Chereads / Surat untuk Atlanta / Chapter 19 - Bagian 19 : Atlanta said

Chapter 19 - Bagian 19 : Atlanta said

Pagi-pagi buta, Elisa sudah bersiap untuk pergi ke sekolah. Dia sengaja berangkat saat matahari masih malu-malu menampakkan cahaya hangatnya. Hanya sendiri, tidak dengan Joni yang selalu mengantar gadis itu ke sekolah. Suasana hatinya ternyata belum kembali pulih setelah perdebatan kemarin dengan sang Papa. Bukan maksud hati menentang kepulangan Pratama, pasalnya pria itu kembali hanya untuk menekan dan mewujudkan semua keinginannya, tidak peduli dengan jerit hati Elisa yang terus memberontak.

Menelusuri trotoar menuju sekolah yang berjarak cukup jauh, Elisa merapatkan jaket berbulu, menghalau udara dingin yang menusuk. Sesekali kaki jenjangnya menendang batu kerikil yang menghalangi jalannya.

Masih dengan pandangan menunduk, Elisa tidak peduli dengan keadaan sekitarnya, dengan kendaraan yang mulai berlalu lalang jarang, dengan orang-orang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Dia mengeluarkan sebelah tangannya yang ada di dalam saku jaket, menatap perban yang melilit di sana, anehnya dia tidak merasakan apa-apa, seperti mati rasa bahkan gadis itu sangat ingat bagaimana kemarin dia melukai telapak tangannya, untuk menangis saja rasanya sangat sulit, seolah air mata itu sudah mengering.

Elisa menarik nafas panjang, kepulan asap hangat keluar dari mulutnya ketika dia menghempaskannya pelan. Sepertinya gadis itu kehilangan semangat dan senyumannya.

Tiba-tiba langkah kakinya terhenti, setelah melihat sepasang kaki berdiri tepat di depannya. Elisa mengangkat kepala perlahan, menengadah untuk melihat orang itu. Manik matanya menatap obsidian bening milik laki-laki yang tengah tersenyum lembut padanya.

"Atlanta?"

Laki-laki itu tersenyum lebar, kemudian menggerakkan tangannya pelan.

"Kenapa kamu di sini?"

"Kamu juga, kenapa di sini?"

Perlahan sudut bibir Elisa terangkat, laki-laki di depannya mengusak lembut puncak kepala Elisa, tanpa mengurangi senyum indahnya. Ah, sejak kapan laki-laki itu berani bersikap manis?

"Ayo, berangkat sama-sama. Naik sepeda."

"Naik sepeda?"

Atlanta mengangguk, menunjuk sepedanya yang terparkir di samping jalan khusus pengendara sepeda, Elisa mengikuti arah telunjuk Atlanta. Laki-laki itu berjalan menuju sepedanya, Elisa mengekorinya di belakang.

"Ayo, naik," katanya setelah menumpangi sepeda.

Gadis itu menaiki pijakan diantara ban belakang sepeda, menjadikan pundak laki-laki itu sebagai pegangannya. Atlanta mulai mengayuh pedal, menjalankan sepedanya dengan kecepatan sedang.

Lengkungan di sudut bibir Elisa kembali terangkat, dia memperhatikan helaian rambut hitam Atlanta yang tersapu angin sampai menguarkan bau shampo manis dari rambutnya.

Elisa menengadahkan kepala ke atas, memejamkan matanya, menarik nafas, merasakan udara sejuk yang masuk melewati rongga hidungnya. Entah, rasanya sangat berbeda, menyaksikan piringan matahari yang mulai menampakkan cahayanya di ufuk timur, seperti menyaksikan moment paling menakjubkan. Apalagi bersama Atlanta, laki-laki yang kini tengah mengayuh sepeda, seseorang yang mampu mengembalikan senyum Elisa, laki-laki sempurna dengan semua kesederhanaannya.

Tidak terasa, mereka menghabiskan waktu selama lima belas menit dalam perjalanan menuju sekolah. Atlanta memarkirkan sepedanya di parkiran yang masih lenggang dengan kendaraan beroda dua. Gadis itupun turun dari sepeda, diikuti Atlanta.

"Kenapa kamu datang sepagi ini?" tanya Elisa, sembari membenarkan posisi ranselnya.

"Aku harus bersih-bersih kelas."

Elisa menganggukan kepala, dia kembali melangkahkan kaki, menyejajarkan posisi di samping Atlanta. Mereka sama-sama menelusuri lorong yang masih sepi, dan agak gelap. Ah, ternyata sangat menakutkan, gadis itu bisa merasakan bagaimana bulu halus di area tangan yang tertutupi kain tebal itu meremang. Elisa menolehkan pandangan ke samping, melihat Atlanta yang berjalan tampak biasa, mimik wajahnya tidak menunjukkan adanya tanda-tanda ketakutan. Anggaplah dia penakut, tapi memang kenyataannya seperti itu, gedung sekolah yang terkenal besar itu memang terkesan horror jika dalam keadaan sepi.

Elisa berdehem, sedang mencoba mencairkan suasana. "Kamu gak takut emang?"

Laki-laki itu menggelengkan kepala, kemudian menghempaskan nafas.

"Terus, apa yang bikin kamu takut?"

Pertanyaan itu praktis membuat Atlanta menoleh. "Kehilangan kamu."

Elisa membulatkan mata, dadanya berdebar di atas normal. Dia tidak bodoh dengan gerakan tangan laki-laki itu.

"A-apa? Kamu tadi bilang apa?" ucapnya gugup.

Atlanta hanya tersenyum, menggelengkan kepalanya lagi, lalu memalingkan wajah ke arah depan. Gadis itu hanya mendengus, dan kembali menyejajarkan langkah dengan Atlanta yang berjalan sedikit lebih dulu darinya.

Di depan kelas, tangan laki-laki itu membuka gagang pintu, hingga menampakkan suasana kelas yang sangat kosong, hening, dan gelap. Dia mencari saklar lampu di belakang pintu, yang mampu menyalakan dua lampu kelas sekaligus.

Elisa berjalan lebih dulu menuju bangkunya, diikuti dengan Atlanta. Setelah menyimpan ranselnya di atas meja, Atlanta mengambil sapu yang tersimpan di pojok kelas.

Gadis menoleh. "Kemana yang lain? Kok cuma kamu doang yang piket?" tanyanya sembari menumpu dagu di bangku belakang, memperhatikan Atlanta yang mulai menyapu bagian belakang kelas.

"Karena jadwalnya hanya aku saja."

Elisa mengerutkan kening, darimana sejarahnya jadwal piket hanya diikuti oleh satu orang? Orang-orang di kelas tentu sangat cukup jika dibagi enam kelompok untuk jadwal piket bukan? Gadis itu beranjak, mengambil sapu, membantu Atlanta membersihkan kelas.

"Mulai sekarang aku bakal piket sama kamu. Toh aku belum punya jadwal piket 'kan?" ucapnya sembari menyapu.

Laki-laki itu segera menghampiri Elisa yang sedang menyapu daerah yang berlawanan dengannya, sorot matanya tertuju pada sebelah tangan kiri gadis itu. Dia segera mencekal pergelangan tangan Elisa pelan, membuat gadis itu menengadahkan kepala.

"Tangan kamu kenapa?"

Elisa segera melepaskan genggaman tangan Atlanta. Laki-laki itu menatap lamat Elisa seperti meminta penjelasan.

"Gapapa kok. Kemaren a-aku, itu cuma jatoh aja kok," ujarnya. Dia kembali menyapu lantai di bangku pojok, sedikit menjaga jarak dengan Atlanta, tidak terlalu memperhatikan raut wajah Atlanta yang sangat khawatir kala itu.

Sudah jelas laki-laki itu tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan Elisa. Dia merasa ada yang sedang ditutupi gadis itu. Atlanta kembali menghampiri Elisa, melepaskan sapu yang tengah dipegang gadis itu, menuntun Elisa untuk duduk di kursi. Atlanta berjongkok dengan sebelah lutut sebagai tumpuan, kembali memegangi tangan Elisa yang dililit perban, mengelusnya pelan seolah takut gadis itu akan kesakitan.

Elisa hanya diam, memperhatikan kegiatan Atlanta, sapuan lembut dari tangan bertekstur sedikit kasar Atlanta mampu membuat hatinya terenyuh, rasanya dia ingin menangis, berhambur memeluk laki-laki itu, dan mencurahkan semua keluh di hatinya.

Atlanta menengadah, menatap manik mata Elisa yang berkaca-kaca, lalu tersenyum, menggerakkan tangannya.

"Jangan sakit."

Yang dilakukan Elisa hanya mengangguk, mengiyakan ucapan Atlanta.

Drrttt

Suara getaran dari smartphone Elisa membuyarkan suasana. Hampir saja dia menangis jika saja notifikasi panggilan telpon tidak menyahut. Elisa merogoh smartphone di dalam jaket yang masih dia pakai, membuka pesan WhatsApp.

Feelingnya benar, Joni dan Yunaka mengiriminya banyak pesan dan panggilan yang tak terjawab. Elisa tidak berniat memberi panggilan kembali, dia memasukkan lagi smartphonenya, mengubah setelan ke mode pesawat.

Atlanta kembali menggerakkan tangannya lagi, membuat Elisa menolehkan pandangannya.

"Kalo ada masalah, jangan disimpan sendiri. Kalo kamu butuh teman untuk cerita, aku siap denger. Kamu gak bisa lari dari masalah, karena masalah itu akan selalu ngejar kamu, dan nantinya kamu lelah, lalu menyerah kalo kamu gak mau menghadapinya."