Di depan pintu kelas, Elisa masih berdiri di sana. Gadis itu tanpa bosan memperhatikan kegiatan laki-laki di dalam, laki-laki manis yang sedang sibuk mengerjakan beberapa buku pelajaran, dan Elisa yakin buku-buku yang berjejer di atas meja Atlanta bukan milik laki-laki itu. Hal itu sudah bisa dijelaskan bagaimana ada dua orang laki-laki lain yang dengan seenaknya duduk di atas meja maupun kursi miliknya tanpa permisi, siapa lagi jika bukan Lucas dan Mark.
Rupanya anak-anak nakal itu tidak pernah mendengarkan ucapannya tempo hari. Mereka masih saja mengerjai Atlanta, meski gadis itu beberapa kali mengancam akan memberi bogeman pada keduanya jika masih memperlakukan Atlanta sesuka hati.
"Cepetan dong ngerjainnya, bentar lagi bel," ucap Lucas. Mulutnya tidak pernah berhenti mengunyah kuaci, dan membuang asal cangkangnya di atas lantai. Begitu juga dengan Mark, laki-laki yang tengah bersila di atas meja dengan santainya membuang cangkang kuaci ke atas buku yang tengah dikerjakan Atlanta, membuat laki-laki itu berkali-kali menyingkirkan serpihan dan cangkang yang sengaja dibuang oleh Mark.
"Lama amat ngerjain segitu juga. Kapan mau maju kalo lemot," kata Mark disertai kekehan kecil.
Elisa menyunggingkan senyum, kedua tangannya mengepal, entah mengapa kepalan tangannya tiba-tiba terasa gatal dan ingin segera meninju mulut bedebah Lucas dan Mark. Gadis itu melangkahkan kaki lebar memasuki ruang kelas yang sudah penuh dengan murid-murid. Masih dengan tatapan tajamnya, Elisa tidak segan-segan menggebrak meja samping bangkunya yang entah milik siapa.
Brak!
Lucas dan Mark seketika terperanjat, bungkus kuaci yang sedari tadi digenggam Lucas terhempaskan begitu saja, berceceran di atas lantai dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
"Ngapain duduk di bangku gue, huh?! Lo berdua pada gak punya bangku?!" sahut gadis itu nyaris lantang, membuat seluruh perhatian murid-murid lain tertuju padanya.
Keduanya masih mengelus dada, menyesuaikan detak jantung yang berdetak cepat. Tidak terkecuali Atlanta, dia menoleh setelah ikut terkejut akibat gebrakan gadis itu sebelum melanjutkan kembali tugasnya, lebih tepatnya tugas milik Lucas dan Mark.
"Selo, elah. Galak banget jadi cewek. Noh, kuacinya jadi jatoh gara-gara lo, kuaci mahal tuh, oleh-oleh bapak gue dari Hongkong." Celetuk Lucas, masih dengan ekspresi terkejut tergambar diwajahnya.
Elisa merotasikan bola mata, berkacak pinggang, menatap satu per satu kedua laki-laki blasteran di depannya, membuat Lucas dan Mark ketakutan. Atensi Elisa beralih ke arah lantai yang kotor akibat kegiatan bodoh keduanya, banyak cangkang kuaci berserakan, apalagi di daerah bangku Elisa.
"Maksudnya apa nih? Lo berdua ngotorin bangku gue, huh?! Seenak jidat aja lo! Beresin!" serunya, Lucas dan Mark mengerjapkan mata.
"T—tapi kita gak piket hari ini, ngapain harus beres-beres," kata Mark dengan entengnya, membuat gadis itu mendengus, menyunggingkan sebelah bibir yang mampu membuat bulu kuduk keduanya berdiri.
"Gue gak peduli lo berdua piket kapan. Pokoknya sekarang kalian beresin bekas cangkang cemilan kalian!" Jari telunjuk Elisa menunjuk arah cangkang kuaci yang diinjaknya.
Melihat reaksi kedua laki-laki itu yang hanya diam memandangi tanpa beranjak dari bangkunya, Elisa kembali berdecak, menggulung lengan seragam dan berkacak pinggang lagi.
"Kalian berdua budeg?!" Kedua tangan Elisa terulur, menjewer daun telinga Lucas dan Mark sekuat tenaga sampai memerah, membuat keduanya beranjak dari bangku dan mengaduh kesakitan. "CEPET! GAK USAH LEMOT, KAPAN MAU MAJU!"
"I—iya lepasin dulu dong. Kalo kuping gue copot gimana!" sahut Lucas yang sedang berusaha melepaskan jeweran Elisa.
"Denger gak! Cepet beresin!" serunya lagi. Elisa berhasil melampiaskan perasaan kesal yang sejak tadi mencapai puncak ubun-ubun.
"Denger! Lepasin, sh, sakit astaga!"
Elisa melepaskan jeweran sembari mendorongnya, membuat Lucas dan Mark terjerembab di atas lantai. Keduanya masih memegangi sebelah telinga yang terasa panas sekaligus berdengung.
Merasa belum puas, Elisa menghentakkan kaki. "CEPET! Mau gue jewer lagi, huh?!" Cepat-cepat mereka segera bangkit dengan tergopoh-gopoh berlari ke belakang kelas untuk membawa sapu, melupakan rasa sakit di area lutut yang terantuk dengan lantai cukup keras.
Elisa menghela napas ketika memperhatikan gerak-gerik kedua laki-laki itu, kemudian dengan leluasa duduk di kursinya, menyimpan tas di atas meja. Pandangan Elisa menoleh ke arah Atlanta yang masih bergelut dengan tugas-tugas milik Lucas dan Mark yang seharusnya tidak dikerjakan oleh laki-laki itu.
"Kamu kenapa sih, mau aja disuruh-suruh sama mereka. Itu 'kan bukan pekerjaan kamu," ucap Elisa. Atlanta segera menoleh, dan hanya tersenyum menanggapi ucapan Elisa.
Sekali lagi, gadis itu menghempaskan nafas berat, dan merampas semua buku yang ada di atas meja Atlanta, melayangkannya di udara ketika laki-laki itu hendak mengambil kembali buku milik Lucas dan Mark.
"Aku gak mau liat kamu ngerjain tugas mereka lagi. Paham!" Tegasnya memberi peringatan pada Atlanta, laki-laki yang selalu pasrah dengan keadaan, laki-laki yang selalu merelakan harga dirinya diinjak orang lain.
Terkadang, gadis itu selalu berfikir, terbuat dari apa hati seorang Atlanta, dia selalu mengalah untuk orang-orang yang bahkan sama sekali tidak pernah menghargainya.
Elisa segera berbalik badan, menoleh ke arah Lucas dan Mark yang sedang membersihkan bekas cangkang kuaci sembari mendumel tidak jelas.
"Heh!" Elisa melempar buku keduanya ke lantai, bersamaan dengan sampah yang hendak disapu oleh mereka. "Tuh kerjain sendiri, gak usah nyuruh-nyuruh Atlanta buat ngerjain tugas kalian. Tangan kalian masih lengkap 'kan? Otak juga masih bisa mikir 'kan? Awas aja kalo besok-besok lo berdua masih jadiin Atlanta babu."
Lucas menatap buku miliknya yang tergeletak di sana, kemudian menarik sebelah bibir. Baru kali ini dia diperlakukan seenaknya oleh seseorang, terlebih perempuan.
"Kalo bukan karena lo cewek, udah gue ajak sparring di lapang," gumamnya setelah memungut buku itu.
"BILANG SEKALI LAGI!" ucap Elisa lantang, Lucas mengerjapkan mata dua kali, mengangkat jarinya membentuk huruf V, tidak lupa cengiran yang terpatri di bibirnya.
Seketika gadis itu mendelik, memalingkan wajah pada Atlanta yang masih terdiam. Gadis itu mengulum bibir, ragu untuk memulai perbincangan dengan laki-laki itu. Atlanta kembali mengantongi pulpen yang sempat dia pakai, dan Elisa mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, mengambil lunch box pemberian Jay, menyimpannya di atas meja.
Elisa kembali menoleh, dia menarik nafas. Gadis itu tidak sabar ingin menyombongkan hasil belajar bahasa isyaratnya kemarin.
"Atlanta." Laki-laki itu menoleh.
Elisa mengangkat tangan, lalu menggerakkannya pelan.
"Mau makan sama aku?"
Kedua bola mata Atlanta membulat sempurna setelah membaca gerakan tangan Elisa. Dia tersenyum lebar, dan menggerakkan tangannya.
Kerutan di kening Elisa kentara. "Makan apa?" tanyanya memastikan. Laki-laki di depan mengangguk antusias, praktis membuat sudut bibir Elisa terangkat lagi.
Beberapa saat Elisa tampak berfikir sebelum kembali menggerakkan tangannya dengan kaku.
"Makan salad. Kamu mau gak?"
Gadis itu mengambil salad, membuka tutup lunch box di depan Atlanta. Laki-laki di depan hanya memperhatikan kegiatan Elisa ketika gadis itu menyendokkan satu suap untuknya, Atlanta segera menggelengkan kepala.
"Kenapa? Kamu gak suka?"
"Kamu aja yang makan."
Elisa menyipitkan mata. "Kamu aja yang makan?" Atlanta mengangguk lagi.
"Kamu tau 'kan, kalo aku gak suka ditolak. Kalo kamu gak mau, ya udah aku juga gak mau jadi—" Atlanta segera mengambil alih sendok plastik yang dipegang Elisa, memakan satu suap salad itu dengan lahap, seolah laki-laki itu apa yang akan diucapkan Elisa selanjutnya. Elisa terkikik geli, sebegitu takutnya kah laki-laki itu dengan ancamannya?
Atlanta kembali menggerakkan tangannya.
"Enak."
"Enak?" Dia mengangguk.
Elisa makan satu suap, kemudian berkata, "Ini salad pemberian temen masa kecil aku. Kamu tau? Ternyata dia sekolah di sini juga. Aku baru ketemu dia kemaren. Udah lama kita gak ketemu, hampir sebelas tahun. Dulu, aku tetanggaan sama dia, sebelum akhirnya aku pindah ke luar negeri karena Ayah ada urusan bisnis di Paris." Atlanta masih mendengarkan cerita dari gadis itu, tentang teman masa kecilnya.
"Kamu mau kan aku kenalin sama temen aku itu? Dia baik kok, kayaknya kita bakal jadi sahabat yang sempurna deh. Setiap hari kita bakal makan di kantin sama-sama, ngerjain tugas bareng-bareng. Wah, pasti seru!" sahutnya semangat, dengan angan-angan yang masih tergambar dalam pikirannya.
"Mau, 'kan?" Atlanta mengangguk, tersenyum lebar, menyetujui ajakan Elisa saat itu.