"WOY, BISU!"
Atlanta menoleh ketika seseorang memanggilnya. Ah, sepertinya memang Atlanta sudah sadar diri, ketika anak-anak nakal di sana memanggilnya seperti itu. Memang siapa lagi di sekolah yang tidak bisa bicara seperti dirinya, alias bisu.
"Udah ngerjain pr belum?" ujar si jangkung—Lucas merangkul bahu Atlanta.
Atlanta mengangguk kaku, meremat tali ransel yang menggantung bebas di sebelah lengannya.
"Hehe ... bagus, bagus. Good boy!" sahutnya mengacak rambut hitam Atlanta sampai tak berbentuk.
Bruk!
Dengan cekatan Atlanta mendekap ransel yang dilempar anak yang satunya lagi—Mark. Laki-laki blasteran Indonesia Kanada.
"Bawain tas gue," ujarnya menepuk bahu Atlanta cukup keras. Atlanta mengangguk pelan, membawakan tas ransel Mark yang lumayan berat.
Lucas menjentikkan jari. "Good idea! Nih, bawain juga tas gue," kata Lucas.
Atlanta hanya pasrah, diperlakukan seperti pembantu oleh keduanya. Memangnya dia bisa apa? Menolak rasanya seperti mengangkat bendera perang, dia akan dibully habis-habisan oleh keduanya, bahkan lebih parah lagi, mereka akan menghabisi Atlanta detik itu juga.
Laki-laki itu mengekori Lucas dan Mark yang berjalan terlebih dahulu menuju tangga. Atlanta sedikit tergopoh karena harus membawa tas milik keduanya.
"Lo udah denger hari ini bakal ada murid baru di kelas kita?" ucap Lucas pada Mark saat melewati lorong menuju kelas. Orang di belakang hanya mendengarkan percakapan mereka seperti biasanya.
"Siapa? Cewe? Cowo?"
Lucas mengedikkan bahu, bola matanya berotasi tiba-tiba. "Kagak tau gue. Pokonya hari ini bakal ada siswa pindahan. Semoga aja murid barunya cewe," katanya.
Mark terkikik geli, memukul lengan sahabatnya cukup keras. "Yak! Mau itu murid baru cewe, dia gak bakal mau sama lo. Lo kan jomblo abadi."
"Sialan lo, Mark!"
Keduanya bermain kejar-kejaran sampai ke dalam kelas, saling memukul dan mengucapkan kalimat umpatan seperti anak laki-laki pada umumnya. Atlanta masih berjalan menuju kelas, dengan pandangan tertunduk, dia hanya fokus pada ujung sepatunya yang bergerak seiring dia mengayunkan kaki jenjangnya.
Murid baru katanya?
Ah, Atlanta tidak ambil pusing.
"Atlanta."
Suara berat membuat pandangan laki-laki itu terangkat, memandang seseorang yang kini berdiri menjulang di depan, menghalangi jalannya. Laki-laki yang berstatus adiknya itu menatap datar Atlanta, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
"Itu tas siapa?" tanya Jay. Bermaksud menanyakan dua tas besar yang bertengger dikedua bahu Atlanta.
Atlanta merogoh sesuatu dari saku celana abu-abunya, sebuah memo yang selalu menjadi alat komunikasi jika berbicara dengan orang-orang yang tidak bisa bahasa isyarat.
"Gak. Gak usah nulis," ujar Jay ketus.
Atlanta menuatkan kedua alisnya seolah bertanya 'kenapa?
"Gue cuma mau minta bekel gue. Tadi Bi Mirna ngasih lo dua bekel 'kan? Sini, buat gue satu." Jay mengulurkan telapak tangan. Sementara Atlanta mengerjapkan matanya dua kali.
Jay memutar bola mata malas. Dengan sekali gerakan, laki-laki itu segera membalikkan badan Atlanta, membelakanginya. Jay membuka resleting tas ransel Atlanta, lalu mengambil lunch box yang ada di dalam. Tidak ada perlawanan ataupun penolakan dari Atlanta. Dia hanya diam, membiarkan Jay mengambil satu lunch box dari Bi Mirna.
Tanpa sepatah kata, ataupun kalimat ucapan terima kasih, Jay pergi begitu saya dari hadapan Atlanta, menuju kelasnya yang bersebelahan dengan kelas Atlanta. Laki-laki itu menghela napas, menatap punggung lebar saudaranya. Setidaknya, Jay tidak akan jajan sembarangan jika dia memberikan bekal itu, Atlanta sedikit lega, dan mengukir senyum manisnya. Bagimanapun, Jay tetap adiknya, yang harus dia jaga. Atlanta harus mengalah, mengabaikan isi perutnya yang belum terisi apapun.
Di dalam kelas yang lumayan ramai, Atlanta berjalan ke bangku paling belakang, tempat duduk Lucas dan Mark, untuk memberikan tas ransel mereka berdua.
"Woy, bisu! Sini lo," sahut Lucas melambaikan tangan. Mau tidak mau, Atlanta berbalik badan, kembali menghampiri Lucas.
"Kerjain PR gue," katanya melempar buku tulis. Atlanta mengangguk, enggan menolak.
"Sekalian punya gue." Mark menimpal, melempar buku miliknya seperti yang dilakukan Lucas.
Atlanta mengambil kedua buku itu, menghela napas pendek, dan kembali ke tempat duduknya yang ada di barisan paling depan. Atlanta mendudukkan bokongnya di kursi, mulai mengerjakan tugas milik Lucas dan Mark, menyalin semua jawaban yang sudah dia kerjakan semalaman.
Seperti itulah kegiatan sehari-hari Atlanta. Jika tidak dijahili teman-temannya, dia akan diperlakukan layaknya pembantu. Mau bagaimana lagi? Dia hanya ingin lulus dari sekolah, tanpa cacat masalah. Dia tidak mau beasiswa yang dia dapatkan dicabut karena berurusan dengan anak-anak konglomerat itu.
"Anak-anak, semuanya duduk di bangku masing-masing," ucap pria dewasa berkacamata minus memasuki ruang kelas yang cukup ricuh saat itu.
Para murid di kelas cepat-cepat kembali ke bangku masing-masing, menunda kegiatan bercengkrama pagi-pagi mereka.
Atlanta mengangkat kepalanya, menyimpan semua buku yang ada di atas meja ke kolong bangku. Atensinya teralihkan pada gadis yang dibawa guru itu. Ah, ternyata dia murid baru yang dibicarakan Lucas tadi.
"Hari ini, kalian akan mendapat teman baru. Namanya Elisa," ucap guru itu, mengulurkan telapak tangan mengisyaratkan gadis itu untuk memperkenalkan diri.
Elisa tersenyum singkat, maju ke depan kelas. Ada sedikit perasaan gugup ketika murid-murid di depannya memandang dia, menjadikan dirinya pusat perhatian.
"Hai. Namaku Elisa. Semoga kita bisa berteman baik," ucapnya.
Tatapan memuji terpatri dari mimik wajah para murid. Siapa yang tidak kenal Elisa? Gadis cantik, model remaja yang beberapa tahun terakhir sangat populer di media sosial, majalah dan layar televisi. Tidak terbayang dalam benak mereka, Elisa akan pindah sekolah, dan satu kelas dengan mereka. Tidak lama lagi sekolah mereka pasti akan terciprat kepopuleran Elisa.
"Baik. Kalau begitu, Elisa—" ucapan guru itu terpotong, dia berdehem sebentar sebelum melanjutkan ucapannya, mengedarkan pandangan kesetiap bangku kelas.
"Elisa, kamu duduk dengan Atlanta saja, tidak masalah, 'kan?"
Atlanta membulatkan mata, balik menatap guru di depannya. Sedangkan Elisa, gadis itu tersenyum lebar.
"Tidak, Pak. Terima kasih," katanya.
Elisa melangkahkan kaki menuju bangku paling depan, tempat kediaman Atlanta selama memasuki SMA. Ya, Atlanta tidak pernah mendapat teman sebangku, dia hanya duduk sendirian. Lagipula, siapa yang mau berdekatan dengannya.
Gadis itu mendudukkan bokongnya di kursi samping Atlanta, mengaitkan tas ransel berwarna hijaunya dikepala kursi. Atlanta menundukkan kepalanya, masih belum terbiasa dengan orang yang kini duduk di sebelahnya, terlebih seorang perempuan. Dada laki-laki itu berdegup kencang.
"Sekarang, keluarkan buku sejarah kalian. Kelas akan dimulai dua menit lagi," kata guru tadi, dia berjalan menuju mejanya, mengeluarkan buku tebal yang diketahui adalah buku paket sejarah.
Semua murid nurut, melakukan perintah sang guru, tidak terkecuali Elisa, gadis yang baru saja menyandang status murid baru. Gadis itu mengeluarkan dua buku dari dalam tas, dan sebuah tempat pensil bermotif bunga.
Kedua mata Elisa menoleh pada laki-laki yang duduk di sebelahnya, Atlanta. Sejenak, Elisa memperhatikan wajah laki-laki itu, pahatan wajah yang sempurna. Senyum Elisa tercipta begitu saja, ketika mendapati laki-laki itu ternyata diam-diam mencoba melirik dengan ekor matanya malu, belum lagi gestur tubuh Atlanta yang sangat kaku membuat Elisa merasa gemas sendiri.