Chereads / Surat untuk Atlanta / Chapter 6 - Bagian 6 : Secarik surat

Chapter 6 - Bagian 6 : Secarik surat

Mobil tesla berwarna hitam melenggang masuk ke dalam area sekolah. Puluhan siswa yang berjalan kaki menuju gedung utama tiba-tiba teralihkan dan memilih berkumpul seperti menyambut orang di dalam mobil sana, bertanya-tanya kira-kira siapa manusia tajir di dalam.

Pintu mobil terbuka ke atas, gadis cantik yang duduk anggun di dalam, menapakkan kaki jenjang ke luar, bersama dengan seseorang di balik kemudi, laki-laki dewasa bersetalan jas formal abu-abu, berkacamata hitam, menghampirinya.

Seakan sudah terbiasa dengan kepopuleran yang dia ciptakan, Elisa membalas senyuman orang-orang yang menatap kagum akan dirinya. Tidak bisa dibantah, hal itu menambah aura cantik nan ramah gadis berambut panjang terurai yang saat itu menjadi pusat perhatian.

Laki-laki yang berstatus kakaknya -Joni menurunkan kacamata hitam yang sejak tadi dia pakai, vibes sugar daddy yang dipancarkan tak ayal membuat gadis-gadis SMA meleleh akan ketampanan Joni. Belum lagi struktur wajah tegas, tubuh tinggi tegap bak atlet, siapapun yang melihat akan bungkam mengagumi Joni.

"Sana, belajar yang bener," ucap Joni bersuara. Elisa menoleh ke arah kakaknya, masih dengan senyum yang terpatri dari bibirnya, dia mengangguk.

Belum sempat Elisa menjabat tangan Joni berniat memberi salam, seorang wanita yang dia tahu adalah guru BK menghampiri mereka. Wanita itu tersenyum memamerkan gigi putihnya, beberapa kali dia mencoba merapikan anak rambutnya yang keluar dari ikatan.

"Eh, Pak Joni. Nganter Elisa, ya?" tanyanya ramah. Tentu saja hanya basa basi. Joni hanya tersenyum sangat tipis, seolah tidak berminat menjawab pertanyaan wanita itu yang sungguh tidak perlu sebuah jawaban.

"Mampir dulu, Pak. Ngopi dulu di dalam, biar saya buatkan," ucapnya lagi mengajak Joni memasuki gedung utama sembari berusaha merangkul lengan Joni yang menganggur.

Laki-laki itu mencoba melepaskan genggaman sebuah tangan dilengan sebelah kirinya. "Enggak, Bu. Gak usah repot-repot, saya harus ke kantor sekarang," katanya.

Elisa yang merasa risih dengan pemandangan di depan, di mana guru BK itu seperti mencari perhatian kakaknya yang tidak minat sama sekali.

"Bu, Abang saya harus meeting sekarang, mungkin lain kali saja ya, hehe," sahutnya sembari membantu melepaskan genggaman tangan wanita itu yang cukup kuat, enggan melepaskan Joni barang sedetik.

"Bang, berangkat sekarang aja, nanti keburu kesiangan," imbuh Elisa. Joni mengangguk, dan segera pergi memasuki mobil mewah miliknya lalu tancap gas, rasanya tidak sanggup menghadapi keganasan wanita-wanita yang mencoba mencari perhatian darinya.

Guru BK yang merasa diacuhkan, hanya bisa menatap sedih kepergian pria yang menjadi incarannya. Elisa mencoba menahan tawa ketika melihat guru di sampingnya.

"Bu, saya permisi ke kelas." Pamit gadis itu. Namun bukannya mengangguk atau mengiyakan ucapan Elisa, guru BK bernama Mina itu kembali mengekori Elisa, adik dari pria idamannya.

"Eh, tunggu dulu, saya belum selesai bicara," ucapnya mencoba menghentikan langkah Elisa.

Elisa tetap melangkahkan kaki lebar, merasa malas dengan kemungkinan yang akan dikatakan bu Mina, dia sudah paham kemana arah pembicaraan wanita itu, apa lagi jika bukan menyuruhnya untuk bisa didekatkan dengan Joni.

"Tolong saya, Elisa. Kamu pasti punya dong nomor WhatsApp pak Joni, m--maksud saya kakak kamu, Joni," ucapnya sambil terus menyesuaikan langkah kakinya dengan Elisa.

"Iya punya dong, Bu. Bang Joni 'kan Abang Elisa. Memangnya kenapa?" ucap gadis itu. " Ah, udah dulu ya bu, saya mau masuk kelas," imbuhnya.

Seperti tidak ada niatan untuk mendengar dan menghentikan langkah barang sedetik, Elisa semakin cepat melangkahkan kaki, menaiki puluhan anak tangga tanpa mempedulikan bu Mina yang terus mengikutinya dari belakang. Rupanya wanita itu sangat pekerja keras hanya karena ingin memiliki dua belas digit nomor Joni, meski beberapa pasang mata menatap aneh, dimana seorang guru mengejar muridnya, tapi hal itu tidak menyulutkan niat wanita itu.

Tepat 10 meter di depan, Elisa membulatkan mata, senyum mulai mengembang dari sudut bibirnya. Disana, dia melihat laki-laki yang selalu berputar dalam pikirannya.

"ATLANTA!" sahutnya yang nyaris lantang.

Laki-laki itu membalikkan badan ketika mendengar suara memanggilnya. Elisa melambai, tersenyum lebar ketika laki-laki di sana menoleh. Tapi detik selanjutnya, Atlanta kembali memalingkan wajah, dan berjalan cepat menuju kelas.

Elisa menautkan alis, lantas gadis itu dengan segera menyusul Atlanta yang sudah lebih dulu meninggalkannya, dia bahkan lupa bahwa gurunya ditinggalkan begitu saja di belakang sambil terus memanggil namanya.

Elisa berlari mengejar Atlanta yang tidak begitu jauh dari jangkauannya. Seperti bermain kejar-kejaran, dengan sekuat tenaga dia memacu langkah kaki.

Puk!

Gadis itu menepuk pundak Atlanta lumayan keras, membuat si empu hampir saja terlonjak. "Kenapa sih gak nungguin aku," ucapnya.

Atlanta hanya menunduk, memainkan jari-jari tangannya, gestur tubuh yang kaku membuat gadis yang kini berjalan di sampingnya mendengus kecil.

"Kamu gak mau temenan sama aku, ya?" kata Elisa yang berhasil membuat Atlanta tercekat, kemudian mengangkat kepala, menoleh ke arahnya.

Dia hanya menatap wajah cantik Elisa yang saat itu sedikit murung. Selanjutnya, Atlanta menggeleng pelan sebagai jawaban. Lihat, raut wajahnya yang terlihat panik sangat menggemaskan bagi Elisa.

"Ya udah kalo gak mau," ucapnya, melenggang mendahului Atlanta. Tidak, bukan karena marah dengan jawaban Atlanta, hanya saja gadis itu ingin sedikit mengerjai laki-laki yang saat itu sedang menyusul dirinya ke dalam kelas. Dia harus berusaha menahan tawa yang bisa membludak kapan saja, wajah Atlanta yang sangat polos membuatnya tak ayal ingin segera memberi cubitan gemas di pipi gembil Atlanta.

Elisa mendudukkan diri di bangku mereka, tentu saja tempat duduk dia dan Atlanta. Elisa masih berusaha bersikap dingin kala itu, berbeda dengan Atlanta, laki-laki itu menghampiri Elisa dengan langkah yang sangat sangat kaku, terlihat jelas Atlanta masih ragu barang duduk di samping Elisa. Dia benar-benar takut jika gadis itu memang marah padanya.

Atlanta menghela nafas, duduk di bangku dengan sangat hati-hati, menyimpan tas ransel di atas meja, raut wajahnya semakin memelas. Jujur saja, Atlanta tidak ingin membuat gadis itu salah paham dengan jawaban darinya tadi. Dia berusaha menolehkan pandangannya ke samping, ke arah Elisa yang masih terdiam dengan wajah datarnya, itu semakin membuat Atlanta takut.

Masih belum puas memberi sedikit pelajaran pada Atlanta, sosok yang selalu berputar dalam otaknya tanpa diperintah, Elisa mengambil sebuah buku dalam tas nya, menyobek bagian tengah lalu menulis sesuatu di sana.

Elisa melipat kertas itu, menyimpannya tepat di depan Atlanta. Atlanta menarik alis, menoleh ke arah Elisa seolah bertanya, tapi gadis itu mendorong dagu sebagai jawaban, mengisyaratkan Atlanta untuk membuka surat itu.

Kesekian kalinya Atlanta menghela nafas, membuka lipatan kertas yang saat itu ada digenggamannya, berdo'a semoga gadis di sampingnya sedang tidak marah padanya, ataupun salah paham.

"Kamu jahat, padahal aku cuma mau jadi temen kamu."

Kedua bola mata Atlanta membulat sempurna, satu kalimat yang berhasil membuat hatinya berdegup. Dengan segera, Atlanta mengambil pulpen dari dalam tas, membalas surat dari Elisa seolah tidak ingin membuat gadis itu menunggu lama.

Tidak memakan banyak waktu, Atlanta mendorong kembali kertas itu.

"Bukan seperti itu. Kamu jangan salah paham. Aku menggeleng bukan berarti aku tidak ingin menjadi temanmu. Maafkan aku."

Baik, bolehkah gadis itu tertawa sekarang? Karena bagaimanapun Atlanta sangat polos, Elisa tidak bisa menahan gelitikan yang bisa saja membuncah menghasilkan tawa kapan saja.

Elisa menggigit bibir bawah, berusaha melancarkan aksinya dengan sangat mulus. Dia membalas lagi surat itu lagi.

"Tetep aja, kamu salah. Pokoknya, jam istirahat nanti kamu harus traktir aku."