Brak!
Elisa mendorong pintu UKS dengan sangat keras, sampai membuat benturan di tembok. Orang-orang yang sedang duduk di kursi lipat seketika terperanjat, mendapat kejutan luar biasa yang mampu memacu jantung mereka untuk berdetak di luar batas. Gadis itu memasuki ruangan yang beraroma lemon menyerbak rongga hidungnya dengan langkah lebar, tidak lupa dia sedang membawa seorang laki-laki di belakangnya.
"Petugas hari ini kalian 'kan?" tanya Elisa pada dua orang perempuan yang tengah sibuk mengelus dadanya akibat perbuatan gadis itu.
Mereka berdua mengangguk. "Lo- maksudnya, kamu Elisa, model terkenal itu 'kan?" ucap salah seorang siswi berambut pendek, setelah beberapa saat menelisik Elisa.
Gadis itu berdecak. "Gue nanya apa dijawab apa. Sekarang cepet obatin temen gue, nih." Elisa sedikit mendorong Atlanta, berniat menyerahkan laki-laki itu untuk segera diobati oleh petugas UKS.
Dua orang murid perempuan itu saling tukar pandang, menyenggol lengan satu sama lain beberapa kali. Apa maksudnya? Apa mereka enggan barang mengobati luka memar Atlanta? Elisa merotasikan mata, melipat tangan di depan.
"Kenapa masih diem aja? Kalian gak liat dia babak belur, huh?" sahutnya, Elisa menunjuk sudut bibir Atlanta yang memar.
Murid perempuan berambut sebahu dan berponi tipis mengulurkan tangan ke arah bangsal, bermaksud mempersilahkan Atlanta untuk duduk di sana. Laki-laki itu nurut, mendudukkan diri di atas bangsal yang mengeluarkan suara decitan pada umumnya.
Sementara Elisa, gadis itu terduduk di kursi lipat yang sempat diduduki petugas UKS tadi. Dia menyilangkan kaki sangat anggun, sembari menumpu dagu, menunggu kedua petugas itu kembali mengambil beberapa obat yang dibutuhkan.
Dalam diamnya, Elisa memperhatikan setiap inci struktur wajah Atlanta yang saat itu sedang asik menelisik setiap sudut ruangan UKS, mulai dari atap, bangsal yang berjajar, beberapa foto kegiatan PMR, dan benda-benda lain yang menjadi daya tarik manik mata hitam Atlanta. Laki-laki itu mengulum bibir, sedikit menggoyangkan kakinya yang menjuntai di atas bangsal dengan kedua tangan yang menggenggam pinggirannya. Elisa tersenyum tipis, bagaimana laki-laki itu terlihat sangat menarik baginya.
Tidak lama, dia beranjak dari duduk, menghampiri Atlanta yang masih belum puas memanjakan pandangannya dengan benda yang mungkin tampak berbeda. Jemari lentik Elisa mengulur, meraba kain seragam Atlanta yang terlihat masih basah. Laki-laki itu terkesiap, ketika merasakan ada yang meraba bagian bahu sampai dadanya. Atlanta segera menutupi bagian itu dengan tangan yang disilangkan.
Elisa mengerutkan dahi setelah melihat ekspresi laki-laki di depannya, kemudian menarik nafas, dan berkacak pinggang.
"Buka bajunya, Atlanta. Itu masih basah, kamu mau masuk angin?" kata Elisa, merasa gemas dengan mimik wajah Atlanta yang terlihat panik, mencoba melindungi sesuatu yang berharga.
Selanjutnya Atlanta menggelengkan kepala, masih dengan kedua tangan yang terlipat di dada, bahkan laki-laki itu semakin mendekap tubuhnya erat.
Elisa mendelik, ada perasaan gemas sekaligus kesal bersatu padu. "Astaga! Gak bakal aku apa-apain juga kok. Kamu mau pake baju basah di kelas? Cepet, mumpung masih panas, nanti seragamnya di jemur," ujarnya seperti membujuk anak kecil yang sulit untuk diajak mandi.
Setelah beberapa saat terdiam, Atlanta melepaskan dekapan itu, melepas dasi abu, dan membuka satu per satu kancing seragam putih miliknya, sampai menyisakan kaos oblong berwarna senada yang terlihat sangat pas ditubuh laki-laki itu.
Elisa diam mematung, menelan ludah ketika Atlanta benar-benar melepas baju seragam seperti apa yang diperintahkannya. Dia memperhatikan setiap lekuk tubuh bagian atas Atlanta yang nyaris sempurna. Dada bidang dan otot lengan yang cukup besar, berhasil membuat gadis itu menjerit dalam diam. Sekarang, bolehkah Elisa menyesali semuanya?
"Aaaa! Kalian mau ngapain?!" Suara pekikkan seorang perempuan memaksa pandangan Elisa dan Atlanta untuk segera menoleh.
"Mau salto," ucap Elisa frontal, mencoba tampak tenang meskipun jantungnya kini berpacu cepat. "Tadi dia abis kehujanan, bajunya basah, makanya buka baju," imbuhnya mengedikkan dagu ke arah seragam yang tergeletak di samping Atlanta.
Mereka hanya mengiyakan ucapan Elisa, tanpa meninjau lebih kebenaran perkataan gadis itu. Siswi berambut pendek membawa baskom kecil yang berisi air es, tidak lupa membawa salep dan sebuah sapu tangan putih, menyimpannya di atas nakas. Elisa mengambil alih sapu tangan yang hendak dicelupkan ke dalam air.
"Biar gue aja," ucapnya. Perempuan berambut pendek mengangguk, menyerahkan sapu tangan itu. Keduanya kembali ke tempat semula, menghampiri lemari penyimpanan obat, menata dan membereskan peralatan di sana.
Elisa memeras sapu tangan dengan telaten, dan mulai mengeksekusi luka Atlanta. Laki-laki itu menegakkan badan, tengah bersiap untuk merasakan sesuatu yang mungkin akan membuatnya meringis sakit.
Belum sempat Elisa menempelkan sapu tangan di sudut bibir Atlanta, gadis itu berdecak, lalu memutar bola mata.
"Majuan dikit kek, kamu gak liat aku harus jinjit-jinjit kaya gini?" kata Elisa, melirik sekilas kakinya yang sedikit berjinjit, Atlanta ikut melihat ke bawah. Dengan wajah polosnya, laki-laki itu sedikit mencondongkan wajah menghadap gadis di depannya.
Elisa membelalakkan mata terkejut, jarak mereka sangat dekat, tidak lebih dari satu jengkal. Beberapa detik, kedua manik mata itu saling pandang, menyalurkan sesuatu yang mungkin tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Astaga, kok deg-degan sih, batinnya.
Elisa berdehem, mengubah arah pandang menuju sudut bibir Atlanta, dan memulai niatnya untuk mengobati Atlanta. Meski berkali-kali bola mata itu sangat nakal, kembali menatap obsidian jernih milik Atlanta barang satu detik, seperti ada tarikan magnet yang memaksanya untuk tetap menatap lamat laki-laki di depan.
Atlanta meringis ketika Elisa tidak sengaja menekan permukaan kebiru-biruan di sana, akibat tangan yang sedikit bergetar, dia tidak bisa memprediksi bahwa itu akan menyakiti Atlanta. Laki-laki itu memegang pergelangan tangan Elisa pelan, menahan gadis itu untuk lebih berhati-hati dengan lukanya.
"Jangan cengeng deh. Katanya cuma luka kecil," ujar Elisa. Entah sebuah sindiran atau apa, Atlanta melepaskan genggaman tangannya, dan berusaha untuk tidak meringis meskipun memang sakit rasanya.
Laki-laki itu hanya menatap raut wajah Elisa yang sangat serius dalam mengobati memar di sudut bibirnya. Memperhatikan setiap inci wajah cantik Elisa yang terlihat sempurna tanpa celah.
Bunda, Elisa memang sangat mirip dengan Bunda. Apa ini adalah jawaban Tuhan dalam mengabulkan do'a Ata selama ini? Ata gak mau kehilangan Elisa.
"Aku gak suka si anak setan itu jailin kamu kaya tadi. Dia harus dikasih pelajaran."
Atlanta menggeleng pelan.
"Tidak apa. Jangan mencari masalah dengan Theo. Aku tidak mau terjadi sesuatu sama kamu."
Elisa menghempaskan napas berat. "Tetep aja kelakuan dia udah keterlaluan. Jangan mentang-mentang anak kepala sekolah terus bisa seenaknya sama orang lain."