Di luar dugaan, sore itu langit mendadak berubah mendung. Awan berwarna keabu-abuan melahap habis sinar matahari yang siang tadi menyinari kota Bandung begitu terik.
Setelah saling melambaikan tangan tanda perpisahan, Elisa dan Atlanta pulang dengan tujuan yang berbeda. Atlanta yang pergi ke arah barat, mengayuh sepedanya untuk segera bekerja di restoran yang tidak jauh dari sekolah. Dan Elisa yang masih menunggu abangnya—Joni, datang menjemput, gadis itu menunggu di depan gerbang sekolah yang sudah sepi.
Beberapa kali gadis pemilik rambut lurus panjang melirik arlojinya yang melilit di pergelangan tangan sebelah kiri, melangkahkan kaki ke samping kanan dan kiri secara bergantian. Sudah dua puluh menit berlalu, tapi laki-laki yang berstatus kakaknya itu belum juga memberikan tanda-tanda kedatangannya. Tidak seperti biasanya, apakah Joni terjebak macet?
Gadis itu menghempaskan napas berat untuk pertama kali, merogoh smartphone di saku seragam untuk menelpon Joni, Elisa mencari kontak nomor abangnya yang sengaja dia beri emoji kucing di sana. Elisa mendekatkan posisi smartphone di sebelah telinga ketika panggilan itu tersambung.
Masih tidak ada respon apapun, bahkan ketika gadis itu berkali-kali mencoba menekan tombol hijau untuk memulai panggilan lagi. Merasa tidak ada gunanya, Elisa kembali mengantongi smartphone-nya, menengadahkan kepala ke atas, menatap langit yang semakin menghitam, dan dia yakin sebentar lagi hujan akan turun. Tapi bagaimana nasibnya? Apa dia harus menunggu Joni yang entah kapan akan datang menjemputnya.
Tanpa berpikir panjang, Elisa menggerakkan kaki, berjalan ke arah trotoar berniat mencari angkutan umum. Elisa tidak ingin terkena hujan, dia tidak suka, apalagi tubuhnya pasti akan langsung tumbang ketika air dingin yang tumpah dari langit mengguyur dirinya. Namun, gadis itu tidak berhati-hati, dan tidak menyadari ketika ada motor sport berwarna merah melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.
Tin!
Bruk!
Elisa terjatuh, terjerembap di atas aspal. Laki-laki pengemudi motor itu pun ikut terjatuh karena rem dadakan, berusaha menghindari tabrakan yang mungkin tidak terkendali. Dia segera beranjak, membenarkan posisi motor yang tergeletak, melepas helm full face yang dipakai, kemudian berlari menghampiri seorang gadis yang kini terduduk memegangi luka di beberapa bagian tubuhnya sembari meringis.
Laki-laki itu berjongkok, raut wajah khawatir menghiasi wajah tampannya. "Kamu, gapapa 'kan?" ucapnya.
"Gapapa gimana?! Lecet gini masa dibilang gapapa sih! Bisa nyetir motor gak?!" sahut gadis itu tanpa mengalihkan pandangan dari luka di lututnya.
Laki-laki di depan hanya terdiam sejenak. Sudah jelas gadis itu yang tidak menoleh kanan dan kiri untuk memastikan apakah ada pengendara lewat atau tidak, tapi dia juga tidak bisa menyalahkan gadis di depannya, karena dia sendiri mengemudi dengan kecepatan kencang.
"Biar aku bantu, ya," ujar laki-laki itu mulai membopong tubuh Elisa, mengaitkan lengan Elisa di bahunya, dan membawanya ke depan minimarket dekat sekolah yang berjarak beberapa meter dari sana.
Elisa tidak menolak, dengan langkah yang sedikit pincang, dia berjalan kemana laki-laki itu akan membawanya. Apakah hari ini adalah hari sialnya? Setelah sebelumnya dia berurusan dengan oknum bernama Theo, laki-laki sok penguasa yang berhasil menguras habis kesabaran jiwa dan raga, dan kini dia harus menerima serempetan motor yang cukup membuat beberapa bagian tubuhnya terluka.
Laki-laki itu mendudukkan Elisa di salah satu kursi depan minimarket yang dinaungi payung besar dengan sangat hati-hati, takut gadis itu akan meraung merasakan rasa sakit jika luka di sana mendapat gerakan.
"Tunggu," ucap laki-laki jangkung itu, dia sedikit berlari memasuki minimarket. Sementara Elisa masih setia mengipas dan meniup lukanya sendiri berniat mengurangi rasa perih yang tidak kunjung reda.
Tidak lama, suara guntur menyahut, bersama dengan guyuran air hujan membasahi kota Bandung tanpa permisi. Elisa kembali menengadah, menjulurkan telapak tangan sampai tetes demi tetes air hujan yang jatuh melewati payung besar membasahi seluruh permukaan tangannya.
"Bang Joni kemana sih, sampe hujan gini aja belum dateng juga," kata Elisa bermonolog sembari terus memandangi hujan.
"Sini, biar aku obatin," ujar laki-laki yang kini sudah duduk di samping Elisa. Gadis itu menoleh, dan tidak berkata apa-apa, hanya melihat kegiatan laki-laki itu menyimpan beberapa obat di atas meja.
Dia mulai mengucurkan air mineral ke permukaan kapas, mengambil alih tangan Elisa, mengelap darah yang masih menempel dan hampir mengering di sana. Laki-laki itu dengan perlahan membersihkan luka di lengan Elisa, kemudian kedua lutut gadis itu. Setelah selesai, dia membuka obat merah yang masih tersegel, meneteskan obat itu di luka Elisa dengan sangat hati-hati.
Elisa meringis. "Sh! Sakit! Pelan-pelan dong!" sahutnya ketika merasakan sensasi rasa perih yang mulai berkedut di area luka lecetnya.
Tapi laki-laki itu tidak merespon ringisan Elisa atau menghentikan kegiatannya, dia hanya fokus mengobati luka Elisa dengan telaten, meski beberapa kali gadis itu memintanya untuk berhenti. Sampai dia sudah selesai memberi perban kecil di lengan dan lutut Elisa, barulah dia berucap, "Udah selesai, gak sakit 'kan?"
Kini Elisa mengernyit, bagaimana bisa laki-laki itu berkata tidak apa-apa setelah sebelumnya Elisa selalu meringis karena rasa sakit sekaligus perih saat dia mengobati Elisa. Sorot mata Elisa beralih ke arah luka yang sudah di perban laki-laki itu, bahkan perban yang kini menempel di lengan dan lututnya terlihat menyatu rapi, menandakan laki-laki itu serius dalam mengobati Elisa.
Detik selanjutnya, Elisa menolehkan pandangan menatap laki-laki di sampingnya yang sedang membereskan bekas obat tadi, memasukkan ke dalam kantong kresek putih, lalu membuang beberapa sobekan plastik ke dalam tempat sampah kecil yang tersedia di sana. Keningnya ikut mengerut, memperhatikan wajah laki-laki itu yang sepertinya tidak asing lagi.
Sebuah potongan memori masa kecil terlintas begitu saja. Elisa berpikir keras tentang gambaran masa kecilnya dulu, bersama seorang anak laki-laki manis yang selalu dia jahili.
"Huuuu! Dasar cengeng, gitu aja nangis. Wle."
"Elisa jahat. Jay bilangin sama Ibu, Jay gak mau main lagi sama Elisa. Huaaa."
Elisa mengerjapkan mata dua kali ketika kenangan di taman bermain itu berputar kembali, ketika dia dengan sengaja mendorong anak laki-laki itu sampai tersungkur di rumput-rumput yang mengelilingi taman. Kedua sudut bibir Elisa terangkat, membentuk sebuah lengkungan.
"Jay?" ucap Elisa. Dia menatap penuh arti pada laki-laki di samping. Entah apa yang dirasakan Elisa saat itu. Yang jelas, dia seperti menemukan kembali sesuatu yang cukup berarti dan pernah hilang dalam hidupnya.
Laki-laki itu seketika menoleh saat Elisa menyebut namanya. Dia memandang Elisa dengan tatapan bertanya. Beberapa saat, laki-laki itu hanya memperhatikan wajah Elisa, menelisik gadis cantik yang sedang membalas tatapan matanya dengan haru.
Tidak lama kemudian, dia tersenyum, memamerkan dimple dikedua pipinya. Oh Tuhan, apakah ini takdir, atau hanya sebuah kebetulan?
"Elisa? Kamu Elisa, 'kan?"