Setelah mengibarkan bendera perang pada laki-laki bernama Theo, kini giliran Elisa yang menyeret Atlanta untuk pergi dari kantin. Membawa laki-laki yang kini tergopoh-gopoh menyesuaikan langkah kaki Elisa yang terlalu terburu-buru ke taman sekolah. Sama sekali tidak ada niatan gadis itu untuk membawa Atlanta ke salah satu tempat favorit para murid untuk menghirup udara segar, dia hanya menuruti kata hati dan langkah kakinya menuju tempat yang dia pikir saat itu sudah sepi, mengingat bel pelajaran akan berbunyi dua menit lagi.
Elisa melepaskan genggaman tangannya setelah mereka menginjakkan kaki dirumput hijau, gadis itu merotasikan bola mata jengah, kemudian menarik nafas, menghempaskannya bulat-bulat.
"Duduk," ucapnya datar, bermaksud menyuruh Atlanta untuk duduk di bangku kayu yang tersedia di sana. Di mana tempat pertama kali mereka berinteraksi kemarin.
"Gue bilang duduk!" Kini suara Elisa agak meninggi, setelah mendapatkan Atlanta tidak merespon ucapannya tadi. Atlanta sedikit tersentak, dan mau tidak mau dia menuruti apa yang diperintahkan Elisa. Hanya untuk melihat raut wajah gadis itu saja rasanya Atlanta tidak sanggup. Sungguh, Elisa sangat menyeramkan.
Elisa mondar mandir di depan Atlanta beberapa kali, menggigiti kukunya lalu berkacak pinggang seperti sedang memikirkan sesuatu. Atlanta hanya menunduk, memainkan jari-jarinya gemetar.
"Lo tuh-" Elisa melayangkan jari telunjuk tepat ke arah Atlanta. Dia melihat laki-laki itu sedang tertunduk, seketika jari itu berubah menjadi kepalan tangan secara perlahan. "Argh! Sialan!" Elisa menghempaskan kepalan itu ke udara, menyalurkan rasa kesal yang terjadi.
"Lo bisa gak sih ngelawan bajingan itu, huh?! Jangan diem aja dong disaat mereka ngerendahin lo kaya tadi!" sahutnya lantang. Elisa tidak bisa menahan apa yang sejak tadi terbendung dalam dirinya.
Dia muak, sangat muak, dengan orang-orang yang selalu menganggap dirinya paling berkuasa, dan memanfaatkan eksistensi untuk merendahkan orang lain. Baik, mungkin Elisa baru saja mengetahui sebuah fakta lagi, bahwa laki-laki yang kini berada di dekatnya selalu mendapatkan perlakukan tidak adil dari orang-orang sekitar. Elisa baru menginjakkan kaki di sekolah baru selama dua hari, dan itu sudah bisa membuktikan selama itu pula Atlanta sering mendapatkan cacian dan hinaan dari murid-murid lain.
Lalu apa kabar laki-laki itu selama satu tahun kemarin? Apa dia hanya diam saja? Oh, sungguh, Elisa tidak bisa membayangkan bagaimana menjadi Atlanta. Laki-laki itu pasti sangat kesepian, dan tertekan. Yang menjadi point penting adalah, kenapa Atlanta masih bungkam, menutup mulut dan enggan melaporkan tindakan bullying yang dia dapatkan. Pihak sekolah tentu tidak akan diam saja 'kan?
Elisa menggerakkan tungkainya, menghampiri Atlanta, dan duduk di samping laki-laki itu. Jemarinya terulur mengusap punggung tangan Atlanta, dan dia bisa merasakan bagaimana tangan itu bergetar ketika bersentuhan dengan kulitnya. Elisa menarik nafas, menetralkan gemuruh di dadanya yang perlahan menyesakkan.
"Maaf, aku gak bermaksud marah sama kamu," ucap Elisa pelan. Dia masih setia menyalurkan usapan lembut di punggung tangan Atlanta.
Laki-laki itu menoleh, menatap wajah Elisa yang kini tertunduk. Atlanta tersenyum, menarik sudut bibirnya sampai membentuk bulan sabit. Atlanta melepaskan tangan Elisa, laki-laki itu beralih merogoh sebuah benda pipih miliknya. Mengetikkan sesuatu di sana.
Elisa mengangkat kepala, menatap smartphone yang disodorkan Atlanta padanya, lalu membaca tulisan yang ditulis dalam sebuah aplikasi catatan.
"Aku gapapa kok. Kamu jangan khawatir. Memangnya aku bisa apa? Lagi pula, apa yang dikatakan Theo adalah sebuah fakta, bahwa aku memang benar bisu."
Gadis itu menatap Atlanta yang sedang tersenyum, namun enggan membalas senyuman Atlanta yang dia tau adalah sebuah senyuman menyayat hati. Dia dapat melihat dengan jelas, bagaimana sebuah luka tergambar di sana, bagaimana laki-laki itu tetap mencoba untuk tegar menjalani takdir hidup yang diberikan. Ketika dunia tidak menerimanya, tapi lengkungan indah itu selalu terpatri di sana, seolah berkata semuanya akan baik-baik saja.
Kedua bola mata Elisa seketika memanas, seperti ada pantulan cahaya yang membuat mata itu berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga dia mengatupkan rahang, menahan agar air matanya tidak tumpah sesuka hati. Kini pandangan gadis itu tertuju pada sudut bibir Atlanta yang terlihat kebiru-biruan, memar dan sedikit ada darah yang sudah mengering di sana, tentu saja itu bekas tinjuan dari Theo beberapa menit lalu.
Ibu jari Elisa terangkat, mengusap sebuah luka yang mungkin saja akan tercetak diwajahnya jika Atlanta tidak menolongnya tadi. Laki-laki itu meringis, ketika Elisa menyentuh permukaan yang mengeluarkan darah.
"Ini pasti sakit," gumamnya. Elisa ikut meringis melihat dengan jelas luka itu. Dia membayangkan sekuat apa tinjuan Theo tadi, sampai membuat robekan di sudut bibir Atlanta.
Atlanta menggelengkan kepala sebagai respon ucapan Elisa barusan.
"Jangan bohong. Ayo ke UKS," ajak Elisa. Sementara Atlanta mengerutkan kening. Hal itu membuat Elisa berdecak. Apa laki-laki itu tidak tahu apa gunanya ruangan yang kerap kali menjadi basecamp murid-murid nakal untuk menghindari mata pelajaran menyebalkan?
"Ya mau ngobatin luka kamu lah," katanya. Sekali lagi Atlanta menggelengkan kepala, menolak ajakan Elisa saat itu.
"Kamu bisanya cuma geleng-geleng kepala mulu. Sekali-kali ngangguk kek. Aku gak suka," ucap Elisa yang kini melipat tangan, mengerucutkan bibir.
Atlanta menarik nafas, dan kembali mengetikkan sebuah kalimat di smartphonenya
"Udah bel. Lebih baik kita ke kelas saja, aku gak mau bolos. Ini kan cuma luka kecil, besok juga sembuh."
Elisa menatap tajam pada Atlanta, lalu mendesis, beranjak dari duduknya. "Jangan nolak. Kalo kamu gak mau ikut aku ke UKS, aku gak mau jadi temen kamu lagi," ucap Elisa mengancam. Seperti tahu titik kelemahan laki-laki itu. Atlanta menggelengkan kepala cepat, dan beranjak.
Gadis itu mengulum senyum, sekarang dia tahu bagaimana membuat Atlanta nurut padanya. Elisa tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya, lalu menggenggam tangan Atlanta, menautkan jemarinya dengan jari Atlanta yang lebih besar.
"Gitu dong. Sekarang di mana UKS nya?" tanya Elisa. Atlanta menunjuk arah selatan dari tempat mereka berdiri. Gadis itu mengangguk, mulai melangkahkan kaki meninggalkan taman.
Senyum itu tidak pernah luntur dari sudut bibir Elisa, bahkan ketika mereka berjalan berdampingan menelusuri koridor yang sepi, senyum itu tetap tercetak di sana. Elisa tidak tahu, atau bahkan tidak menyadari bahwa Atlanta menatap lekat jemarinya yang bertaut dengan gadis itu. Sesekali Elisa menggoyangkan genggaman tangannya yang membuat gerakan yang sama di tangan Atlanta.
Atlanta tersenyum tipis, yang mungkin tidak dilihat oleh Elisa. Perasaannya seketika menjadi lebih tenang, sebuah kenyataan bahwa Atlanta tidak ingin melewatkan waktu barang sedetik dengan Elisa, rasanya dia ingin menghentikan waktu, dan terus mengulang moment itu dengan Elisa. Hanya melihat wajah ceria gadis itu, mampu membuat hatinya berdebar.
"Bunda, apa ini yang namanya bahagia?"