Chereads / Surat untuk Atlanta / Chapter 3 - Bagian 3 : A fact

Chapter 3 - Bagian 3 : A fact

Kelas berakhir pukul 10.00, itu artinya jam istirahat telah tiba. Seluruh murid membereskan buku-buku yang sudah dipakai ke dalam tas, maupun kolong meja. Ketika bel berbunyi, suara murid yang nyaris lantang memenuhi seisi ruangan.

"Jangan lupa, tugas dikumpulkan minggu depan, selamat siang," ucap guru sejarah pamit undur diri.

Atlanta masih terdiam di bangkunya, yang dia lakukan hanya memainkan jari-jarinya secara bergantian. Bola matanya tidak berhenti mencoba menoleh pada Elisa, walaupun hatinya tidak ingin mencuri pandang pada gadis yang saat itu sedang menulis sesuatu dalam buku diary.

Beberapa detik setelah Atlanta berhasil menolehkan pandangannya, Elisa menoleh cepat membalasnya, membuat pandangan Atlanta tertoleh ke arah lain begitu saja. Elisa terkekeh dengan sikap lucu Atlanta, belum lagi wajah laki-laki itu terlihat pucat saat kepergok sedang memandanginya.

"Kamu kenapa? Kok gugup?" ucap Elisa. Gadis itu menumpu dagu dengan sebelah tangan, sembari memandangi Atlanta, memperhatikan raut wajah gelisah laki-laki di sampingnya. Hal itu sontak membuat Atlanta gelapan, jantungnya berpacu sangat cepat, sampai dia bisa mendengar suara jantungnya sendiri.

Elisa masih tersenyum lebar memamerkan gigi putih susunya. Rasanya belum puas memandangi wajah lucu laki-laki itu, sebelum akhirnya suara berat mengalihkan pandangan Elisa.

"Hai, Elisa," ujar Lucas duduk di atas meja Elisa. Membuat gadis itu harus mendongakkan kepala untuk melihat si pelaku yang dengan seenaknya duduk di hadapannya dengan cara yang tidak sopan.

Namun, Elisa harus menjaga image baik. Meski hatinya sangat merutuki laki-laki jangkung itu, senyum manis tetap tersungging di bibir tipisnya.

"Eh, hai," jawabnya ramah.

"Kenalin, gue Lucas. Cowo terganteng di SMA Harapan." Lucas mengulurkan tangan. Elisa menaikkan sebelah alis sebelum membalas uluran tangan Lucas, dan menggerakkannya naik turun.

Cowo aneh. Batinnya.

"Jangan percaya. Dia rada sinting. Kenalin, gue Mark." timpal Mark, dia mengambil alih tangan Elisa yang masih setia menempel di telapak tangan besar Lucas.

Elisa hanya mengangguk pelan, memperhatikan sikap aneh kedua laki-laki di depannya.

"Sialan. Lo pikir gue gila," sahut Lucas tak terima disebut sinting oleh Mark.

"Emang iya, 'kan." Mark menjulurkan lidah, dan melipat kedua tangan. Itu membuat Lucas berdecih, lalu menoyor kepala Mark.

"Berani lo sama gue, huh!"

Keduanya kembali dengan pergulatan tidak berfaedah seperti biasanya, saling kejar mengelilingi kelas, dan mengumpat. Elisa menggelengkan kepala tidak percaya, bisa-bisanya ada manusia seperti Lucas dan Mark.

Elisa mengubah posisi duduk, menghadap tepat ke arah Atlanta sembari tersenyum. Namun, laki-laki itu dengan kecepatan kilat mengambil lunch box yang dia bawa. Atlanta beranjak, dan pergi dari kelas, membuat Elisa sempat kebingungan, dan mau tidak mau ikut menyusul Atlanta, mengekori laki-laki itu.

"Hei! Tunggu! Kamu mau kemana? Kita belum sempat kenalan," sahut Elisa yang sama sekali tidak didengar oleh Atlanta.

Laki-laki tinggi itu tetap melangkahkan kaki lebar, enggan menoleh pada gadis yang kini sedang kesulitan menyesuaikan langkah lebar dan cepat yang dia buat.

"Kenapa kamu diem terus? Tunggu dulu." Elisa terus berbicara tanpa rem, berniat menghentikan pergerakan Atlanta yang saat itu membawanya ke taman sekolah tanpa dia sadari.

Dia tidak peduli dengan tatapan murid lain yang mungkin menganggap Elisa seperti penguntit karena terus mengikuti Atlanta.

"Atlanta!" sahutnya.

Kaki jenjang itu membeku, berhenti mendadak, seperti ada sesuatu yang menahan langkahnya lagi. Elisa tersenyum lebar, dan mendekati Atlanta dengan napas yang masih tersenggal. Gadis itu berdiri di depan Atlanta, dia mendongak karena tinggi Atlanta yang terbilang cukup terlampau baginya. Elisa menatap manik hitam Atlanta lembut, tak urung membuat si lawan ikut menatap Elisa juga, dia mengerjapkan mata beberapa kali. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menggelitik hati Atlanta ketika bertemu dengan pemilik mata indah itu.

"Kenapa kamu pergi gitu aja? Ga sopan. Kita belum sempat kenalan loh." Elisa mencebik, namun terlihat menggemaskan dalam mode pura-pura itu.

Atlanta masih diam, bukan tidak ingin menjawab, tapi sebuah keterbatasan yang membuat laki-laki itu membeku. Tidak tahu harus berbuat apa, Atlanta kembali berjalan menuju kursi kayu yang dinaungi sebuah pohon flamboyan besar di taman. Gadis itu tidak pernah lelah mengikuti kemana Atlanta pergi, bahkan ketika laki-laki itu duduk di kursi, dia ikut duduk juga tanpa permisi, dan tanpa diperintah.

"Kenapa gak pergi ke kantin?" tanya Elisa memulai percakapan.

Orang yang diajak bicara hanya diam, dan mulai membuka tutup lunch box yang dibawanya, membuat Elisa mendengus sekali lagi. Kenapa dia selalu terdiam, bahkan Elisa belum pernah mendengar laki-laki itu berbicara ketika di dalam kelas, saat semua murid menjawab apa yang diucapkan guru di depan. Belum pernah Elisa mendengar satu huruf pun keluar dari mulut laki-laki itu, seperti terkunci rapat.

Elisa masih menatap Atlanta yang sedang memandangi makan siangnya minat, dua potong sandwich lengkap yang masih utuh mengisi ruang lunch box. Atlanta menoleh, tersenyum tipis ke arah Elisa untuk pertama kalinya. Gadis itu melebarkan mata antusias, apakah Atlanta akan menjawab semua pertanyaannya?

Sedetik kemudian, tangan itu terulur memberikan sepotong roti isi. Elisa menautkan alis, apa maksudnya? Tapi Atlanta kembali mengulurkan roti itu, bermaksud memberikan setengah makan siangnya pada Elisa.

"Buat, aku?" tanya Elisa menunjuk dirinya sendiri.

Atlanta mengangguk, tersenyum menampilkan gigi kelincinya. Walaupun tidak mengerti kenapa tiba-tiba Atlanta memberikan sepotong sandwich itu, Elisa tetap menerimanya, memakan satu suap.

"Wah! Ini enak banget! Kamu yang buat?" ujar Elisa yang memakan sandwich itu sampai tersisa setengah. Rasanya sangat enak, belum pernah dia memakan sandwich seenak itu, perpaduan yang sangat sempurna, atau mungkin karena Elisa sedang lapar?

Atlanta menghela napas lega, sudut bibirnya semakin tertarik membuat senyum lebar manis yang dimilikinya. Atlanta menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Bukan? Ah, pasti Ibu kamu?"

Ibu?

Senyum itu perlahan memudar, namun tidak sepenuhnya. Atlanta mengangguk ringan, membenarkan pertanyaan Elisa, meskipun sebenarnya jawaban yang diberikan Atlanta adalah sebuah kebohongan. Mana mungkin Ibunya membuatkan bekal untuk Atlanta.

"Kamu pasti senang punya Ibu yang selalu ada buat kamu. Buat sarapan pagi-pagi, buat bekal ke sekolah. Iya 'kan?"

Seperti ada ribuan panah menusuk hatinya. Tertancap sempurna, dan menghasilkan rasa sakit sekaligus sesak yang teramat menjalar di area dada. Atlanta tidak mengindahkan ucapan Elisa, dia ikut menyantap makan siangnya dengan pikiran yang berkecamuk.

"WOY! BISU!"

Atlanta, begitupun Elisa, menoleh ke sumber suara. Laki-laki jangkung yang berhasil masuk ke dalam daftar list 'laki-laki aneh' oleh Elisa. Lucas dan Mark menghampiri keduanya.

Elisa menautkan alis, siapa yang dimaksud Lucas tadi? Siapa yang bisu?

"Gue cari-cari ternyata lo di sini. Ngerepotin banget sih si bisu! Noh, dicariin Bu Rina TU," ucap Lucas mendorong dagu lancipnya ke samping.

Gadis itu seketika menoleh pada Atlanta yang terlihat panik sendiri. Atlanta bergegas beranjak, pergi meninggalkan Elisa bersama Lucas dan Mark. Elisa berdiri dari duduknya, berniat menyusul Atlanta yang pergi tanpa pamit, sebelum tangan besar menarik pergelangan tangan Elisa.

"Jangan dikejar, dia gak pantes deket-deket sama lo," ucap Mark.

Elisa memandang keduanya bergantian, dan berekspresi bingung. Kenapa? Masalahnya apa? Atlanta laki-laki baik, dia juga sangat manis. Kenapa Lucas dan Mark seperti membenci Atlanta.

"Tapi kenapa?"

"Karena, dia itu, bisu." Mark menjelaskan dengan penuh penekanan di setiap kata nya.

Elisa tercekat, tatapannya berubah nanar. Jadi, laki-laki itu, tidak bisa bicara. Apa itu alasannya menutup mulut, enggan berucap. Persetan dengan Atlanta yang tidak bisa bicara, lalu kenapa? Itu sudah takdir Atlanta, dan bukan keinginan laki-laki itu. Kenapa semua orang bahkan tidak mau berteman dengan Atlanta, apa karena kekurangannya? Bagaimanapun, orang-orang yang telah memandang rendah laki-laki itu sungguh keterlaluan.

"T—terus kenapa kalo dia bisu?" ucap Elisa memberanikan diri.

Lucas dan Mark saling pandang, kemudian tertawa renyah. Entah apa yang tengah ditertawakan keduanya, memang definisi manusia aneh yang sebenarnya.

"Elisa, Elisa, lo sadar gak sih, lo itu model terkenal, orang terpandang. Masa iya lo mau temenan sama si bisu itu. Udah bisu, miskin pula. Apa kata orang-orang nanti," kata Lucas santai.

Sebelah sudut bibir Elisa terangkat, seolah meremehkan ucapan orang di depannya. Bisa-bisanya laki-laki jangkung bak tiang listrik itu berbicara tanpa difilter terlebih dahulu. Hatinya sangat geram dengan ucapan Lucas, gadis itu mengepalkan tangan, tidak terima dengan orang yang merendahkan Atlanta sesuka hati.

"Ya, lo bener. Mungkin gue bakal malu kalo temenan sama Atlanta, tapi, gue bakal lebih malu lagi punya temen kaya lo! Dasar, mulut kurang imunisasi, lembek," cerca Elisa, dia menerobos lengan Lucas kasar, pergi dari tempat itu dengan perasaan khawatir memikirkan Atlanta.