetap sama. "Iya gue tau. Sekarang lo buka pintunya. Cerita sama gue, jangan sedih sendirian, gue Abang lo Elisa,"
Elisa tetap tidak mendengarkan sahutan Yunaka yang kesekian kalinya. Dia mengusap kasar air matanya dengan punggung tangan, lalu beranjak. Pandangan gadis itu tertuju pada jajaran foto dan piala di atas meja panjang yang terletak di dekat jendela kamar. Tangannya mengepal kuat, rahangnya menatup sempurna. Ia melangkahkan kaki lebar menghampirinya.
Detik selanjutnya tangan Elisa mengayun menyingkirkan semua foto, piala kaca, dan pajangan lain yang menjadi sasarannya sampai berjatuhan tanpa sisa.
"AKH!"
Prang!
Prang!
Suara kegaduhan dan pecahan kaca terdengar jelas di gendang telinga Yunaka. Laki-laki itu membulatkan bola mata, dadanya berdetak sangat cepat, dia menggedor pintu sangat keras.
"ELISA! JANGAN GILA! BUKA PINTU SEKARANG! ELISA!"
Suasana kamar Elisa sangat kacau, pecahan kaca bertebaran dimana-mana. Gadis itu berjongkok, menangis pilu, menjambak rambutnya kasar sampai beberapa helaian rambut hitamnya tercabut paksa.
"ELISA! KALO LO GAK BUKA PINTUNYA, GUE DOBRAK SEKARANG!" Terdengar suara pintu yang di dorong Yunaka dari luar, nampaknya laki-laki itu tidak main-main akan mendobrak pintu kamar Elisa.
Tangan yang sedari tadi menjambak rambut tiba-tiba bergetar hebat, bersama dengan tubuh garis itu yang seketika menggigil dan jantung yang berpacu sangat cepat. Elisa segera berlari menggapai nakas di samping ranjang, mengambil botol pet berisi obat kapsul di dalam laci. Tangan yang bergetar itu menuangkan banyak obat, Elisa segera melahap habis obat itu, tidak peduli dengan dosis berlebihan yang mungkin akan membuat gadis itu tak sadarkan diri. Dia mengambil gelas kaca berisi air putih di atas nakas, meneguknya bersamaan dengan banyak obat mengalir melewati kerongkongannya yang dirasa penuh.
"ELISA! CEPET BUKA!"
Elisa menyenderkan punggung di pinggiran ranjang, merasakan lelehan air mata yang kembali menetes. Dia mencengkram kuat gelas yang masih digenggamannya, menyesuaikan detak jantung untuk berdetak normal kembali.
Beberapa saat, dia memperhatikan pantulan cahaya matahari yang berhasil membuat kilauan di gelas beningnya. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu, refleks dia membanting gelas.
Prang!
"ELISA! GUE DOBRAK SEKARANG!"
Dia memungut potongan gelas itu, menggenggamnya kuat sampai cairan merah kental merembes keluar dari celah tangannya.
BRAK!
Benar saja, Yunaka mendobrak pintu kamar Elisa. Laki-laki itu tercengang dengan keadaan kamar adiknya yang nyaris tak berbentuk lagi. Dia segera berlari menghampiri Elisa yang terduduk dilantai.
"ELISA! LO APA-APAAN, HUH?!" seru Yunaka berjongkok dan meraih sebelah tangan Elisa yang terus mengeluarkan banyak darah.
"Lo gila! Kenapa lo lakuin ini, Elisa!"
Gadis itu menolehkan pandangan menatap Yunaka yang tengah menatapnya khawatir.
"Gue, cape, Bang. Gue cape," ucap Elisa lemah.
Yunaka tidak bisa menatap raut wajah kacau sang adik lebih lama lagi, dia memilih memeluk Elisa, menelusupkan kepala gadis itu di dadanya, membiarkan Elisa menangis di sana.
"Lo gak sendirian, Elisa. Masih ada gue. Gue bakal terus dukung lo, apapun keputusan lo." Yunaka mengelus surai hitam Elisa pelan, merengkuh tubuh mungil adiknya erat.
Gadis itu masih menangis sesenggukan dalam pelukan Yunaka. Meski keduanya terkenal sering bertengkar, tapi percayalah, Yunaka adalah sosok kakak yang paling perhatian. Beberapa saat dia hanya membiarkan Elisa menangis, sampai suara isakan itu perlahan hilang.
Yunaka menepuk pelan pipi Elisa. "El?"
Yang dia lihat hanyalah gadis itu yang tertidur, Yunaka segera memindahkan Elisa ke atas kasur. Dengan cekatan, dia membersihkan luka di tangan sebelah kiri Elisa dengan telaten, memberi obat yang tersedia di kotak P3K di sana.
"Kenapa lo ngelakuin ini sih, El," ujarnya bergumam, membereskan kembali beberapa obat-obatan yang sudah dipakai, menyimpannya di dalam laci nakas.
Sorot mata Yunaka tertuju pada botol pet kecil yang tergeletak di atas lantai, dan beberapa kapsul keluar dari wadahnya. Dia memungut botol pet itu.
"Benzodiazepine." Yunaka mengerutkan kening setelah membaca tulisan di pinggiran botol. Laki-laki itu segera memasukkannya ke dalam saku celana.