"Kalian sedang membicarakan apa tadi?" tanya Ellice yang di bantu Channing membuka kursinya untuk duduk.
"Kami tidak membicarakan apa-apa, hanya pekerjaan di kantor hari ini." Calvin dan Channing saling memandang. "Kita makan saja dulu sekarang. Mengobrolnya nanti saja ya?" Ellice langsung mengangguk mengiyakan karena perutnya memang ingin segera di manjakan.
'Bagaimana bisa aku tidak mengetahui hal besar seperti ini? Oh God.. Betapa tidak bergunanya aku sebagai seorang kakak? Sedangkan Calvin menanggung semuanya ini sendiri selama ini. Channing.. kau tidak berguna sekali Chan.' Keluh Channing yang menyalahkan diri atas ketidak mampuannya menyandang status kakak, lelaki yang harusnya menjaga dan bertanggung jawab untuk mengurus masalah keluarganya, justru tak bisa melakukan apapun.
Tak layaknya Channing yang terus menyalahkan dirinya sendiri, begitu pula dengan Calvin. Dia juga menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang telah terjadi. Jika malam itu ia tak pernah datang ke club, ini semua tak akan terjadi.
Melihat Wajah Ellice yang nafsu makannya sekarang begitu besar, itu semua pasti untuk calon anaknya. Senyum Ellice yang selalu ceria dulu juga sempat hilang, karena masalah ini yang belum juga menemukan ujungnya.
"Ada apa dengan kalian berdua? Kenapa makanannya tidak ada yang kalian makan? Kau juga berkeringat sayang." mendengar itu, Calvin langsung melihat wajah sang kakak.
"Kak, kau tidak apa-apa kan?" tanya Calvin mulai waspada. Keringat sebesar jagung terlihat jelas, bertengger di keningnya. Membuat kedua orang yang sedang melihatnya nampak khawatir.
"Kak, kau ke kamar saja. Ayo aku antarkan. Ellice, siapkan makanan kakak ke kamar." tanpa menunggu jawaban Channing, Calvin segera membawa kakaknya ke dalam kamar.
"Kak, sudah jangan di pikirkan apa ucapanku tadi. Semuanya sudah berlalu. Kau jangan terlalu memikirkan hal itu." ucap Calvin yang merasa bersalah dengan keadaan sang kakak saat ini, Calvin makin tak tega untuk meneruskan cerita tentang kebenaran yang terjadi.
"Kakak tidak apa-apa. Kau terlalu berlebihan Cal. Hanya kelelahan saja." jawab Channing mencoba menenangkan.
"Kakak dengarkan aku. Aku adalah adikmu. Apapun yang terjadi antara kita dan kondisi kita, kita tetap adalah dua ikatan darah yang sama. Jadi jangan pernah berpikir macam-macam. Kakak adalah kakak terbaikku. Hanya Fernandes gila itu saja yang menganggap kita lemah."
Channing tersenyum dan mengangguk. "Ya, apapun yang terjadi kau adalah adik kecilku Cal." sakit mendengar ucapan Channing yang seperti itu. Merasa sungguh kejam sekali dirinya telah melakukan ini pada sang kakak.
Tetapi bagaimana jika hatinya kini telah ikut memiliki perasaan yang sama pada Ellice? Setengah jiwa Calvin, sudah berada di dalam perut istri kakaknya. Dan perasaannya, juga sudah masuk terlalu jauh ke dalam sana.
"Ini makanannya Cal." Ellice masuk dengan membawa nampan makanan untuk Channing yang di berikan pada Calvin dan segera menyiapkan obat untuk suaminya.
"Kakak makan dulu, dan ini obatnya." Calvin memberikan makanannya pada Channing. Ia bahkan menunggu sampai kakaknya menghabiskan makanan. Dan sampai selesai minum obat.
"Sekarang istirahatlah kak, kau jangan memikirkan apapun, tenangkan pikiranmu. Ingatlah jika kau masih perlu merawatku." Channing tersenyum dan mengiyakan ucapan Calvin dengan anggukan.
"Kau memang adik kecilku Cal. Kemarilah, peluk kakakmu." keduanya berpelukan. Ellice yang tak mengerti dengan pembicaraan keduanya hanya bisa ikut tersenyum melihat keakraban kedua kakak beradik pengisi hatinya.
***
Calvin mondar-mandir di dalam kamar tidurnya. Memikirkan apa yang akan terjadi jika rahasianya ia beritahukan pada sang kakak. Tapi sepertinya Calvin tak mampu lagi jika harus meneruskan apa yang harus di beritahukan.
"Lalu bagaimana dengan kandungan Ellice? Usianya kandungannya beberapa waktu lagi akan semakin membesar. Bagaimana kalau kakak mulai curiga? Dan ancaman itu, Oh God.. aku harus extra hati-hati. Mereka tidak main-main."
"Aku juga belum menanyakan hal ini pada Mario. Akan aku tanyakan sekarang saja padanya." Calvin mengambil ponselnya dan segera menghubungi Mario.
"Mario, tentang nomer yang tadi, kau sudah menemukan siapa dia?"
Tok.. tok..
"Boleh aku masuk Cal?" Ellice membuka pintu kamar Calvin dan mengintip dengan memasukkan kepalanya menyapa Calvin. Calvin mengangguk dan langsung menarik masuk Ellice ke dalam kamar.
Ia melihat sejenak wajah Ellice yang selalu menjadi penenang jiwanya, kemudian memeluk erat sang kekasih hati. Solusi yang ia janjikan padanya, bayangannya terlihat kabur. Tak menemukan jawaban.
"Kau kenapa? Apa yang kau bicarakan dengan Channing tadi memangnya Cal?" tanya Ellice sambil membalas pelukan hangat lelakinya. Menikmati harum lelaki lain yang ia rindukan tiap malamnya.
'Apa Ellice harus aku beritahu soal pembicaraanku dengan kakak tadi?' gumamnya dalam hati. Memberitahukan jika ia belum menemukan solusi untuk permasalahan mereka, sepertinya akan membuat Ellice semakin sedih.
"Cal, kau kenapa?" panggilnya lagi yang sudah melepas pelukan Calvin. "Ada yang ingin kau katakan padaku?" Calvin mengangguk.
"Aku.. tadi mengatakan kondisiku pada kakak saat.. 3 bulan yang lalu." jawab Calvin pelan.
"Cal? Kau.." Ellice langsung terkejut dengan apa yang Calvin katakan. "Apa Chan-ning tau Cal?" Bola mata Ellice langsung terlihat gelisah menanti jawaban apa yang akan di katakan Calvin selanjutnya.
"Aku hanya mengatakan apa yang terjadi pada tubuhku saja Ellice. Aku belum mengatakan semua. Karena tadi keburu kau datang." jawab Calvin dan menarik kembali tubuh itu dalam pelukannya.
"Aku sepertinya belum bisa memberikan janjiku. Kakak belum bisa menerima hal sebesar ini. Tapi bagaimana pun yang akan terjadi, aku akan tetap perlahan memberitahukan kebenarannya pada kakak nanti."
'Aku tak mungkin menyuruh Ellice untuk pergi dulu dari sini, selama kehamilannya. Itu sama saja aku tidak bertanggung jawab padanya.' keluh Calvin dalam hati.
"Lalu bagaimana kita akan menyelesaikan masalah ini Cal? Sebentar lagi kandunganku akan membesar. Apa aku pergi saja dari sini?" suaranya mulai bergetar, menandakan wanita-nya mulai mendung. Membuat Calvin semakin merasa bersalah. Ia semakin mengeratkan pelukannya.
'Aku tidak mungkin melukai Ellice lagi. Aku tak boleh terlihat lemah di depannya. Aku harus memberikannya semangat. Ayolah Cal. Jangan buat semuanya menjadi lebih rumit.' dalam hati Calvin terus menguatkan dirinya.
Dia yang bertugas mengemban nama keluarganya. Dan tentu saja dia harus bisa membawa dan membimbing keluarganya untuk hidup bahagia.
"Kau tenang saja. Apapun yang terjadi, aku akan tetap akan menjaga kalian dan mencari solusi terbaik untuk masalah kita. Aku akan bertanggung jawab atas apa yang telah aku perbuat. Kau tidak perlu khawatir Ellice. Kau tenanglah ya?" Ellice hanya mengangguk dan semakin membenamkan wajahnya di dada Calvin untuk mencari ketenangan. Menghapus genangan air yang menganak pada pakaian Calvin.
Kenapa lelaki ini selalu mampu membuat Ellice merasa tenang. Masalah apapun, rasanya ketika mendapat pelukannya seperti ini, Ellice merasa masalahnya yang ia bawa, rontok semua.
Ia memandang lekat wajah Calvin, dan menarik pelan kerah bajunya. Dengan sedikit berjinjit. Segera menempelkan bibir itu ke tempat yang ia inginkan. Dan tentu saja hal itu di sambut baik oleh sang pemilik.
Calvin dengan cepat menyangga pinggang Ellice dan satu tangan lagi memegang ceruk leher wanita yang sedang berhasrat menciumnya saat ini. Menikmati cinta yang mereka saling miliki. Hingga perlahan permainannya semakin memanas.
Calvin yang merindukan sentuhan lebih jauh pada sang kekasih hati meraba bagian perut Ellice bagian belakang. Kulit yang begitu lembut dan memabukkan. Dengan bibir yang terus saling membasahi, tangannya ikut bergerilya ke tempat yang lain. mengusap punggung Ellice yang ternyata tidak menggunakan penutup dalaman atasnya.
Dengan deru nafas dan birahi yang mulai keluar, Ellice melepas ciumannya. "Cal aku menginginkanmu."
Follow IG Author ya @frayanzstar