Chereads / Surat untuk Atlanta / Chapter 16 - Bagian 16 : Laki-laki berhati malaikat

Chapter 16 - Bagian 16 : Laki-laki berhati malaikat

Malam hari adalah waktu di mana orang-orang akan memanfaatkannya untuk beristirahat, memberi fisik maupun pikiran untuk rehat sejenak dari penatnya pekerjaan di siang hari. Tetapi tidak bagi Atlanta, laki-laki itu masih bergelut dengan tumpukan piring kotor di wastafel besar.

Hari ini restoran tempatnya bekerja sedang ramai pengunjung. Mungkin alasan yang pasti kenapa restoran itu ramai adalah karena bertepatan di akhir pekan. Restoran bernuansa khas Eropa yang terletak di dalam komplek perumahan itu cukup terkenal dengan menu andalan seperti filet mignon, black angus, dan hati angsa, ketiganya disajikan dengan presentasi yang cantik layaknya restoran fine dining. Konsep gedung putih cukup memesona pandangan, dengan mengadopsi gaya rumah mansion dengan kaca besar di setiap sudut, arsitektur ruang tertutup dan balkon semi terbuka menyajikan pemandangan kebun rimbun, menjadi alternatif anak-anak muda untuk menghabiskan waktu di sana bersama kerabat maupun keluarga.

Laki-laki itu masih menggosok satu per satu piring dengan spons penuh sabun busa, mengabsen setiap noda saus dan bumbu secara bergantian dan merata. Kelopak matanya boleh saja sudah mencapai titik lelah, sudah jelas dengan perubahan warna di sana yang menjadi kemerahan. Tak apa, besok ia akan beristirahat dengan tenang di rumah, biarlah malam ini dia berjuang sedikit lagi untuk mencapai garis finish tutupnya restoran.

"Atlanta." Laki-laki itu menoleh seketika mendengar ucapan seseorang. Pria dewasa dengan setelan koki berwarna hitam putih lengkap dengan topi dan apron chef menghampirinya, menepuk pelan bahu lebar Atlanta seraya tersenyum.

"Kalo cape, gapapa, kamu pulang saja," katanya lembut, mengusap punggung laki-laki yang sangat sungkan itu.

Atlanta segera menggelengkan kepala, memberi tahu bahwa dia baik-baik saja, meski air wajahnya tidak bisa membohongi keadaan laki-laki itu yang sangat membutuhkan istirahat.

"Kamu ini, pekerja keras sekali. Harusnya kamu jangan dulu bekerja, saya sudah ingatkan kamu dari dulu, tugas kamu itu belajar, jadi anak pintar. Saya yakin waktu belajar kamu pasti tersita karena harus bekerja paruh waktu di restoran seperti ini," ujar pria itu.

Atlanta hanya menanggapi ucapan pria di depan depan senyum manis, praktis membuat pria yang menjabat sebagai kepala koki di sana menghela nafas pendek, menepuk kembali bahu Atlanta seperti memberi sengatan semangat sebelum dirinya mengangguk, mengiyakan keinginan laki-laki itu untuk bekerja sampai selesai.

"Ya sudah, kalo sudah beres, nanti kamu ke ruangan saya dulu. Ada hal yang perlu saya sampaikan," katanya. Atlanta membungkukkan badan sekilas, menatap pria itu yang kembali membalikkan badan meninggalkan Atlanta.

Baik, Atlanta mengambil satu piring untuk dicucinya kembali, membersihkannya dari sabun dengan air dingin yang otomatis keluar dari keran wastafel, lalu menyimpannya di atas dry fryer yang ukurannya dua kali lebih besar dari pengering piring yang ada di rumahnya.

Selain mencuci piring, laki-laki itu juga sering membantu para koki menyiapkan sajian jika sedang waktu kosong. Sedikit demi sedikit ilmu yang di dapat Atlanta dari dapur itu mampu membuat dirinya menjadi lebih mandiri, tidak mengandalkan siapapun untuk sekedar mengisi perutnya.

Malam hampir larut, para pengunjung satu per satu pamit meninggalkan tempat yang sempat mereka singgahi untuk menghabiskan malam yang saat itu dipenuhi bintang bertaburan di atas langit. Tidak terkecuali Atlanta, ia melepas sarung tangan karet yang dia pakai untuk mencuci piring, dia mulai bernafas lega, pekerjaannya sudah selesai. Atlanta segera pergi ke ruangan berukuran sedang, yang ada di ujung dapur.

Tok ... Tok

Cklek

Laki-laki itu sedikit mencondongkan badan, pria dewasa yang tengah terduduk di kursi kebesarannya sebagai kepala koki kini mengangkat kepala.

"Masuk saja, Ata." Dia mengulurkan tangan, mengisyaratkan Atlanta untuk duduk di kursi yang tersedia di depannya.

"Gimana kerjaan hari ini? Cape, ya?"

Atlanta mengambil memo kecil di dalam saku celananya, menulisnya dengan pulpen yang ukurannya nyaris sama dengan memo.

"Semua pekerjaan gak ada yang gak cape, Pak. Kalo Ata gak kerja dan gak cape, Ata gak bisa bayar SPP sekolah."

Pria itu terkekeh sebentar, ikut tersenyum ketika Atlanta melempar senyum padanya, lalu berkata, "Kamu emang anak yang hebat, Ata. Oh iya, hari ini kamu gajian 'kan. Ini, dihitung dulu uangnya," ucap pria itu, memberikan amplop berwarna putih yang berisi upah Atlanta selama satu bulan  bekerja.

"Dan ini, saya sengaja buatkan kamu makan malam, sayang kalo bahan-bahan di dapur tidak dipakai, kalo disimpan besok takutnya udah gak segar lagi." Dia memberikan satu bungkus styrofoam berisi makanan pada Atlanta.

Atlanta menerimanya sopan. Sungguh, dia sangat senang, walaupun memang tidak seberapa, tapi dia berusaha mencukupinya sebaik mungkin.

"Terima kasih, Pak, karena Bapak sudah mau mempekerjakan saya di sini. Saya sangat berterimakasih, saya akan bekerja sebaik mungkin,"

Setelah membacanya, dia tersenyum lembut menatap ke arah Atlanta, kemudian mengangguk. "Sama-sama, saya juga senang kamu mau bekerja di sini. Sudah malam, kamu boleh pulang sekarang. Hati-hati, ya."

Atlanta beranjak dari duduknya, menjabat tangan pria itu dengan tatapan bersemangat sebelum akhirnya dia hilang ditelan pintu kayu ruangan itu. Dengan langkah gembira, Atlanta mengayunkan tungkainya menuju tempat parkir karyawan yang sudah sangat sepi, menghampiri sepedanya yang sengaja dia parkirkan dekat dengan gerbang besi menjulang tinggi.

Dengan kecepetan sedang, Atlanta mengayuh sepeda menghadang jalanan lenggang kota. Sesekali dia menatap langit yang sangat indah malam itu, sinar bulan purnama seakan mengiri perjalanannya dengan cahayanya yang terang, mengamati setiap bintang gemerlap yang ikut menjadi saksi terbentuknya lengkungan indah di kedua sudut bibir Atlanta. Gemuruh angin malam dan hawa dingin yang menusuk relung raga seolah tak dihiraukannya sama sekali dan jaket yang melilit tubuhnya tidak bisa menghalau sepenuhnya.

Bertepatan dengan dia melewati jajaran ruko pinggir jalan, sorot matanya menatap langsung pada sosok serba lusuh tengah tertidur di depan salah satu toko kelontong, dengan satu kardus yang menjadi alasnya. Atlanta segera memarkirkan sepeda tak jauh dari sana, menghampiri pria tua berumur 80 tahunan yang sedang tidur meringkuk memeluk lutut.

Seketika, kakek itu terbangun dari tidurnya saat mendengar langkah kaki Atlanta yang dibuat nyaris sangat pelan. Atlanta tersenyum, duduk bersila menyejajarkan posisi dengan kakek yang sudah lebih dulu terduduk setelah mengetahui kedatangannya.

Kakek itu menggerakkan tangan.

"Kenapa kamu belum pulang?"

Atlanta segera membalasnya. "Ata habis pulang kerja, Kek. Ata juga pengen ketemu Kakek. Ini, Ata ada sedikit makanan dari restoran." Atlanta memberikan kantong plastik yang dibawanya.

"Kakek udah makan?"

Kakek menggelengkan kepala singkat. Tanpa diperintah, Atlanta membuka styrofoam, menampakkan makanan yang cukup mewah jika dipadukan dengan piring putih ala restoran bintang lima.

"Kamu pasti belum makan, ya? Ayo, kita makan sama-sama."

Atlanta kembali tersenyum, menyanggupi ajakan Kakek yang begitu antusias membagi makanan itu. Tempat boleh saja tidak berjodoh dengan menu makan malamnya, tapi setidaknya, Atlanta merasa cocok di sana. Berbagi rezeki dengan orang-orang yang sama dengan dirinya, sedikit mengurangi beban yang mungkin sama-sama dirasakan.