Ruangan bernuansa peach masih temaram, minim penerangan, cahaya matahari sedang mencoba masuk menerobos lewat jendela kaca, dengan gorden putih masih tertutup. Puluhan kali suara ketukan pintu berbunyi, tapi hal itu sama sekali tidak mengusik tidur lelap gadis cantik yang masih setia bergelut di dalam selimut.
Masih dengan setelan dress merah muda, wajah Elisa sangat tenang dalam tidurnya. Beberapa pil obat tidur dan obat penenang yang sempat dikonsumsinya tadi malam, berceceran di atas nakas.
TOK! TOK! TOK!
Perlahan, kedua kelopak mata Elisa mulai terbuka, ketika mendengar ketukan yang sangat keras. Dia mengerjapkan mata beberapa kali.
"ELISA! BANGUN WOY! UDAH SIANG!" sahut laki-laki di balik pintu. Elisa sudah hafal betul siapa orang di sana.
Elisa bangun dari tidurnya, mengucek kedua mata yang dirasa masih lengket dan berat, lalu menyalakan lampu tidur, sedikit memberi penerangan untuk kamarnya. Sorot mata Elisa menoleh ke arah nakas, dia membereskan obat, memasukkannya kedalam laci.
"EL! GUE TINGGALIN, YA," sahutnya lagi. Elisa berdecak, dia beranjak dari ranjang untuk membuka pintu kamar yang terkunci.
Cklek
Tampaklah laki-laki jangkung bermodel rambut mullet yang sedang berdiri di depan kamar Elisa sembari berkacak pinggang, menelisik Elisa dari atas sampai bawah.
"Astaga, lo gak ganti baju? Make up lo juga gak dibersihin?" ucapnya. Elisa menguap lebar, menggaruk kepalanya. Pasti kakak laki-lakinya yang satu ini akan banyak bertanya seperti biasa.
"Ya emang kenapa sih, Bang? Gak ada undang-undang yang ngelarang juga, 'kan?" jawab Elisa santai, membuat laki-laki bernama lengkap Yunaka Tama menggelengkan kepala heran, bisa-bisanya dia memiliki adik perempuan modelan Elisa.
"Terserah lo deh. Sekarang cepetan mandi, gue ada kelas pagi. Gue gak mau telat gara-gara nungguin lu mandi," ujarnya. Laki-laki itu mendorong Elisa memasuki kamarnya lagi.
"15 menit, gue tungguin lu."
Gadis berambut panjang terurai tak beraturan itu melangkah lesu ke arah kamar mandi, membersihkan diri dan berganti pakaian selama 15 menit. Bukan hal yang sulit, dia sendiri sudah terbiasa menghabiskan waktu 10 menit saja untuk bersiap berangkat sekolah, cukup simpel, tidak seperti anak perempuan pada umumnya.
Elisa menuruni anak tangga ke lantai satu, menuju ruang makan rumahnya yang dibilang cukup besar, dan megah.
"Ini nih, oknum yang buang-buang waktu gue," ucap Yunaka, seperti menyindir Elisa yang baru saja mendudukkan diri di kursi.
Elisa mendelik, mengambil dua helai roti tawar dan mengoleskannya dengan selai kacang ditambah strawberry.
"Lagian gue 'kan gak nyuruh lo buat nungguin gue, Bang. Kalo mau berangkat, ya berangkat aja," kata Elisa tanpa dosa. Dengan santainya gadis itu melahap roti, tanpa menyadari raut wajah kesal sang kakak yang duduk di depannya saat itu.
Tak!
"AW!" Elisa menjerit, memegang jidatnya yang sedikit panas akibat sentilan dari Yunaka. "Sakit, Bang! Jahat banget sama adek sendiri! Huaaa! Mama, Bang Atuy jahat sama El!" sahutnya mengadu pada Mama, sembari pura-pura menangis.
"Utay, Atuy! Yunaka Tama! Seenak jidat aja lu kalo nyebut nama orang." Sergahnya.
Wanita yang nyaris setengah abad itu menggelengkan kepala, cukup paham dengan tingkah Yunaka dan Elisa, anak kedua dan ketiganya. Rasanya rumah akan sangat aneh jika kedua Upin Ipin itu tidak bertengkar.
"Abang jangan galak-galak sama adek, tuh liat jidatnya sampe merah," ucap Vina—Mama tiga anak itu, Elisa mengangguk mengiyakan, kemudian menyeringai, seolah dirinya mendapatkan pembelaan dari sang Mama.
"Elisa juga, bangun itu pagi-pagi. Kasian kakak-kakak kamu dari tadi nungguin, liat Bang Joni, udah mulai lecek mukanya, mana hari ini ada meeting. Iya 'kan, Bang?" kata Vina, Joni—si sulung menoleh, kemudian hanya tersenyum dan mengangguk.
Kali ini Yunaka terkekeh kecil, menertawakan Elisa yang sudah manyun, mendapatkan karmanya sendiri. Gadis itu menatap tajam Yunaka yang sedang menahan tawa.
"Mampus lu, ulet bulu," ujar Yunaka menjulurkan lidah jenaka. Tak ayal membuat Elisa mengambil ancang-ancang melayangkan kepalan tangan.
Seperti itu suasana sehari-hari keluarga Elisa, jika tidak bertengkar dengan kakaknya, terutama Yunaka, kakak laki-laki yang terpaut empat tahun darinya, dia akan senang hati mendengarkan petuah ataupun nasehat dari Mamanya.
"Gimana sekolah kamu yang baru, El?" tanya Joni, laki-laki berumur 26 tahun mulai angkat bicara setelah sekian lama terdiam, menghayati setiap gigitan roti yang masuk ke dalam mulutnya, dan memilih tidak peduli dengan Elisa dan Yunaka yang sering bertengkar.
Elisa menelan roti yang dikunyah. "Baik kok, Bang. Elisa betah, El juga punya temen baru," jawabnya.
"Oh ya? Siapa?" tanya Joni lagi, dia tersenyum menatap Elisa, menunggu jawaban sang adik penuh minat.
"Temen sebangku El, Bang. Namanya Atlanta. Dia lucu banget sumpah, kalo senyum bikin gemes, giginya kaya kelinci," ucap Elisa, gadis itu membayangkan senyum indah Atlanta kemarin, masih terngiang bagaimana laki-laki itu tersenyum lembut, sebuah senyuman yang belum pernah Elisa lihat seumur hidupnya.
"Tonggos maksud lu?" sahut Yunaka menimpali, dengan alis yang bertaut dan bola mata yang setengah melotot tanda tidak percaya, membuat Elisa rasanya ingin segera memberi bogeman pada kakak laki-lakinya yang satu itu.
Elisa berdecak, merotasikan bola mata malas. "Serah lo deh, Bang," ucapnya pasrah.
"Heran gue, lo suka sama yang begitu masa," ujarnya. Yunaka kembali menyomot sehelai roti untuk dimakan lagi.
"Bang, mending Abang diem deh, gak nyambung tau gak kalo ngobrol sama Abang. Bawaannya darah tinggi mulu." Ketus Elisa menghempaskan napas berat, mengobrol dengan Yunaka memang harus ekstra sabar.
Elisa kembali merenung sembari menghabiskan potongan roti yang dia genggam, gadis itu diam-diam memikirkan Atlanta. Entah kenapa tiba-tiba saja bayangan Atlanta selalu terlintas begitu saja dalam otaknya, membuat Elisa enggan menghalau bayangan yang menurutnya sangat indah.
Beberapa detik kemudian, ucapan Lucas kemarin ikut menyahut dengan sosok Atlanta. Sebuah fakta mengejutkan yang berhasil membuat dada Elisa terkoyak. Laki-laki itu, bisu, tidak bisa berbicara. Sulit dipercaya, namun itulah kenyataannya.
"Bang Jon, El mau belajar bahasa isyarat," ucap Elisa tiba-tiba. Laki-laki itu mengerjapkan mata dua kali, terkejut dengan ucapan adiknya yang sangat aneh.
Joni menarik sebelah alis. "Kenapa tiba-tiba?"
Elisa berdehem, masih memikirkan kalimat yang pantas untuk dia ucapkan. "Engga kok, Bang. Pengen aja, kayanya seru deh," alibinya.
Laki-laki di depan semakin mengerutkan kening, tapi hal selanjutnya yang dia lakukan adalah kembali tersenyum lembut, menatap Elisa.
"Boleh aja. Tapi kenapa kamu tiba-tiba pengen belajar bahasa isyarat? Apa ada temen kamu yang berkebutuhan khusus?" tanya Joni, bagimanapun laki-laki itu harus tahu alasan Elisa ingin belajar bahasa isyarat. Dia melipat tangan di atas meja, sorot matanya tidak pernah lepas memandang adiknya.
"Engga kok, Bang. El 'kan udah bilang pengen aja. Ya siapa tau nanti El tiba-tiba aja harus berkomunikasi sama orang yang berkebutuhan khusus," ucapnya dengan penuh keyakinan. Entah, dia merasa harus belajar bahasa isyarat.
Joni mengangguk pelan, beranjak dari duduknya, mengambil tas kantor. "Kalo kamu serius, besok Abang anter ke tempat les setelah pemotretan." Finalnya. Elisa membulatkan mata, ini langkah pertama bagi Elisa untuk bisa lebih dekat dengan Atlanta.