Chereads / Surat untuk Atlanta / Chapter 8 - Bagian 8 : Savage

Chapter 8 - Bagian 8 : Savage

Suasana kantin mendadak mencekam, ketika laki-laki itu mendapat guyuran jus mangga dari seorang perempuan. Dia masih bisa merasakan bagaimana tetes demi tetes cairan berwarna orange itu berjatuhan melewati wajahnya, sensasi dingin es batu merambat dari atas kepala. Dia berdecih, menolehkan wajahnya menatap Elisa yang sedang menyunggingkan senyum, gadis itu melipat tangan, dan menarik sebelah alis ketika obsidiannya bertemu.

"Ck. Lo berani sama gue?" katanya seraya memberi senyum devil pada Elisa. Laki-laki pemilik bekas luka di sebelah mata kiri itu beranjak, mendekatkan diri pada gadis mungil di depannya.

Bukan takut atau menjauh, Elisa semakin berani menatap kedua bola mata tajam laki-laki di depan, dia menengadah, berkacak pinggang seperti menantang.

Di sisi lain, Atlanta mengumpulkan keberanian untuk menahan Elisa, dia tidak ingin gadis itu melakukan tindakan di luar batas, sorot mata khawatir semakin kentara di wajah Atlanta. Dia mengepalkan tangan yang masih membeku tidak melakukan apa-apa.

"Lo pikir gue bakal diem aja, huh?" ucapnya ketus, masih dengan tatapan menantang, tidak sedikitpun membuat Elisa takut dengan laki-laki so berkuasa itu.

"Asal lo tau, Elisa, gue anak dari kepala sekolah di sini, lo harus takluk sama gue. Kalo lo macem-macem atau nantang gue, lo bakal tau akibatnya. Gue ga peduli, sekalipun lo cewe," ujarnya seperti ancaman.

Elisa merotasikan bola mata sebelum berkata, "Oh, lo mau adu kekuasaan? Oke, dan asal lo tau-" gadis itu menyipitkan mata ketika membaca name tag yang menggantung di seragam putih yang kini kotor karena ulahnya. "Bapak Theo Wijaya yang terhormat. Gue adalah adik dari donatur terbesar di sekolah ini. Lo tau 'kan, apa akibatnya kalo sekolah ini gak ada bantuan dari donatur, hm?"

Laki-laki bernama lengkap Theo Wijaya itu menggertakkan gigi, mengepalkan tangan kesal, seperti tengah bersiap menerkam musuh yang baru saja membangunkan singa tidur. Gadis di depan tampak tidak mempedulikan air wajah Theo yang semakin berubah merah.

Jemari lentik Elisa terulur, menarik sedikit lengan seragam Theo. "Gak usah so berkuasa. Masih ada orang yang jauh di atas lo. Lo bukan apa-apa, lo ga beda jauh dari sam-pah se-ko-lah," ucapnya tersenyum miring.

Dengan sekali gerakan, Theo merangsek kerah seragam Elisa kasar, membuat gadis itu harus berjinjit seiring tarikan di area lehernya yang semakin meninggi. Semua penghuni kantin membelalakkan mata melihat tindakan Theo, tidak terkecuali Atlanta. Tangan laki-laki itu mencekal lengan Theo, berusaha menghentikan cengkraman tangannya yang bisa saja melukai Elisa.

Gadis itu tersenyum, sebuah senyum pasrah ketika laki-laki tinggi itu mencengkramnya kuat, kain seragam yang mencekik lehernya mungkin sudah meninggalkan bekas kemerahan di sana. Dengan sekuat tenaga, Atlanta mencoba melepaskan tangan Theo yang semakin mengerat.

"Dasar banci, beraninya sama perempuan. Tampang kaya lo gak pantes disebut laki," ucap Elisa dengan santainya. Hal itu membuat Theo bersmirk, melepaskan cengkraman tangannya. Selanjutnya, Theo mengangkat kepalan tangan, melayangkannya pada Elisa.

Bugh!

Elisa membulatkan mata, melihat Atlanta yang terkapar akibat tinjuan dari Theo.

"ATLANTA!" sahut gadis itu, berjongkok memangku kepala Atlanta di pahanya.

Ya, laki-laki itu memasang badan saat Theo hendak memberi bogeman mentah pada seorang gadis. Elisa membantu Atlanta yang sedang memegangi sudut bibirnya untuk berdiri.

"LO APA-APAAN SIH, HUH!" Elisa mendorong bahu Theo dua kali, membuat laki-laki itu memundurkan kaki seiring dorongan Elisa yang cukup kuat.

"PUNYA OTAK GAK! CUMA ANAK KEPALA SEKOLAH AJA BELAGU. SINI, BAWA BAPAK LO, BIAR DIA TAU KELAKUAN ANAKNYA YANG GAK BERETIKA," sahutnya sarkas. Theo mengulum bibir, rahangnya mengatup, menahan amarah yang sudah berada di puncak ubun-ubun.

Elisa benar-benar membuat laki-laki itu kalah telak, jika bukan di depan publik dan puluhan pasang mata yang sedang memperhatikan, mungkin Theo akan segera membuat gadis itu bertekuk lutut di hadapannya.

Atlanta menarik pergelangan tangan Elisa untuk menjauh dari Theo. Namun gadis itu tetap tidak mempedulikan Atlanta, dia menatap manik mata mirip boba Theo dengan sangat tajam. Sekali lagi, Atlanta menarik dan mengguncangkan pergelangan tangan Elisa, kali ini gadis itu menoleh, menghempaskan genggaman di pergelangan tangannya.

"Apaan sih! Gue mau kasih pelajaran sama manusia goblok ini!" serunya. Atlanta mengerutkan kening, kemudian menggeleng, mengisyaratkan gadis itu untuk tidak memperpanjang masalah.

Elisa tetaplah Elisa, dia kembali menghampiri Theo, kali ini gadis itu mendorong dada bidang Theo kasar, sampai laki-laki itu hampir terjungkal jika saja kedua temannya tidak siap siaga menahan. "Sekali lagi lo ganggu Atlanta, abis lo!" ucapnya penuh penekanan.

Theo berdecak. "Jadi lo lebih belain si bisu itu, iya? Gak takut ketularan bisu juga?" katanya enteng.

Plak!

Elisa menampar Theo, membuat wajah laki-laki itu seketika tertoleh ke samping. Theo memegangi pipinya yang dirasa panas akibat gesekan telapak tangan Elisa.

"Asal lo tau. Bisu itu bukan penyakit yang bisa menular, ngerti lo!" lantangnya, jari telunjuk Elisa mengacung tepat di depan wajah Theo.

Atlanta segera menarik kembali pergelangan tangan Elisa, kali ini sedikit kuat, Atlanta membawa gadis itu untuk menjauh dan pergi dari kantin yang semakin ramai dengan orang-orang yang penasaran dengan pemandangan tak biasa disela-sela jam istirahat, sebuah pemandangan yang mampu menghipnotis mata mereka untuk sekedar mencari tahu kebenaran tentang apa yang terjadi saat itu.

"Lepasin gue! Lepas! Gue masih pengen di sini!" Elisa memberontak ketika Atlanta menyeretnya, lebih tepatnya memaksa gadis itu untuk ikut pergi dengannya.

Elisa berkali-kali mencoba menghempaskan genggaman di pergelangan tangannya, namun hasilnya nihil, kekuatan tenaga Atlanta jauh lebih besar darinya. Atlanta tidak mendengarkan ocehan Elisa, yang dia inginkan hanyalah membawa gadis itu menjauh, tidak membuat kekacauan, apalagi jika berurusan dengan Theo. Dia hafal betul bagaimana laki-laki itu tidak pernah pandang bulu dalam memuaskan amarah dan rasa benci pada siapapun.

"Atlanta! Lepas!" sahutnya lagi, Elisa memukul lengan Atlanta yang masih mencengkramnya.

"Lepasin dulu kenapa sih!" Atlanta melepaskan tangannya yang masih menggenggam pergelangan tangan Elisa, membalikkan badan hanya untuk melihat gadis itu, lalu menghempaskan nafas berat.

Elisa menolehkan kepala ke belakang, melihat Theo yang masih memandangnya dari arah kejauhan. Detik selanjutnya, Elisa mengacungkan jari tengah pada Theo, ditambah smirk di sudut bibir tipis merah mudanya. Laki-laki itu menarik alis, kemudian berdecak, merasa ada orang yang menantangnya, mengibarkan bendera perang.

"Ck, cewe sialan, dia belum tau siapa gue." Ia berdesis, kemudian tersenyum miring. Theo melipat tangan, otaknya bekerja, memikirkan pelajaran seperti apa yang akan dia berikan pada gadis itu.