Elisa mengangguk, membenarkan ucapan laki-laki yang kini tersenyum padanya. Sudut bibir Elisa semakin tertarik, gadis itu tanpa ragu berhambur memeluk Jay, dan dengan senang hati Jay pun menyambut pelukan dari Elisa. Gadis itu menelusupkan kepalanya diceruk leher Jay. Elisa memejamkan mata bersamaan dengan bulir bening yang jatuh dari pelupuk, namun dengan senyum yang masih terpatri di sana.
"Aku kangen kamu, Jay," ucap Elisa ditengah-tengah isak tangisnya. Elisa semakin mengeratkan pelukan, begitu pun sebaliknya.
Jay menganggukkan kepala, seolah menjawab ucapan Elisa bahwa dia juga sangat merindukan gadis itu. Elisa masih menangis dalam peluk penuh kerinduan yang mereka ciptakan, membiarkan suasana bersatu dengan rasa rindu yang sudah terlanjur membuncah. Suara air hujan yang berjatuhan bahkan tidak lagi terdengar di telinga Jay, yang dia dengar hanyalah suara isakan gadis yang selama ini dia nantikan kehadirannya. Seperti lagu pengantar tidur yang sangat merdu dan indah berdengung di sebelah telinga Jay, tidak sedikitpun dia bosan mendengar lirihan yang nyaris hilang keluar dari mulut gadis yang dipeluknya.
Sesekali gadis itu mencium aroma tubuh Jay yang sudah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Dulu, laki-laki itu memiliki aroma berbau minyak telon, ketika mereka bermain Elisa selalu senang dengan bau Jay dan ingin selalu berada di dekat laki-laki itu. Tapi sekarang, bau minyak telon tidak lagi dia cium keberadaannya, laki-laki itu kini memiliki aroma maskulin menyerbak keluar dari tubuhnya, menandakan anak laki-laki kecil yang dulu sering dia jahili sudah beranjak menjadi laki-laki dewasa.
Elisa melepaskan pelukannya, begitu juga Jay. Suara sesenggukan masih terdengar dari mulut Elisa. Mereka saling tukar pandang satu sama lain dan tersenyum lembut, merasa terkejut sekaligus senang bisa dipertemukan kembali setelah bertahun-tahun lamanya berpisah.
Kedua telapak tangan Jay terulur menangkup pipi Elisa, ibu jarinya mengusap pelan air mata yang masih menetes di sana.
"Kok sekarang kamu jadi cengeng sih, hm?" ucap Jay sedikit terkekeh ketika melihat kedua mata Elisa berubah sembab kemerahan, hidungnya pun ikut memerah, bahkan beberapa kali hidung mancung itu menarik cairan yang hendak keluar.
Elisa mengerucutkan bibir, menghapus air matanya sembarang dengan punggung tangan, lalu memukul lengan Jay keras. Laki-laki itu berpura-pura meringis, mengelus lengan bekas pukulan Elisa, kemudian tersenyum lebar, memamerkan dimple itu lagi.
"Kamu selama ini kemana aja sih? Kenapa gak pernah hubungi aku? Kamu udah lupa sama aku?" ujar Elisa terdengar seperti merengek. Sekilas Jay kembali tertawa pelan, kenapa gadis itu berubah manja, padahal dulu dia sendiri yang sering merengek pada Elisa.
"Harusnya aku yang nanya, kenapa kamu ganti nomor telepon? Aku pikir kamu yang udah lupa sama aku," jawab Jay, mengundang senyum kikuk dari Elisa. Sebelah tangan kanan laki-laki itu terulur kembali, mengelus puncak kepala Elisa lembut setelah melihat respon gadis itu.
"Aku gak pernah lupain kamu," ucapnya lagi. Jay mengangkat sedikit bagian tangan jaket kulit yang dipakainya, dan menampakkan sebuah gelang tali simpul berwarna hitam melingkar di sana, walaupun terlihat sangat pas-pasan. "Aku masih pake gelang dari kamu," imbuhnya.
Elisa menatap lamat-lamat gelang pemberiannya sebelas tahun lalu. Tangan mungil itu menggenggam gelang yang dipakai Jay, mengelus sebuah benda hasil karyanya sendiri. Elisa memberikan gelang itu sebelum dia pergi meninggalkan Jay untuk pindah ke luar negeri. Ekspresi haru kembali tergambar di wajah Elisa, bagaimana saat itu dia merengek meminta abangnya-Yunaka, untuk diajarkan membuat kerajinan tangan. Bahkan saat itu Elisa rela memberikan satu bungkus permen yupi besar pada Yunaka karena abangnya yang satu itu selalu menuntut balas jasa.
"Kamu sekolah di sini juga? Kelas apa? Kok aku gak pernah liat kamu sih?" tanya Elisa mengajukan beberapa pertanyaan sekaligus. Jay hanya tersenyum seperti biasa. Laki-laki itu kini menarik nafas.
"Aku kelas 11-B. Kalau kamu?" Jay kembali bertanya pada Elisa. Dia juga tidak tahu menahu jika gadis itu pindah ke sekolah yang sama dengan dirinya.
"11-A. Wah, kelas kita aja sebelahan. Kamu pasti pemalu ya, masih kaya dulu," ujar Elisa sedikit menyenggol lengan Jay, menaik turunkan alis seperti tengah menggoda Jay.
Entah hanya perasaan Elisa saja atau memang sebuah kenyataan, ekspresi wajah Jay seketika berubah, lengkungan indah yang dihiasi dua lesung pipit detik itu kembali memudar. Jay hanya menatap Elisa saat itu, tanpa ada niatan mengucapkan sebuah kalimat yang mungkin akan menumbuhkan topik baru kedepannya, atau bahkan memperpanjang obrolan mereka lebih lama lagi.
Tid! Tid!
Keduanya kompak menoleh ke arah mobil tesla berwarna hitam yang tiba-tiba memberi klakson lalu terparkir di depan mereka. Elisa yang tau orang di dalamnya hanya menatap lurus, sedangkan Jay mengerutkan kening seperti bertanya siapa orang di dalam sana.
Joni keluar dari dalam mobil sembari memayungi atas kepala dengan payung bening, berlari kecil menghampiri adik kesayangannya yang sedang berteduh bersama seorang laki-laki.
"Bang Jon kok lama banget sih," sahut Elisa setelah Joni duduk tepat di kursi depan yang masih kosong.
"Tadi Abang harus meeting dadakan, El," jawab Joni sejujur-jujurnya.
Elisa merotasikan mata. "Mana ada meeting dadakan," ujar gadis itu, seolah tidak percaya dengan jawaban jujur dari kakak tertuanya itu.
"Ya ada lah. Tahu aja ada kok yang digoreng dadakan," kata Joni tanpa dipikir. Elisa hanya mendengus. Laki-laki dewasa itu seketika menoleh ke arah Jay yang masih memperhatikan interaksi kakak adik di depan. "Ini siapa, El?"
Elisa menepuk jidatnya sendiri. "Ah, ini Jay, Bang. Abang inget gak? Tetangga kita dulu itu loh, yang sering main sama El," ucapnya antusias, memberi sedikit pencerahan pada Joni, berusaha membuat laki-laki itu ingat tentang semua kenangan masa kecilnya dulu.
Beberapa saat Joni mengerutkan kening, sampai sudut kanan dan kiri alisnya hampir menyatu. Joni sedang berpikir keras, mengingat nama yang tidak asing lagi baginya. Kemudian laki-laki itu melebarkan mata, mulutnya dibiarkan menganga begitu saja.
"Oh! Anak kecil yang pernah kamu jailin sampe jatuh ke selokan? Yang suka kamu ajak buat nyolong rambutan pak Samsudin itu 'kan?" sahut Joni sedikit terkikik geli, bagaimana dulu dia pernah melihat Jay tercebur ke dalam selokan di depan rumahnya sendiri, itu karena Elisa dengan sengaja menyenggol lengan Jay keras.
Jay hanya tersenyum kikuk, menggaruk belakang kepalanya yang tidak dirasa gatal. Detik selanjutnya Joni menghampiri Jay, merangkul bahu lebar dan kokoh laki-laki itu.
"Kumaha damang, Jay? Udah lama gak ketemu ya. Sekarang makin cakep aja euy," ucap Joni dengan logat sundanya, menepuk pundak Jay beberapa kali.
Laki-laki itu kembali tersenyum, dan berkata, "Baik, Bang. Ah, Abang bisa aja," ucapnya disertai kekehan kecil. "Udah punya anak berapa, Bang?" imbuhnya.
Joni hanya berdehem beberapa saat, menggaruk batang hidungnya. "Abang belum nikah, Jay," jawabnya.
"Iyalah, gimana mau nikah, orang tiap hari kerjaannya pacaran sama laptop," sahut Elisa menimpali, gadis itu melipat tangan.
Joni menghela nafas pendek. "Abang kerja 'kan buat masa depan keluarga Abang, El," ucapnya.
Elisa hanya mendengus menanggapi. Laki-laki dewasa itu segera melirik jam tangan hitam di sebelah tangannya. "Hm, Jay? Abang sama Elisa kayanya harus pergi sekarang, gapapa? Atau kamu mau ikut sama kita, rumah kamu masih yang dulu 'kan?"
"Gapapa kok, Bang. Jay bawa motor kok," ujarnya, menunjuk motor sport miliknya yang terparkir di depan gerbang sekolah dengan keadaan yang sudah basah karena hujan.
Joni menganggukkan kepala paham. "Ya udah, kita pamit ya, Jay. Kamu hati-hati."
Elisa yang masih diam duduk di tempat, mulai beranjak, memeluk sekilas Jay lalu melangkah menghampiri Joni yang sudah mengulurkan tangan, membawa adiknya itu ke dalam dekapannya untuk bersama-sama menerjang hujan yang masih mengguyur.
Laki-laki pemilik lesung pipit itu melambaikan tangan, tersenyum lebar ketika Elisa lebih dulu memberikan lambaian tangan dari dalam mobil di sana.