'Kakak mulai curiga, benar dugaanku. Oh God, Bagaimana aku harus menyelesaikan masalah ini? Apa aku harus jujur saja langsung pada kakak? Tapi kondisi kakak mulai memburuk.' gumamnya dalam hati.
'Dad.. mom.. bagaimana aku harus menyelesaikan masalah ini? Bukankah jika kakak tau masalah ini, itu sama saja dengan aku membunuh kakak?' batinnya bergejolak. Perasaan was-was dalam beberapa waktu lalu sudah semakin besar.
Calvin mendapatkan notifikasi dari ponsel Channing yang ia retas sebelumnya. Panggilan yang Channing lakukan dengan Jimmy, tertangkap oleh Calvin. Dan dia mendengar semua pembicaraan keduanya.
Surat sebelumnya yang di kirim oleh suruhan Paman Rohas, sempat di membaca Channing nama rumah sakitnya. Meski belum sempat terbaca semua, tapi Channing tau rumah sakit apa itu. Karena ia penasaran, dan niat ingin membantu sang adik, sehingga Channing meminta bantuan Jimmy untuk mencari sesuatu yang berhubungan dengan rumah sakit tersebut.
Bagaimana caranya Calvin menyelesaikan masalah yang sungguh pelik ini? Sementara ini sudah berjalan 3 bulan. Bukankah sekarang akan sangat terlambat untuknya mengatakan hal yang sebenarnya pada Channing?
'Tapi aku tak bisa menundanya lebih lama lagi. Kehamilan Ellice akan membesar dalam waktu dekat. Jika memang tak ada cara lain, sepertinya aku harus bicara pelan-pelan dengan kakak. Benar kata Mario. Hasil tes dari Antony akan aku tunjukkan sebagai bukti pada kakak.'
"Tuan Calvin? Bagaimana tuan? Apa anda tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan kami?" ucap seorang pria yang sedang duduk di ruang kerja Calvin bersama 3 pria lainnya. Membangunkan Calvin dari lamunan yang belum menemukan ujungnya.
"Ah.. maafkan saya tuan Reno. Saya akan membaca ulang proyek ini dan memeriksa semua kesiapannya. Jika sesuai dengan harapan perusahaan dan keuntungannya yang di dapat cukup memuaskan, maka kita bisa langsung melanjutkan kerja sama ini."
"Saya harap akan sesuai dengan apa yang anda harapkan tuan. Jika ada yang perlu di tanyakan silahkan hubungi saya atau yang lainnya tuan." mereka saling berjabatan tangan dan meninggalkan Calvin seorang diri di ruangannya.
Drett.. drett..
"Maafkan aku pagi tadi." Pesan singkat yang di kirim Ellice padanya membuat Calvin sedikit bersemangat. Memang wanitanya ini sungguh membuatnya gusar setiap hari. Tapi mampu membuat Calvin selalu merindukannya.
"Kau kenapa marah padaku? Apa aku ada salah padamu? Maaf aku kurang peka padamu, Tapi jika memang aku membuatmu tidak nyaman, Maafkan aku." Balasnya pada Ellice.
"Ellice, kenapa kita di pertemukan dalam keadaan seperti ini? Bisakah waktu di putar kembali?" ucap Calvin dengan menutup wajahnya memikirkan apa yang telah terjadi.
Kenapa ia di pertemukan cintanya dengan cara seperti ini? Kenapa harus dengan kakaknya sendiri?
Tak lama ponselnya kembali bergetar. "Bagaimana saudaraku? Kau menyukai kejutanku beberapa waktu lalu? Kau akan mendapatkan kejutan lain setelah ini. Jadi tunggulah saatnya tiba."
"Fuck! Siapa dia?" pesan anonim yang di terima Calvin membuat Calvin kembali gelisah. Ia segera menghubungi Mario. "Mario. Aku baru saja mengirimkanmu nomer telpon. Cepat cari tau siapa yang mengirimkan pesan itu padaku. Sekarang."
"Baik tuan."
"Aku rasa ini bukan paman Rohas. Sial! Nomernya sudah tidak aktif. Ah shit! Shit!' Umpatnya keras. ketika mencoba menghubungi nomer anonim itu kembali, nomer sudah tak lagi aktif.
***
Sebelum mendapat pesan dari pesan anonim itu, mood Calvin membaik. Namun karena pesan brengsek itu, semuanya jadi kacau lagi. Tapi itu semua tak mengurungkan niat Calvin untuk menguatkan tekadnya berkata jujur malam ini pada sang kakak.
Dalam perjalanan pulang, ia terus memikirkan kata-kata yang pas untuk di katakan pada Channing. Mencari kata sehalus mungkin untuk tidak menyakiti sang kakak, meski pada kenyataannya Calvin telah menyakiti Channing sudah terlalu dalam. Rumah tangga kakaknya menjadi seperti ini karena dirinya.
Setibanya di rumah, Calvin segera mencari Channing. "Bi, kakak di mana?" tanya Calvin sambil meregangkan dasinya dengan wajah yang terlihat begitu lelah.
"Tuan ada di ruang kerjanya bersama Jimmy tuan."
"Ellice di mana bi?"
"Nyonya sedang menonton televisi tuan, di ruang tengah." Calvin hanya mengangguk dan tersenyum. Ia merindukan senyuman wanitanya, untuk memberikan semangat malam ini padanya. Namun tidak sekarang. Jika melihat Ellice saat ini, Calvin pasti akan menunda masalah ini lagi karena ingin lebih lama menikmati waktu berdua dengan kekasih hatinya.
"Kak.. apa aku mengganggumu?" tanya Calvin saat membuka ruang kerja Channing.
"Tentu tidak Cal. Masuklah." Sambut Channing. "Untuk sementara kita lakukan apa yang mereka inginkan dulu saja. Jika mereka tetap tak ingin mengambil kesempatan yang kita berikan, kita putus saja akses kerja sama dengan mereka."
"Baik tuan. Lalu untuk masalah sponsor bagaimana tuan? Apa kita akan tetap menggunakan agency yang sama?"
"Ehmm.. untuk itu.. Cal, apa perusahaan masih melakukan kerja sama dengan agency Jford?"
"Masih kak."
"Iya, kita akan menggunakan pihak mereka saja."
"Baik tuan. Kalau begitu saya permisi dulu."
"Bagaimana di kantor Cal? Aman?" tanya Channing sambil membereskan berkas-berkas kerjanya di atas meja kerja.
"Hmm. Aman semua. Mmm.. kak.. aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Ucap Calvin mulai serius. Dengan segala tekad yang telah ia kuatkan harus malam ini ia berkata jujur pada sang kakak. Apapun konsekuensinya, ia akan tanggung semua. "Apa kau ada waktu kak?"
"Hmm, tentu saja. Apa yang ingin kau katakan Cal? Apa masalah pekerjaan?" tanya Channing yang sudah berdiri dan duduk di sofa yang sama dengan sang adik.
"Bukan kak. Tapi masalah Fernandes."
"Fernandes? Ada apa dengannya? Dia benar sudah mati kan?" tanya Channing bingung.
"Hmm.. tapi ada sesuatu yang lain yang harus aku katakan pada kakak.. Ini terjadi ketika aku minta ijin padamu saat itu ke club tiga bulan yang lalu. Apa kakak mengingatnya?"
"I-yaa.. kenapa Cal? Apa ada yang terjadi saat itu?" Calvin mengangguk dan memberikan dengan ragu hasil tesnya pada Channing. Sekali lagi Calvin memberanikan dirinya untuk mengukuhkan tekadnya.
Seakan di iringi lagu tegang, Calvin membiarkan Channing membaca hasil tes yang di berikannya. Dengan perasaan yang campur aduk dan menantikan reaksi sang kakak sambil menahan nafasnya melihat itu semua.
"Apa ini Cal?" dengan wajah seriusnya Channing membaca surat yang Calvin berikan padanya. "Impoten parsial? Fernandes yang melakukan ini padamu?" Calvin mengangguk.
"Oh God.." menarik nafas dalam, Channing berusaha kuat dan meneruskan membaca hasil tes di tangannya. "Kenapa baru mengatakan hal ini pada kakak Cal? Sekarang bagaimana dengan tubuhmu? Apa semuanya sudah baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja kak. Tapi masalahnya ak.."
"Maafkan aku Cal." Channing tersenyum getir dengan raut sedih yang tertangkap oleh Calvin. "Aku kakak yang tak berguna. Aku bahkan tak bisa melindungimu dari serangan keluarga paman. Bahkan aku hampir membuatmu seperti ini." imbuhnya. Nafasnya sudah mulai terlihat sesak. Namun Channing masih bisa menahannya.
"Bukan. Maksudku bukan seperti itu kak, membicarakan masalah ini pada kakak. Apapun yang sudah terjadi, kau adalah kakak terbaik yang aku punya. Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik. Justru aku yang telah menjadi adik yang jahat padamu kak. Aku yang telah menorehkan luka padamu kak."
"Aku yang tak berguna menjadi kakakmu Cal. Telah menyusahkanmu selama ini. Tak memikirkan beban apa yang telah kau lewati." Hening sejenak. "Lalu bagaimana kau mengatasinya saat itu? Apa kau..."
"Sedang apa kalian berdua? Boleh aku masuk?" tiba-tiba Ellice masuk dan membuyarkan semuanya. memecah ketegangan antara kaka beradik yang sedang mengungkap tabir kehidupan rumah tangga yang telah Calvin hancurkan. Membuat keduanya terkejut dan menyembunyikan masalah yang ada.
'Kenapa ada Ellice di saat seperti ini. Bagaimana aku harus mengatakan ini pada kakak?' keluh Calvin dalam hati. Melihat Ellice yang tersenyum pada mereka berdua, Calvin tak tega sampai membuat Ellice menangis ketika kebenaran di ungkap pada suaminya. Kenapa hatinya begitu luluh pada wanita ini?
Keduanya tersenyum kaku melihat kedatangan Ellice. Channing menyimpan hasil tes Calvin kembali dan memberikan pada Calvin. "Hai sayang. kemarilah." Ucap Channing sambil menghapus keringat dingin di kening. Menahan sakit di dada sebisa mungkin dari istrinya.
"Waktunya makan malam. Aku sudah sangat lapar sekali. Kita makan sekarang ya?" ucap Ellice manja dan keduanya saling tatap dan terpaksa mengangguk.
Tak bisa berbicara. Keduanya masih larut dalam pikiran masing-masing. Channing dalam rasa bersalahnya, Dan Calvin masih gelisah karena tak jadi mengungkap apa yang ingin ia katakan.
"Kalian sedang membicarakan apa tadi?"
Follow IG Author ya @frayanzstar