Kring
Suara bel berbunyi tepat ketika jarum jam mengarah pukul 10.00, praktis membuat murid-murid bersorak senang. Tidak terkecuali Elisa, gadis itu segera membereskan semua peralatan tulis menulisnya ke dalam tas ransel.
"Atlanta, ayo." Ajak Elisa pada laki-laki yang membalasnya dengan anggukan ringan.
Gadis itu beranjak dari duduknya, meraih tangan Atlanta seakan dijadikan sesuatu untuk digenggamnya. Langkah kaki Elisa menuntun tungkai laki-laki itu untuk mengikutinya, seiring dengan tarikan tangan mungil Elisa yang melilit dipergelangan tangannya.
Masih dengan senyum yang melebar, Elisa masih memikirkan bagaimana interaksi Jay dan Atlanta nanti, dia pikir akan sangat menyenangkan jika dua orang laki-laki yang berstatus temannya itu akan sama-sama menghabiskan waktu istirahat dengan obrolan ringan, menceritakan bagaimana kisah masa kecil mereka.
Tepat di depan ambang pintu kelas, iris mata Elisa terpaku dengan sosok laki-laki jangkung yang tengah berdiri di depan koridor, menyenderkan punggungnya di pagar pembatas. Elisa segera melambai dengan sebelah tangannya yang menganggur.
"Jay!"
Bukannya mendapat tatapan menyenangkan dari Jay, justru Elisa melihat pandangan tidak bersahabat dari laki-laki itu. Bagaimana cara pandang Jay yang sangat tajam tertuju pada Atlanta, seolah akan menusuk laki-laki itu kapan saja. Tapi gadis itu berpikir mungkin saja Jay masih merasa asing dengan Atlanta.
"Jay, aku mau kenalin kamu sama—"
"Ikut aku sekarang," Jay memotong ucapan Elisa. Detik selanjutnya Jay melepaskan tangan Elisa yang masih setia menggenggam tangan Atlanta erat, membuat gadis itu menautkan alis dan bertanya-tanya.
Jay segera menarik tangan Elisa, membawa gadis itu pergi menjauh. Sementara Atlanta, dia masih terkejut dengan apa yang terjadi seolah sebuah alur yang sudah direncanakan sebelumnya. Dia hanya menatap Elisa yang dibawa pergi oleh saudaranya sendiri tanpa berniat mencegah laki-laki itu.
Beberapa kali Elisa menolehkan pandangan ke belakang, hanya untuk melihat Atlanta yang mungkin akan sama-sama terkejut sama seperti dirinya. Dari kejauhan, Elisa masih bisa melihat bagaimana Atlanta yang sudah menundukkan kepalanya, kemudian berbalik badan memasuki kelas kembali.
Jay tidak mempedulikan ringisan Elisa yang mengaduh sakit di area pergelangan tangannya yang ditarik paksa oleh laki-laki itu. Dia pun tidak berniat untuk menyakiti Elisa, namun rasa bencinya terhadap Atlanta mampu membutakan kewarasannya saat itu juga.
Sesampainya di kantin, Jay melepaskan cengkraman tangannya, dia beralih menunjuk bangku kosong di depan, mengisyaratkan gadis itu untuk duduk di sana. Tanpa babibu, Elisa segera mendudukkan bokongnya kasar, menatap lamat pada laki-laki yang kini duduk di sampingnya dengan tatapan meminta penjelasan.
"Kamu kenapa sih, Jay? Kenapa tadi ninggalin Atlanta gitu aja?" ucapnya kemudian.
Masih dengan tatapan datar, Jay berkata, "Sejak kapan kamu kenal sama dia?"
Gadis itu kembali menarik sebelah alis, merasa ada yang berbeda dengan Jay. Dari nada bicara laki-laki itu, sudah jelas Jay tidak menyukai Atlanta.
"Jay, kamu kenapa—"
"Jawab pertanyaan aku, Elisa!" Gadis itu tersentak dengan suara tinggi yang dilontarkan padanya. Dia menatap nanar laki-laki yang saat itu berubah ekspresi. Tergambar jelas Jay sangat marah, rahangnya mengatup sempurna, dan sorot mata tajam tidak pernah hilang menghiasi manik mata Jay.
"D—dia, temen sebangku aku, Jay," ucap Elisa yang nyaris pelan.
Tidak bisa disangkal, sudut bibir Jay terangkat, dia berdecak ketika mendengar jawaban gadis itu.
"Jauhin dia," katanya, yang berhasil membuat Elisa membulatkan mata.
"Kenapa? Dia orang baik, Jay. Kenapa aku harus jauhin dia?" Elisa kembali dengan meluncurkan pertanyaan-pertanyaan yang sudah menumpuk dalam pikirannya.
"Karena dia anak haram, bisu."
Sedikit tidak percaya dengan ucapan Jay, Elisa menatap laki-laki itu nyalang, hatinya ikut merasakan sakit dan sesak ketika mendengar sebuah kalimat yang mampu merobek perasaan orang yang dimaksud Jay. Bagaimana jika Atlanta mendengar ucapan itu secara langsung, bagaimana perasaan laki-laki itu ketika mendengarnya. Semudah itukah Jay meluncurkan kalimat menyakitkan tadi?
Jay memalingkan wajahnya, mengambil daftar menu yang tersedia di atas meja. "Aku gak mau kamu deket sama dia lagi, kalo perlu kamu pindah bangku aja," katanya. "Sekarang, kamu mau pesen apa?"
Elisa masih bungkam, sorot mata kecewa masih tercipta di wajah cantiknya, seolah pikiran gadis itu kosong, hilang entah kemana.
"Ey, bro! Tumben ke kantin." Suara berat yang terdengar seperti sapaan berhasil membuat keduanya kompak mengangkat kepala, melihat siapa pemilik suara yang baru saja datang menghampiri mereka dan duduk di depan.
Jay membalas adu kepalan tangan yang lakukan laki-laki itu. "Iya nih, gue lagi free."
Laki-laki itu mengangguk paham, kemudian pandangannya menoleh ke arah Elisa yang sama-sama sedang memandangnya.
"Wow! Suprise! Akhirnya, kita ketemu lagi, princess," sahutnya yang dibuat-buat merasa senang melihat gadis itu. Elisa berdecih, menarik sebelah bibir malas.
Oh, apakah dunia sesempit itu? Ataukah memang ruang gerak sekolah yang sangat terbatas sampai gadis itu harus bertemu lagi dengan laki-laki yang menyandang gelar preman tampan sekolah.
"Dasar, emang anak dakjal, ada dimana-mana," ucapnya sarkas, Elisa menyilangkan kaki dan melipat tangan, menyenderkan punggung di kepala kursi masih dengan tatapan sinis pada laki-laki di depannya.
Theo beralih mengetukkan kukunya di atas meja, dan membalas tatapan sinis dari Elisa dengan senyum smirk mematikan yang dimilikinya. Jay menatap secara bergantian Elisa dan Theo.
"Kalian, udah saling kenal?" tanya Jay.
"Kenal dong. Dia 'kan cewek yang kemaren gue ceritain sama lo, Jay. Superheronya si bisu." Ungkapnya berterus terang, tidak lupa kekehan kecil yang keluar dari mulut Theo.
"Sialan, dia punya nama, bukan si bisu," ujar Elisa tak terima.
Theo mengangguk pelan. "Dih, marah dia. Iya deh iya, namanya Atlanta 'kan?" katanya. "Ah, lebih enak manggil si bisu, gatel banget lidah gue kalo manggil namanya." Laki-laki itu tertawa ringan, dan entah apa yang sedang ditertawakannya. Bolehkah Elisa menganggap laki-laki di depan sedikit gila?
Brak!
Gadis itu menggebrak meja, kemudian berdiri tegak, jari telunjuknya melayang ke arah Theo yang sudah mengambil ancang-ancang mengangkat kedua tangan seolah siap siaga dengan seorang polisi yang hendak menembaknya.
"Sekali lagi lo panggil Atlanta kaya tadi, gue robek bibir sialan lo itu!" Tegasnya penuh penekanan. Dadanya menggebu seketika, Elisa tidak bisa menahan amarahnya lagi, dia tidak mengerti dengan manusia modelan Theo, Lucas maupun Mark, atau bahkan manusia lain yang mungkin belum terungkap.
"Salah gue apa? Toh emang kenyataannya gitu 'kan? Si Atlanta emang bisu. Lo gak bisa memutar balikkan fakta dong," ujar Theo membela diri.
Elisa kembali mendelik. "Anj—"
"ELISA HAURATAMA!" Jay menyahut cukup keras, sontak membuat Elisa segera menoleh padanya, menengadahkan kepala menatap laki-laki jangkung yang sudah berdiri menjulang di sampingnya.
"Jangan pernah kamu belain dia lagi!" sahutnya lagi.
Elisa menghempaskan nafas berat. "Jay! Aku gak bisa liat orang-orang sialan kaya Theo rendahin Atlanta gitu aja. Aku tau dia bisu, tapi gak seharusnya mereka rendahin Atlanta karena kekurangan dia. Kamu gak akan tau gimana rasanya jadi dia, setiap hari dia harus nerima ejekan orang-orang. Gimana perasaan kamu kalo ada di posisi Atlanta, huh?!"
Jay berdecak, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Dia bukan siapa-siapa kamu, Elisa. Berhenti belain orang itu, jangan deket-deket sama dia lagi. Dia gak pantes ada di deket kamu. Jangan pernah libatin masalah yang berhubungan sama si bisu itu. Dia emang pantes di hina!"
Plak!
Elisa mengatupkan rahang, air wajahnya berubah memerah. Sejujurnya Elisa tidak berniat menampar Jay, tapi ketika telinganya mendengar kalimat yang seharusnya tidak diucapkan laki-laki itu, telapak tangannya bereaksi tanpa diperintah.
Jay masih memegangi pipinya yang terasa panas.
"Lo, bukan Jay yang gue kenal. Gue kecewa!" Elisa pergi begitu saja setelah mengungkapkan rasa kekecewaannya pada Jay, melangkahkan kaki lebar meninggalkan kantin. Selera makan siangnya tiba-tiba hilang, lenyap bersamaan dengan rasa percayanya pada Jay. Dia merasa laki-laki itu bukan temannya waktu kecil, dia tahu Jay tidak akan menyakiti hati orang lain. Tapi sekarang, gadis itu berfikir bahwa Jay tidak jauh berbeda dengan orang-orang itu, sebagai manusia tidak berperasaan.